Selasa, 31 Mei 2011

Ada Geert Wilders di Purworejo (1)

Dalam sebuah wawancara dengan harian De Pers pertengahan Februari 2007, Geert Wilders mengatakan: ”Jika orang muslim hidup di Negeri Belanda, mereka harus menyobek dan membuang setengah dari isi Quran.” Katanya pula: “Jika Muhammad hidup di sini sekarang, saya akan usul agar dia diolesi ter dan ditempelai bulu ayam sebagai ekstrimis, lalu diusir…” (Catatan Pinggir, Goenawan Muhamad, Tempo 13/4/2008)

Siapakah Geert Wilders? Geert Wilders adalah pemimpin Partai Kebebasan (Partij voor de Vriheid — PVV) dari Negeri Kincir Angin, Belanda. Melalui tangan dingin Geert Wilders lahirlah Fitna. Sebuah film yang berdurasi 17 menit dan diisi lima kali pembacaan ayat Al-Qur’an kemudian ditutup dengan kesimpulan yang merupakan seruan: “stop Islamisasi, bela kebebasan kita.”

Geert Wilders bukan nama orang per orang, tapi bisa jadi ia adalah sistem berpikir (mindset) orang per orang berbasis kekuatan masa ditengah masyarakatnya. Warga MTA yang terkenal santun, suka budaya tertib, suka mengalah, tidak merokok, dan tidak pernah aeng-aeng (macam-macam) di depan mata mindset ala Geert Wilders akan berbalik seratus delapan puluh derajat menjadi begini: warga MTA adalah provokator dan teroris yang secara militan menghadang jamaah pengajian yang akan mengadakan yasinan dan tahlilan.
Masih dengan mindset yang sama, dengan karakter Geert Wilders, politisi muda Belanda ini juga hadir mengobok-obok warga MTA Blora. Di Blora, ada sekitar 57 warga MTA yang diusir dari rumah mereka. Tidak hanya diusir, warga MTA Blora juga dianiaya kelompok tertentu. Siapakah kelompok tertentu itu? Tak lain adalah personifikasi karakter Geert Wilders.

Sosok Geert Wilders dengan wajah yang berbeda tapi memiliki kesamaan karakter yang nyaris sama telah menjadi the trouble maker di tengah warga MTA Blora. Dia datang tidak hanya di Blora, tapi juga mampir ke Purworejo. Tidak hanya di Purworejo tapi juga mungkin akan mampir ke daerah-daerah lain atau ke manapun sampai ke ujung langit sekalipun. Si bugil (bule gila) itu akan senantiasa hadir di tengah-tengah kita, kita yang punya identitas dan status ktp MTA.
Dua puluh tahun yang lalu, Tempo edisi 25 Februari 1989, menulis: Belum pernah terjadi dalam sejarah, sebuah buku menimbulkan onar sedunia seperti The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan) yang ditulis Salman Rushdie. Orang Islam yang sudah membacanya tersinggung. Juga orang Islam yang belum membacanya. Menurut orang yang sudah membacanya: novel itu menghina Nabi Muhammad.
Maka murkalah Ayatullah Khomeini, pemimpin besar revolusi Iran. “Pembikin cerita seperti itu harus dihukum mati,” katanya. Dan ia menjanjikan hadiah US$ 2,6 juta kepada siapa saja yang bisa membunuh Salman Rushdie Sejak itu dia jadi pengarang yang harga kepalanya sangat mahal. Seorang warga Iran menaikkan hadiah menjadi US$ 5,2 juta.

Atas nama kebebasan bereskpresi, para intelektual, politikus, dan agamawan membakar amarah umat. Geert Wilders bukan orang pertama yang memancing kemarahan umat Islam. Sebelumnya ada sederet nama yang berhasil mengguncang dunia karena kartun, film, atau fiksi ciptaan mereka. Disamping Salman Rushdie dengan Ayat-ayat Setan, ada Kurt Westergaard dengan 12 kartun Nabi Muhammad yang di pajang di koran Denmark Jylland –Posten. Ada Theo van Gogh dengan Submission. Sebuah film yang berisi tentang kekerasan seksual yang dialami perempuan dalam masyarakat muslim dengan menunjukkan adegan menorehkan ayat Quran pada tubuh perempuan setengah telanjang.

