Sabtu, 30 Juli 2011

NEO-KEJAWAN [4-TAMAT]

Suparno. Nama lengkapnya DR.Abdullah Suparno. Beliau adalah ketua MTA Perwakilan Yogyakarta sekaligus dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Jogjakarta. Menyebut namanya, saya sebenarnya lebih sreg dan lebih ngeh kalau di depan nama Abdullah itu ditambahkan dengan Umar. Maka akan menjadi : Umar Abdullah Suparno. Umar adalah seorang presiden (baca: khalifah) ke-2 yang sangat dihormati baik kawan maupun lawan. Ia mewakili kekerasan dan ketegasan dalam menegakkan panji-panji Islam di tengah gurun pasir Sahara.

Dengan ustadz Abdullah Suparno, secara pribadi, saya belum pernah bertatap muka dengan beliau. Tapi saya sering dengar suaranya yang menggelegak dan menggelegar lewat radio. Gelegak dan gelegar suaranya itu, mungkin akibat magma yang keluar dari kawah hatinya. Beliau sering mengungkapkan fakta dengan bahasa ketelanjangan. Sebuah ekspresi keimanan yang tegas dan keras dalam membuka sisi gelap sebuah kesyirikan di tengah masyarakatnya.

Sutarto. Nama lengkapnya…,ya Sutarto saja. Tepatnya Sutarto MA (atau MPd, ya). Sejauh yang saya tahu, tidak ada embel-embel Ahmad atau Muhammad di belakang atau di depan namanya. Ya, Sutarto saja. Tidak xlebih. Saya tidak tahu, apa arti dan makna dari kata Sutarto itu. What’s in a name, apalah arti sebuah nama, mungkin begitu kira-kira protes pak Ustadz meminjam kata-kata William Shakepeare. Tapi yang jelas, nama yang sederhana itu seolah mewakili kesederhanaan beliau dalam menjelaskan tausiah atau kajian yang diadakan setiap Sabtu di Cabang Piyungan.

Suharno. Nama lengkapnya ya Suharno aja. Sama seperti ustadz Sutarto. Tidak ada embel-embel Ahmad atau Muhammad di belakang atau di depan namanya. Sejauh yang saya tahu, beliau ini adalah salah satu warga MTA Cabang Piyungan yang paling aktif dan tentu saja paling militan. Pak Har, demikian sering disapa, tidak saja aktif ngaji di Blonotan, tapi juga sering nongol di tempat lain, yakni di kajian Cabang Kota Yogyakarta. Padahal, letak dua lokasi – Blonotan dan Yogyakarta – adalah cukup melelahkan untuk ukuran seorang pak Har. Melelahkan untuk satu liter bensin, juga melelahkan dari sisi fisik setelah sebuah kerja seharian membanting tulang.

Melelahkan, kata ini, jelas sudah di-delete dalam kamus ibadah pak Har sudah ratusan tahun yang lalu. Kata ratusan yang lalu itu lebih menunjukkan pada past tense, yakni masa lalu. Sebuah masa yang boleh diartikan sebagai masa jahiliyah.

Keempat nama yang saya sebutkan di atas; Sukino, Suparno Sutarto, dan Suharno adalah nama lain dari apa yang saya sebut dengan Neo-Kejawan itu. Sebuah frase, yang mengindikasikan sikap dan laku spiritual baru yang mengedepankan logika berpikir rasional, sekaligus kritis terhadap apa yang tidak ada tuntunanya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Demikian juga dengan warga MTA dari garis keturunan Hawa. Nama itu selalu diawali dengan huruf S kemudian di akhiri dengan huruf I. Contoh yang seiring saya pakai sebagai model dalam tulisan saya adalah nama Ibu Sri Partini. Ibu Sri adalah satu contoh. Sebenarnya masih banyak sederet nama yang mungkin kapasitas magma letusan semangat jihadnya jauh lebih dahsyat dari ibu Sri.

Untuk menyebut daftar nama dari ibu-ibu, saya mengalami kesulitan dalam hal inventarisasi namanya. Ini masalah faktor interaksi saja. Di MTA sudah sangat jelas ada batas berupa sintru atau partisi yang memisahkan antara jamaah laki-laki dan perempuan, seperti halnya kita sholat. Lain perkara kalau nonton bareng dangdutan, misalnya. Laki-laki perempuan campur jadi satu. Asyikkan 

Jadi harap maklum. Yang saya kenal selama ini hanya Ibu Sri saja. Maunya kenal lebih banyak dengan ibu-ibu yang jumlahnya mungkin ratusan sampai ribuan yang senantiasa berdiri dibelakang sang suami dalam menegakkan kebenaran Al-Islam itu.

TAMAT

Jumat, 29 Juli 2011

NEO-KEJAWAN [3]

Dua rasa yang paradok itu, beritanya oleh Allah telah dikemas dan disajikan sedemikian rupa dengan cara mudah dipahami dan enak dikunyah untuk diamalkan. Dengan fasilitas kemudahan demi kemudahan itu, tinggal kitanya mau enggak. Kalau eggak, ya silakah mencicipi jilatan api neraka-Nya.

Sebaliknya, jika kita rela dengan merelakan diri untuk ikut ngaji. Itu artinya, kita telah membuka diri untuk akses hidayah, tidak hanya diri kita tapi juga untuk generasi berikutnya, pemegang tongkat estafet hidayah selanjutnya. Itu artinya, surga sudah ada didepan mata kita

The art of understanding ini, pada kasus tertentu, menjadikan trend pemahaman baru terhadap apa yang disebut ibda’ bi nafsik. akhirnya berpulang pada apa yang dinamakan dengan dari beberapa kasus yang saya jumpai, pemahaman yang banyak kasus pada tiap warga yang telah menjadi ikon dakwah pada level ini, menjadikan Al-Qur’an tidak sebagai benda keramat. Yang nilai kehadirannya hanya dibaca di saat bulan Ramadhan tiba, pada saat ajal menjemput, pada saat malam jumat kliwon, dan pada moment ketika bercumbu dengan problematika hidup yang menghimpit. Kalau sudah demikian Al-Qur’an bukan menjadi asy-Syifa’, obat yang menyembuhkan seribu satu macam penyakit, tapi berbalik arah menjadi laknat karena dijadikan jimat.

Pemahaman lain dari Neo-Kejawan ala MTA ini, adalah perkawinan local wisdom (kearifan local) antara MTA sebagai lembaga dakwah berkelindan dengan ‘Spirit of Java’ Kota Solo. Perkawinan silang antar budaya ini bisa dilihat pada nama-nama Jawa yang tetap dipakai sebagai sesuatu yang nJawani. Salan satu contoh bisa dilihat pada nama Ahmad Sukino. Ahmad adalah nama Arab, Sukino adalah nama Jawa. Persandingan dua nama ini, seperti menjelaskan bahwa keindahan dua budaya itu sama sekali tidak menjadikan MTA kehilangan roh kewibawaannya.

Dari kasus ini, saya ingin menjelaskan betapa indahnya perkawinan silang antara budaya Jawa dan budaya Islam ini. Dalam perkawinan silang ini, tak ada yang dirugikan. Keduanya tidak saling mencederai, melukai, bahkan membunuh satu sama lain.

Neo-Kejawan ala MTA bisa juga dilihat pada deretan nama-nama figur sentral gerakan dakwah yang menggawangi Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) ini. Mayoritas orang-orang penting adalah nama dengan aroma dan aksen Jawa yang sangat kental dan kuat. Demikian juga dengan sebagian besar warganya yang selama pengamatan saya di beberapa pertemuan, baik di pertemuan majlis Pengajian Akbar peresmian di perwakilan atau cabang, pengajian rutin mingguan, kajian kelompok, maupun pengajian Ahad Pagi. Atau saat absensi beberapa menit menjelang pengajian ustadz.

Daftar nama absensi mereka lebih didominasi oleh huruf-huruf aksen Jawa dengan awalan huruf SU dilanjutkan dengan akhiran huruf O. Sekedar contoh saja, misalnya, Sukino, Suparno Sutarto, dan Suharno. Perpaduan antara huruf awal SU dengan akhiran huruf O ini, menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah berjenis kelamin laki-laki.

Baiklah, mari kita telusiri keempat nama tersebut dengan metode pendekatan dari beberapa interaksi baik via radio, tatap muka, maupun dari sumber yang lain.