Empat belas abad yang lalu, seorang lelaki yang pandai berbahasa Arab, seorang elit kafir Makkah dari trah darah biru keturunan ayah kandung nabi Muhammad SAW. Abu Lahab plus Abu Jahal namanya. Dia dengan terang-terangan melarang seorang hamba Allah, yang tak lain adalah keponakannya sendiri, Muhammad SAW, untuk bermunajat kepada Rabb-nya.(BERSAMBUNG)

KENALKAN: NAMANYA IBU SRI [2]

Tadi malam hari terbahagia dalam hidup saya, karena baru tadi malam kami satu keluarga dapat ngaji bersama di cabang tanpa ajakan dari suami ikut. Sekarang saya tidak sendiri lagi di dukuh saya. Itu hikmah dari batalnya ke Purworejo. Lihat CD Habib Yahya dan baca artikel Bapak. Karena Allah telah mudahkan jalan dakwah bagi saya. Walau baru diri dan keluarga kecil saya. Makasih.
SMS Ibu Sri—warga MTA Klaten per 20/05/11|pukul 08:32:22

Rangkaian kalimat SMS di atas, setelah saya baca dengan kebeningan hati, setidaknya ada 5 point penting yang harus saya catat. Kenapa perlu saya catat atau tulis? Karena dari membaca SMS Ibu Sri ada sesuatu yang harus saya tulis, sesuatu itu disebut hikmah. Hikmah itu adalah kebijaksanaan sekaligus kebaikan.

Di luar itu, antara pekerjaan menulis dan membaca adalah ibarat dua sisi dalam satu koin mata uang. Pekerjaan atau perintah membaca, juga, pernah dialami oleh seorang lelaki 40 tahun yang tengah berkontemplasi di sebuah gua batu di atas gunung. “Bacalah! Bacalah!” seru malaikat Jibril, empat belas abad yang lalu.

Apa yang harus dibaca? Tidak harus tulisan memang. Keadaan — kenyataan juga dapat dibaca. Maka banyak orang pun menulis dengan perbuatan. Bukan dengan pena.

Dan saat ini, saya sedang membaca Bu Sri dan menuliskannya menjadi sebentuk secari kertas bernama ibadah. Pada diri ibu Sri-lah saya menemukan frekuensi keprihatinan yang sama sebagaimana yang dialami oleh warga MTA lainnya di seluruh pelosok negeri tercinta ini, Indonesia.

Lima hal pokok yang akan saya tulis dan saya uraikan terkait SMS Ibu Sri di atas adalah sebagai berikut.

1. Tadi malam adalah malam paling berbahagia.
2. Sekaranga saya tidak sendirian di kampung.
3. Ada hikmah di balik ditundanya persmian di Purworejo.
4. Allah mudahkan jalan dakwah bagi saya
5. Walau baru masih diri dan keluarga kecil

Penjelasan per point dari 5 hal pokok itu adalah sebagai berikut.

1. Tadi malam adalah malam terbahagia (paling berbahagia).

Bahagia, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan). Bila kata bahagia itu sendiri ditambahkan awalan kata “ter” akan menjadi “terbahagia”. Terbahagia itu sendiri boleh diartikan paling bahagia.

Dari penjelasan kata di atas, Ibu Sri pada malam itu merupakan wanita yang terbahagia atau paling bahagia. Yang menjadi pertanyaan adalah: apakah sebelum malam terjadinya malam paling bahagia itu, Ibu Sri sudah atau belum pernah merasakan malam paling bahagia?
Antara bahagia dan susah itu bedanya sangat tipis. Tentu saja, definisi bahagia antara satu orang dengan orang lain tidak sama, alias berbeda. Definisi bahagia dalam konteks Ibu Sri lebih berdimensi spiritual, bersifat ruhani. Letaknya ada di dalam hati.

Kembali ke...— laptop, ah kayak Thukul aja — pertanyaan di atas: apakah sebelum malam terjadinya malam paling bahagia itu, Ibu Sri sudah atau belum pernah merasakan malam paling bahagia?
Jawabannya tentu sudah pernah merasakan. Menurut ilmu penerawangan saya (ah kayak mbah Dukun aja), minimal ada 3 kebahagian yang pernah ibu Sri rasakan. Pertama, saat ibu Sri lagi falling in love dengan mantan pacarnya (baca: bapak-e anak-anak). Kedua, saat berbulan madu ke bulan bersama bapak-e thole. Dan yang terakhir, ketika ibu Sri sedang dalam detik-detik jelang melahirkan. Dua tetes air mata, pastilah mengalir menuruni pipinya mengiringi lahirnya jabang bayi itu.