Sukino. Nama lengkapnya Al-Ustadz Drs.Ahmad Sukino. Nama beliau, bagi warga MTA pastinya sudah banyak yang faham dan tahu. Beliau adalah figure sentral gerakan dakwah yang mengusung tema kembali ke Al-Qur’an dan As- Sunnah. Saya tidak tahu persis, kapan penambahan kata “Ahmad” pada kata berikutnya: Sukino. Boleh jadi penambahan kata itu berasal dari bapak-e anak-anak, simbahnya, atau dari al-Ustadz sendiri. Saya juga tidak tahu, apa motivasi penambahan kata Ahmad itu. Mungkin, ya mungkin saja, biar terkesan lebih religious atau lebih islami atau biar lebih keren dan kece. Enggak tahulah, ini ‘kan baru analisa ‘kemungkinan’ saja menurut versi saya. Ojo dikandakke pak Ustadz lho ya. Nanti, saya dimarahi

BERSAMBUNG..

NEO-KEJAWAN [2]

Di luar kesadaran kita, ya warga MTA, secara vertikal Allah sengaja membenturkan kita dengan fakta dan realita, sebagaimana dalam film Cast Away — yang pernah saya singgung pada artikel sebelumnya. Tidak ada golok, batu pun jadi untuk alat membelah kelapa.

Dari titik kesadaran inilah kemudian, muncul sebuah energy yang membuat seseorang berani berkata ‘NO’ di tengah mayoritas orang berkata YES. Berani berkata ‘NO’ ketika didepannya ada lampu merah menyala bertuliskan tradisi nenek moyang, yang akan nyrempet-nyrempet bahaya syirik. Berani berkata ‘YES’ kepada apa saja amalan sunnah yang nyata di perintahkan Allah dan Rasul-Nya.

Dua energi YES + NO inilah yang dirasakan sangat pahit oleh saudara-saudara kita di lahan kritis MTA Purworejo, MTA Blora beberapa tahun yang lalu, dan MTA-MTA lainnya. Lewat energy lompatan quantum ini, getaran frekuensi itu merambat pelan namun pasti, yang menggetarkan sekaligus memanaskan urat syaraf sekujur tubuh bangsa ini seperti meriang, semacam penyakit panas dingin tanpa suatu sebab.

Dalam artian khusus, lompatan quantum yang saya maksud, sebut saja seperti seseorang yang dulu sangat aktif hidup di ‘inner circle’ (lingkaran dalam) suatu majlis dzikir bernama puji tahlil. Tidak menunggu hitungan hari, seketika itu, mendadak ‘sak dek sak nyet’, lompatan quantum bernama ‘hijrah’ itu, menjadikannya manusia super-[man/women] - aneh di tengah kampungnya sendiri.

Pertanyaannya adalah, mengapa kenekatan ‘lompatan quantum’ dengan segala resiko berbahaya itu ditempuh?

Pitutur Jawa 'witing tresno jalaran saka kulino’ adalah salah satu jawabannya. Satu trisno (cinta) sama dengan satu interaksi (sambung rasa rohani). Satu interaksi sama dengan sepuluh hasanah (kebaikan bernuansa silaturahmi). Ketika intensitasnsya semakin tinggi, semakin tinggi pula energi spiritual yang terpancar dari Sang Yang Maha Tinggi. Dari titik inilah, sebuah guidance, hudan, petunjuk yang senantiasa mengiringi dan membersamai akan menujukakan kemana arah menuju jalan tol bebas hambatan itu. Jalan tol bebas hambatan itu disebut ‘ihdinash shirathal mustaqim’.

Meminjam ungkapan Prof. Sayyed Hossein Nasr adalah jawaban yang lainnya (seperti sudah pernah saya singgung pada artikel sebelumnya): “Seseorang yang belum pernah bergetar hatinya oleh ke-Agung-an ayat-ayat suci Al-Qur’an dan Teladan Suci Nabi Muhammad SAW, tak akan pernah mampu menggetarkan dunia...!” 

Interaksi aktif, positif, dan intensif yang sering dilakukan warga MTA dalam kajian bersama, bukanlah sekedar the art of reading Al-Qur’an. Sebuah interaksi pasif yang hanya sebatas pada membaca teks huruf hijaiyah yang tertata rapi, seperti yang biasa terjadi pada ajang lomba Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), misalnya. Sebuah event perlombaan untuk mengejar juara dalam hal menjadi yang terbaik dan terindah untuk satu hal saja: the art of reading itu sendiri, seni indah membaca Al-Qur’an. Ya, sebatas membaca saja. Tidak ada, semacam follow-up untuk sebuah ikhtiar atau upaya mengendus aroma surga yang luas kaplingnya, seluas langit dan bumi itu.

Atau dengan kapasitas yang lain, akan muncul sebuah tanya: pernahkah kita mencoba merasai asap api neraka itu? Sekedar pembanding saja, pernahkan kita membayangkan betapa panasnya wedhus gembel yang menewaskan Mbah Marijan, sang juru Kunci Merapi itu. Andai api neraka itu bocor sebesar lubang ujung jarum saja, bumi dengan segala isinya akan meleleh.

BERSAMBUNG...

Kamis, 28 Juli 2011

NEO-KEJAWAN [1]

Istilah Neo-Kejawan, saya peroleh dari sebuah buku karya Ayu Utami [1]. Menurut Ayu, Neo-Kejawan atau Kejawan Baru tidak mirip dengan Kejawen. Sebab kejawen itu terlalu melekat pada aliran kebatinan orang Jawa yang dikuasai orang-orang tua. Ia lebih identik dengan kemenyan dan klenik.

Perbedaan antara kejawan lama dan kejawan baru terletak pada daya kritisnya. Spiritualitas Kejawan lama tidak memuculkan daya kritis. Spiritualitas lama tersedot pada rasa dan cipta tapi mengabaikan logika. Menekankan pada inspirasi tapi tidak analisa sama sekali. Spiritualitas baru ini milik orang-orang rasional namun sekaligus kritis pada rasionya.

Mereka adalah orang-orang yang telah mengenal modernisme tapi tidak tertelan dalam modernisme. Milik orang-orang postmodernisme. Spiritualime baru ini percaya bahwa sangkan paraning dumadi, yakni kritis pada asal dan tujuan hidup.

Neo-Kejawan atau Kejawan Baru dalam konteks Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA), saya maknai sebagai spiritualisme dengan logika kritis warga MTA dalam berinteraksi secara horizontal (baca: srawung hidup bertetangga dengan masyarakat sosialnya, hablumminnas) di satu sisi. Dan di sisi lain, berinteraksi secara vertikal (baca: hablumminallah) dengan basic kebenaran fundamental, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Secara horizantal, yang hablumminnas tadi, warga MTA harus mulai belajar menjaga jarak dengan tradisi Islam rasa Hindu. Frase ‘Islam rasa Hindu’ ini saya dapatkan dari ustadz Abdul Aziz (mantan Pendeta Hindu) pada acara ‘Tablig Akbar’ di Masjid Nurul Iman, Kaliajir, Berbah, Sleman, Kamis 10 Maret 2011. Sebagai mantan pendeta Hindu, beliau 100 persen faham akan lekuk-liku, tekstur, dan aroma rasa Hindu yang sesungguhnya.

Tidak jarang, ketika warga MTA mulai melakukan ijtihad dalam hal menjaga jarak dengan Islam rasa Hindu tadi, banyak mengalami benturan. Tidak hanya benturan, tapi juga ancaman pengusiran dari kampung halamannya sendiri, bahkan ancaman fisik berupa menghadirkan Izrail sang pencabut nyawa. Pada konteks ini, silakan baca kembali artikel sebelumnya berjudul the clash of civilization.

“Rasanya kok nyaris sama, ya, antara agama yang baru saya peluk (Islam) dengan agama lama saya”, sindir sang ustadz kepada para jamaah. Dari sini, ia lebih intensif dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Hasilnya?

Beliau merasakan rasa pedas yang sesungguh-sungguh pedas sebagaiman rasa pedas Islam yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pedas yang saya maksud adalah tegas yang mendekati keras dalam memilih dan memilah ajaran yang betul-betul al-haqqu mir rabikum, bahwa kebenaran itu datang dari Allah. Dan kebenaran dari Allah itu adanya, ya di Al-Qur’an.

Inilah yang saya maksud Neo-Kejawan atau Kejawan Baru bila dikaitkan dengan Islam rasa Hindu-nya ustadz Abdul Aziz. Rasa Hindu ini lebih mirip dengan apa yang dimaksud Ayu di atas sebagai spiritualitas Kejawan lama yang tidak memuculkan daya kritis, tersedot pada rasa dan cipta tapi mengabaikan logika dalam memaknai sebuah upacara atau pesta tradisi, yang dengan itu sering disebut berdasar katanya. Katanya siapa? Katanya ajaran nenek moyang.