Ibu Sri pernah nonton baca buku atau nonton film Eat Pray Love ?

“Saya tidak mau terikat dalam perkawinan lagi. Saya tidak mau tinggal di rumah besar ini. Saya tidak mau mempunyai bayi.” Itulah yang ditulis Elizabeth Gilbert dalam bukunya yang terkenal Eat Pray Love. Di usia 31 tahun, menikah enam tahun dengan suami yang mencintainya, Liz memutuskan melepaskan semuanya: perkawinan dan bahkan seluruh property miliknya. Dengan modal nyaris nol ia melakukan perjalanan mencari kebahagiaan ketiga negara: Italia, India dan Indonesia (Bali).

Mungkin banyak yang tak habis pikir, apa lagi yang ingin kau cari, Liz? Mengapa engkau begitu sulit berbahagia? Padahal, dengan semua yang dimiliki – karier cemerlang sabagai penulis, harta berlimpah dan suami yang baik- kau tak perlu banting tulang menafkahi keluarga, bisa mengaktualisasikan diri dengan bebas dan bisa berkeliling dunia dengan mudah. Hal-hal yang mungkin hanya menjadi khayalan bagi sebagian besar wanita di dunia.

Demi mencari arti kata bahagia, seorang Liz rela melakukan perjalanan jauh ke ketiga negara yang berbeda: Italia, India dan Indonesia (Bali). Ternyata di Indonesia (Bali) inilah, Liz, menemukan puncak bahagia itu.

Dengan logika yang sama, ibu Sri juga menemukan arti kebahagian yang tergeletak begitu saja di sebuah negeri yang sama, yang konon gemah ripah loh jinawi, toto tentrem, murah sandang murah pangan. Di sebuah negeri yang tingkat korupsinya paling tinggi di dunia: Indonesia.

Ibu Sri tidak menemukan arti kata bahagia itu di pulau Bali, melainkan di radius ribuan kilometer arah barat pulau Jawa, tepatnya di Klaten, Jawa Tengah. Haruskah Ibu juga melakukan eksperimen ekstrem seperti yang dilakukakan Liz, demi mencari kebahagiaan? (bersambung)

Senin, 30 Mei 2011

KENALKAN: NAMANYA IBU SRI [1]

Sebuah kecantikan tidak hadir dengan sendirinya. Ia tidak berdiri sendiri sebagai “cantik” itu sendiri. Ia tidak tunggal. Ia memerlukan campur tangan orang lain. Sebuah cantik memerlukan bedak, gincu, sampo, sabun dan seperangkat alat kecantikan lainnya. Itu sebatas cantik fisik.

Tengok saja, misalnya, pada setiap ajang atau hajatan ratu-ratuan atau wajah sampul majalah wanita. Di sana, pada setiap kecantikan dan keanggunan yang terpancar pada wajah ratu-ratuan itu, pasti melibatkan banyak orang yang merupakan hasil kerja keras tim yang sibuk berkarya dibalik layar. Mereka adalah para tim penata rambut dan make up artist. Berkat mereka, seorang wanita yang sebelumnya terlihat biasa-biasa saja, akan menjelma menjadi seorang wanita yang hampir nyaris sempurna, dengan sentuhan artistik dari tangan-tangan kreatif itu.

Seorang Alexandra Gottardo, model dan presenter menyadari arti sebuah kecantikannya. Dengan predikat cantik itu, dia merelakan harga sebuah kecantiknya untuk sebuah nilai yang jauh dari arti cantik itu sendiri.
Harga cantik seorang Alex – demikian ia sering disapa – disandingkan secara horizontal, secara sama rata dan sama rendahnya, dengan anak-anak pengungsian di Atambua, Nusa Tengggara Timur. Ia, dalam derajat tertentu, memiliki sebuah ‘inner beauty’, yang bagi sebagian orang, termasuk di mata sutradara, juga saya, hanya melihat cantik secara fisik semata. Bahwa definsi cantik itu: putih kulitnya, mancung hidungnya, tinggi semampai, dan hitam lurus rambutnya.