“Dan apabila dikatakan kepada mereka , “Ikutilah apa yang diturunkan Allah!” Mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami (hanya mengikuti) kebiasaan yang kami dapat dari nenek moyang kami.” Apakah mereka (akan mengikuti nenek moyang mereka) walaupun sebenarnya setan menyeru mereka ke dalam azab api yang menyala (neraka)? 
(QS-31:21)

Catatan:
[1] Ayu Utami, Bilangan Fu, KP Gramedia, Jakarta, 2008, hal-383

Rabu, 27 Juli 2011

ITULAH INDONESIA.... [2-TAMAT]

Pada titik kehangatan itulah, pada akhirnya, kita telah lebur dan masuk ke dalam apa yang dinamakan dengan kawah candradimuka (bulan training mental). Sebuah wadah yang membuat kita kepingin senantiasa dalam dekapan dan kehangatan Yang Ilahi nan Suci. Ujung dari itu semua, akan mengantarkan kita untuk kepingin juga meningkatkan amalan kita menuju tercapainya manusia paripurna “la’allakum tattaqun” (QS-2:183).

Ketertundaan peresmian MTA Bojonegoro berujung pada kesedihan. Itu pasti. Dan diujung kesedihan yang lain, sudah berdiri kokoh sebuah kenenglongsoan. Keduanya saling bersitatap, bermuwajjahah, ber-face to face untuk beradu pandang. Menyampaikan pesan cinta lewat mata. Dari mana datangnya cinta dari mata turun ke hati. Posisi ini mempertegas kesedihan masing-masing untuk saling menguatkan kebersamaan yang alamatnya tidak lain dan tidak bukan, ada di dalam hati. Dari sini lahirlah sebuah wisdom: HATI-HATI ya.
Sebuah kata yang besentuhan dengan rasa sakit, yang itu letaknya di hati. Dan hati orang beriman itu adalah rumahnya Allah. Qolbun muslimin baitullah.

Langkah terkecil dengan ke-HATI-HATI–an itu pun, akan punya nilai tersendiri di haribaan sang pemilik HATI. Bahwa, sekecil apapun rintihan itu, kepedihan itu, kenelongsoan itu, adalah pahala di sisi Allah. Di sisi Allah, apapun itu akan dikonversikan ke dalam mata uang dollar milik-Nya. Pelipat gandaan itu semula 700 (tujuh ratus) kali, ada kemungkinan besar akan dinaikkan berlipat ganda menjadi 1.500 (seribu lima ratus) kali lipat. Dan itu terserah Allah, watarzuqu mantasya’u bighoiri hisab. 

Di alamat HATI itulah, yang pada hari-hari ini sedang mendera, menusuk-nusuk sekian ribu keping hati komunitas warga MTA yang teraniaya itu, yang tak lain adalah saudara kandung satu iman, satu hati, satu perjuangan dalam mengibarkan panji-panji kalimat tauhid LA ILA HA ILLALLAH, MUHAMMADUR RASULULLAH .

Kalau bukan kita dan segera dimulai hari ini, siapa lagi yang akan memulai? Teriak sekeping hati yang lemah ini, sembari berdendang sebait puisi hati diiringi dentingan musik instrumentalia kalimat tauhid LA ILA HA ILLALLAH, MUHAMMADUR RASULULLAH.

Ya, warisan terbaik untuk hari ini adalah memutus mata rantai warisan yang tidak satu nada dengan LA ILA HA ILLALLAH, MUHAMMADUR RASULULLAH, yang harus kita lakukan. Ya hari ini, ketika detak waktu masih bergulir, ketia air mata masih menetes di sudut malam, ketika masih mengalir dan bergejolak memompakan nutrisi semangat untuk hidup seribu tahun lagi.

Itulah Indonesia....,

Begitulah ujar Al-Ustadz menirukan penggalan bait lagu kebangsaan Indonesia di akhir acara Jihad Ahad Pagi itu, 24 Juli 2011 itu. Di saat itu warga MTA yang pada hari-hari ini hidup dibawah desing peluru caci maki, juga hidup di sebuah negeri yang disebut .. itulah Indonesia …yang sama. Pada saat itu juga, anak tiri di negeri sendiri ini, juga sedang bertaruh nyawa menyelamatkan anak-anak bangsa dari beragam penyakit TBC (Tahayul, Bid;ah, Churofat) yang sedang beranak pinak di rumahnya sendiri

Itulah Indonesia....,


TAMAT

Selasa, 26 Juli 2011

ITULAH INDONESIA.... [1]

Itulan ucapan Al-Ustadz Drs. Ahmad Sukino,jelang penutupan acara Jihad Pagi pada hari Ahad, 24 Juli 2011. Ucapan dengan nada guruan dan gojekan itu disampaikan Al-Ustadz menanggapi ditundanya pengajian akbar peresmian Majlis Tafsir Al-Quran (MTA) Bojonegoro.

Tertundanya peresmian Majlis Tafsir Al-Quran (MTA) Bojonegoro, bagi saya pribadi, adalah sebuah 'kado terindah, untuk ‘sangu urip lan ngurip-nguripi’ bulan suci penuh berkah, puasa Ramadhan 1432 H.

Tertundanya sebuah acara peresmian MTA di berbagai tempat, di mana pun di delapan penjuru mata angin sebuah negeri bernama Indonesia, adalah seperti menyaksikan sekumpulan pegawai negeri yang wajib mengikuti upaca bendera 17-an. Dengan logika ‘wajib’ itu, penundaan demi penundaaan peresmian MTA adalah sebuah keniscayaan yang wajib diamini sebagai bagian dari sami’na wato’na, sebuah jeda ketaatan kepada sang imam. Atau bagian dari Yes Sir, sebuah kewajib anak buan kepada juragan. Atau ‘Siap Jenderal’, sebuah kesiapan melaksakan perintah seorang kopral atas sanga Jendral.

Siapa yang mewajibkan? Yang wajibkan, ya Sang Pemberi Wajib, yakni Allah Azza Wa Jalla. Dengan itu, kita ditunutun, lalu dibiasakan untuk menerima kepahitan demi kepahitan yang insya Allah akan berujung kepada kebaikan.

Masih segar dalam ingatan kita, betapa indahnya kewajiban sebuah “tragedy Purworejo” itu. Inilah yang sering saya sebut dengan ‘blessing in disguise’, selalu ada hikmah di balik bencana itu. Sama sekali tidak ada yang menyangka, bahwa dari rahm penundaan MTA Purworejo itu akan lahir bayi kembar 6 secara bersamaan. Keenam bayi kembar itu adalah [1] MTA Perwakilan Purworejo, [2] MTA Cabang Pituruh, Purworejo, [3] MTA Cabang Kasihan Kabupaten Bantul, [4] MTA Cabang Piyungan Kabupaten Bantul, [5] MTA Cabang Rongkop Kabupaten Gunungkidul, [6] MTA Cabang Nanggulan Kabupaten Kulon Progo.

Pertanyaanya adalah, apa hikmah dibalik penundaan MTA Bojonegoro? Sebaiknya kita wait and see saja. Yang jelas, penundaan itu memiliki nuansa keindahan tersendiri bila dikaitkan dengan fenomena jelang bulan suci Romadhan.

Pada hari Sabtu, 30 Juli 2011 nanti, ada dua kebahagiaan yang akan dirayakan oleh keluarga besar warga MTA di seluruh Indonesia. [1] Berbahagia karena akan merayakan kebahagiaan atas kelahiran sekaligus peresmian MTA Bojonegoro. [2] Berbahagia karena akan bertemu dengan kedatangan bulan suci Ramadhan.

Akan tetapi kebahagian nomor [1], untuk sementara harus ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan. Kebahagiaan itu, untuk selanjutnya dimasukkan di didalam kehangatan bernama Ramadhan. Ia, kebahagiaan itu, marilah kita hangatkan menjadi satu dengan titik-titik adonan kehangatan yang lain.

Titik kehangatan itu kita lebur menjadi sebuah adonan yang satu padu dengan [1] titik adonan sebuah bulan penuh berkah itu. Titik adonan [2] berupa sebuah bulan penuh ampunan itu. Titik adonan [3], berupa sebuah keterhindaran dari nyala api neraka.

BERSAMBUNG....

Senin, 18 Juli 2011

SIN LAUNDRY [4-HABIS]

Untuk mengurangi atau meminimalisir resiko ‘FATAL ATTRACTION’ itu, ada tiga (3) langkah yang mesti kita persiapkan. Langkah ini pula yang pernah digunakan baginda Nabi Muhammad SAW. [1] dengan tangan, [2] dengan lisan, dan [3] dengan hati. Yang terakhir ini — dengan hati — disebut dengan selemah-lemah iman.
Kalau ke-MTA-an kita masih balita, langkah paling aman yang harus ditempuh, saran saya, gunakan saja langkah terakhir. DIAM.