Inner beauty dengan kata lain tidak egois, tidak mementingkan dirinya sendiri. Seorang Alexandra merelakan dirinya untuk menjadi seorang guru bagi anak-anak gembel itu dalam film Tanah Air Beta. Ia merelakan sebagian tubuh cantiknya untuk ditonton, menjadi santapan liar puluhan pasang mata anak-anak itu – juga guru-guru yang lain - untuk sebuah arti kata ‘senang’ sekaligus menyenangkan.

Aktualisasi kecantikan perempan ini tidak hanya berhenti sampai di situ, ya di film itu tentunya. Di luar film yang didapuk menjadi seorang guru, ia juga merelakan sebagian waktu untuk menjadi relawan — asal kata dari rela — bagi anak yang kurang beruntung dalam hal pendidikan. Ia rela meminjamkan waktu terbaiknya untuk sesuatu yang boleh jadi justru akan mengurangi bobot kecantikannya. Ditengah kepadatatan aktivitasnya, pastilah ia bergumul dengan anak-anak pengungsian itu. Seberkas titik sinar terik mentari akan melukai kulit putihnya. Dengan itu, satu sel kecantikannya akan berkurang. Tapi ia tak pedulikan itu.

Di belahan bumi yang lain, Hollywood, Amerika Serikat. Seorang aktris, Catherine Zeta-Jones, tak menduga akan mendapat vonis bipolar ketika memeriksakan diri ke Rumah Sakit Silver Hill Connecticut, Amerika Serikat. Penyakit mental ini ditandai dengan periode depsresi panjang bergantian dengan depresi ringan.

Perempuan yang masih terlihat cantik di usia 41 tahun ini tabah menerima kenyataan tersebut. Sebenarnya, menurut dia, ada jutaan penderita gangguan mental ini, tapi kebanyakan malu mengungkapkannya. “Semoga pengalaman saya mengahadapi bipolar akan meneguhkan orang yang menderita penyakit yang sama dan membuat mereka mencari bantuan,” ujarnya, seperti dikutip Tempo, 1/5/11.

Depresi Zeta-Jones disebabkan oleh kondisi suaminya, aktor Michael Douglas yang terkena penyakit kanker tenggorokan. Namun saat Douglas mulai pulih, Zeta-Jones tidak menyadari dirinya butuh bantuan untuk menghadapi depresi.

Ibu Sri, demikian saya sering menuliskan namanya pada secarik layar segi empat hp saya. Sembari menyebut namannya — Bu Sri — saya tidak berani membayangkan, apakah ibu kita ini secantik atau seanggun Alexandra Gottardo atau Catherine Zeta-Jones yang saya ceritakan di atas?

Ah, terlalu berlebihan (lebay) saya merekonstruksi pikiran telanjang ini untuk sebuah kata ‘cantik’ secara jasadiah. Kecantikan seorang ibu Sri mungkin tidak seangkatan, untuk tidak mengatakan (maaf ya bu!) selevel dengan dua selebritas itu. Akan tetapi saya menemukan cantik pada diri Ibu ini dengan definisi yang lain. Ia adalah ‘inner beauty’ dengan tingkat presisi (ketepatan) sebuah kecantikan dari sudut hati. Sebuah aura mistis yang lahir dari kedalaman hatinya, nun jauh di kedalaman samudera hatinya yang tak seorang pun yang tahu, kecuali Allah azza wa jalla.

Secara harfiah ‘inner beauty’ yang dimiliki Alexandra Gottardo dan Catherine Zeta-Jones, ternyata juga dimiliki oleh Ibu Sri. Kalau Alexandra Gottardo merelakan sebagian tubuh cantiknya dan waktunya untuk anak-anak gembel di pengungsian, ibu Sri juga punya ‘inner beauty’ yang sama, meski tidak sama persis. Ia juga merelakan sebagian waktunya untuk sebuah acara yang sama sekali tidak ada unsur ‘benefit’, sebuah sisi keuntungan finansial. Boleh jadi malah ia rugi. Berapa liter bensin-kah untuk sepeda motor sang bunda ini, yang dihabiskan untuk lima belas kilometer dalam perjalanan mencari ‘inner beauty’ di salon kajian kelompok itu?