Dengan diam, itu artinya kita tahu diri. Tahu kapasitas keilmuwan dan keimanan kita. Bondo nekat (BONEK) tidak ada di kamus besar warga MTA. Bisa-bisa mati konyol.
KEEP SILENT : DIAM, TAU! adalah langkah yang saya sebut sebagai langkah para pemula atau BEGINNER. 

Apabila grafik keimanan kita sudah naik satu tingkat lebih tinggi, gunakan langkah ke-2, yakni dengan lisan. Langkah ini, selanjutnya saya sebut dengan langkah INTERMEDIATE. Persyaratan pertama dan utama yang harus dipersiapkan adalah, jenis orang ini harus punya energy lebih cukup. Minimal pernah diabsen sebanyak sepuluh kali untuk selalu hadir dalam majlis. Dijamin 100 persen, energy yang disebut dengan inner power itu, akan akan muncul sendiri secara tidak terduga. Jadilah Anda atau siapapun orangnya yang pernah bersentuhan dengan energy ini akan seperti orang kesurupan.

Dalam kondisi kesurupan (trance) itu, Anda tampak seperti orang asing, aneh atau ghuroba—istilah baginda Nabi Muhammad SAW. Atau “aeng-aeng” yang ngowah-ngowahi adat, istilah orang kampung.
Namanya juga kesurupan, maka yang muncul dari bibir Anda juga kata-kata aneh yang sulit dimengerti oleh orang kebanyakan. Lebih dari itu, Anda akan dicap sebagai tukang sihir. Bentuk keanehan itu seperti kutipan ayat berikut ini.

Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang terang, mereka berkata,
“Orang-orang ini tidak lain hanya ingin menghalang-halangi kami 
dari apa yang disembah oleh nenek moyangmu,” 
dan mereka berkata, “(Al-Qur’an) ini tidak lain 
hanyalah kebohongan yang diada-adakan saja.”
Dan orang-orang kafir berkata terhadap kebenaran 
ketika kebenaran (Al-Qur’an) itu datang kepada mereka,
“Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.” 
(QS-34:43)

Energi kutipan ayat diatas, mau tidak mau akan merasuk ke tulang sumsum Anda. Menjadi bagian yang tiba-tiba tidak bisa dipisahkan dalam tiap langkah-langkah menuju self-improvement Anda.

Wujud kongkret dari tahap kerasukan inner beauty-nya ayat-ayat dari langit, yang tak lain adalah souvenir teragung dari Yang Maha Agung itu, selanjutnya akan membimbing kemana pun Anda pergi.

Ya, kemana pun Anda pergi. Mau masuk ke kamar mandi/WC, misalnya, tiba-tiba saja seperti ada yang mengingatkan Anda untuk melantunkan doa masuk kamar mandi. Karena di kamar mandi itu, syetan sudah menunggu dengan dua tim intelejen berkelamin ganda, laki-laki dan perempuan.

Siapa sih yang tadi mengingatkan itu? Itulah Allah.


Demikian seterusnya. Termasuk di dalamnya ketika energy negatif Gayus bin Nazarudin menyelinap masuk ke kantor Anda. Buru-buru Allah dengan energy yang tidak terlihat tapi bisa dirasakan itu mengingatkan Anda untuk tidak melakukan hal yang sama, sebagaimana DUA MANUSIA LANGKA INDONESIA ITU.

Kemanapun Anda pergi yang Maha Agung itu akan bersama Anda. Mengawal, membimbing, bahkan menjadi body guard pada setiap jengkal langkah Anda. Itulah tahap akhir dari apa yang saya sebut dengan langkah ADVANCE.

Pada posisi atau tahap ADVANCE ini, power itu benar-benar nyata. Sabda Nabi, seperti bunyi kutipan hadist di atas, yakni dengan tangan atau kekuasaan adalah pilihan orang pinilih dan terpilih yang merupakan seleksi alam dan Allah sendiri yang memilihnya.

Hari ini, Anda terpilih dan pinilih menjadi manusia dengan predikat sebagai: the limited edition man,

Tamat