Kalau Catherine Zeta-Jones menerima dengan tabah vonis dokter yang menyatakan dirinya mengidap penyakit bipolar. Ibu Sri juga memiliki ‘inner beauty’ yang sama. Ibu Sri dengan tabah juga menghadapi vonis dari dokter dengan karakter yang berbeda. Dokter itu bernama kebencian oleh mulut-mulut anggota masyarakat yang begitu benci dengan eksistensi Majlis Tafsir Al-Qura’n [MTA]. Ibu Sri sendirian menghadapi mulut-mulut itu. Kesendirian itu lah yang mempertegas ‘inner beauty’–nya semakin terlihat jelas. Semakin terlihat cantik, tidak oleh mata-mata telanjang, tapi oleh mata-mata yang difahamkan Allah dengan agama-Nya yang lurus, ihdinas sirathal mustaqim (QS-1:6).
Meluangkan waktu untuk orang lain seperti yang dilakukan Alexandra atau juga yang dilakukan Bu Sri, bisa terbaca dengan sangat jelas pada rumus ini: “Barangsiapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. (QS-2:245).

Pada kutipan rumus ini, yang dimaksud dengan ‘qordon hasana’ atau pinjaman yang baik, tidak lain adalah sebuah pinjaman yang kalau dikonversikan tidak harus berupa materi atau uang. Akan tetapi, bisa juga berwujud waktu yang dikorbankan untuk kepentingan orang lain. Lebih dari itu, untuk kepentingan agama, yang kemudian disebut jihad fisabilillah itu. Yang dengan itu, ‘inner beauty’ itu sendiri telah bekerja secara aktif. Mengeluarkan aura negatif sebagai pembakaran atas sel-sel aus yang akan merusak kecantikan “hati” itu sendiri. (bersambung)

Minggu, 29 Mei 2011

CEREMONIAL PUJI TAHLIL [2-HABIS]

Dari sisi seorang rois, imam atau pimpinan puji tahlil lain lagi ceritanya. Rois yang memimpin acara puji tahlil haruslah orang dengan profesi dengan kompentensi yang sudah diakui keahliannya, ketakwaannya, dan kefasihanya dalam mengucapkan setiap kata yang terangkai dalam acara puji tahlil oleh masyarakatnya. Dia tentu bukan sembarangan orang. Butuh waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan semacam ‘sertifikat halal’ dari masyarakat dalam hal track record pengalaman ber-puji tahlil.

Puji Tahlil atau sering juga disebut dengan tahlilan ini, tak lain adalah modifikasi hasil kreativitas para wali dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Sebelum Islam masuk ke tanah Jawa, agama Hindu adalah agama mayoritas. Dengan metode kreativitas khas wali sanga itu, sebagian masyarakat beranggapan bahwa itu tradisi baik. Dengan alasan tradisi baik itulah, maka ada sebagian yang mempertahankan atau meng-uri-uri (diabadikan) menjadi sebuah kelaziman, yang kemudian dikenal dengan istilah selamatan orang mati atau gendurenan.

Seremoni ‘gendurenan’ ini dimulai pada hari H ‘nggeblak’ (meninggalnya) si mayit. Pada tahap ini, lahirlah istilah pengetan (peringatan) hari pertama, hari ketujuh, hari ke empat puluh, hari ke seratus, diteruskan sampai dengan hari ke seribu. Rangkain upacara hari-hari itu, tak lain adalah adat-istiadat yang sudah mengakar kuat di lubuk hati aktivitas agama Hindu. (baca selengkapnya buku H. Abdul Aziz & H. Fathur Rahman, S.Ag, M.Pd, “Muallaf Menggugat Selamatan, Ajaran Hindu yang Dianggap Tradisi” Lembaga Kajian Islam Intensif (eLKISI), Sidoarjo Jatim, 2010).
Dalam buku tersbut secara ringkas seremonial gunderanan, tahlilan, atau puji tahlil ini dapat dijelaskan berikut ini:

Hari pertama
Rangkaian selamatan meliputi nasi gurih (nasi yang ditambah dengan air santan), nasi golong (nasi yang dibungkus kecil-kecil dengan daun pisang), nasi ambeng, nasi yang ditaruh diencek sebanyak sembilan buah diberi buceng pungkur (buceng yang dibelah tengahnya kemudian diletakkan secara bersebelahan dan ditengah-tengahnya dikasih daun alang-alang dan dadap) dengan tujuan untuk melepaskan kehidupan di dunia dan menghadapi dunia nirwana.
Keterangan:
Nasi gurih dengan ulam sari (ayam ingkung, yaitu ayam yang dipanggang dalam keadaan utuh) dimaksudkan asung dahar ghusti (untuk makan Sang Yang Widi). Nasi ambeng besar diperuntukan dewa penjaga kubur, nasi gurih dengan ayam. Nasi golong dimaksudkan untuk menyatukan dinten pitu pekenan gangsal (satu minggu terdiri dari: pon, kliwon, wage, pahing, dan legi).

Hari Ketujuh, Ke-empat puluh dan Ke-seratus
Rangkaian selamatan hari ke-7, hari ke-40, dan hari ke-100 hampir sama dengan hari pertama. Yang membedakan hanyalah tambahan kue apem, yang diyakini sebagai perlindungan kalau hujan, sebagai tongkat kalau jalannya licin, dan juga sebagai perisai diri bagi si mati.

Hari ke-Seribu
Pada hari keseribu, ada keharusan untuk menyembelih kambing, merpati, bebek (itik). Rangkaian penyembelihan hewan-hewan tersebut dimaksudkan sebagai media (kendaraan). Kambing dimaksudkan sebagai kendaraan roh mayit di belantara hutan. Jika bebek untuk menyeberang di tengah lautan. Bila merpati dilambangkan sebagai kendaraan naik ke nirwana.
Dalam agama Hindu selamatan atau genduri (-ren) dimaksudkan sebagai upaya untuk memberi makanan (persembahan) kepada tuhan idha sang hyang widi. Sedangkan dalam aqidah Islam, Allah itu qiyamuhu binafsihi (berdiri sendiri) tidak butuh bantuan dan pertolongan makhluknya. Dengan demikian selamatan atau genduri yang dianggap oleh sebagian umat Islam sebagai tradisi baik yang harus dilestarikan itu, sudah seharusnya ditinggalkan dan dihapus. Karena bertentangan dengan aqidah Islam, seperti firman Allah berikut: ”Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepadaku” [QS: 51: 57]

Bagi umat Hindu, mengamalkan kenduri atau selamatan adalah merupakan hak mereka, akan tetapi umat Islam tidak boleh mengamalkannya atau meniru dengan alasan hal itu adalah tradisi yang baik. Sabda Rasululllah SAW berikut bisa dijadikan rujukan. Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda: barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk mereka (HR Abu Dawud, kitab Allibas, 3.512). [TAMAT]

CEREMONIAL PUJI TAHLIL [1]

Kulo dipun utus pak Sukarno (bukan nama sebenarnya), 
mangke sak sampunipun salat Isyak, bapak dipun aturi ngrawuhi acara Puji Tahlil, 
‘njih’ mengeti nyewunipun simbah Marto (bukan nama sebenarnya) 
dateng griyanipun Bapak Sumadi (bukan nama sebenarnya)

Begitulah, kurang lebih “kalimat undangan” yang sering disampaikan oleh seorang pengundang di suatu daerah untuk hadir di suatu acara yang dikenal dengan tahlilan.

Di daerah saya tinggal, lebih tepat saya ngontrak, di Dsn Klenggotan, Desa Srimulyo, Kec. Piyungan, Kab Bantul, tahlilan disebut juga dengan Puji Tahlil. Di daerah lain, sebut saja misalnya di Wonokromo, Pleret, Bantul, salah satu daerah yang disebut dengan kota santrinya Bantul, atau selevel dengan Jombang di Jawa Timur, istilah tahlilan sama pengertiannya denga puji tahlil di atas. Tapi intinya sama, sama-sama memanfaat moment kematian untuk selamatan, mulai 1 hari, 7 hari, 40 hari, dan seterusnya. Kata tahlilan ini sendiri berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan, artinya membaca kalimat La Illaha Illallah .

Bagi orang yang diundang, jawaban “Insya Allah” ini hampir dipastikan 100% (seratus persen) pasti datang. Mutlak datang. Kalau tidak datang, ada rasa-rasa seperti ewuh pakewuh, ora enak karo tonggo, ora ngowahi-ngowahi adat dll. Di sisi lain, ada keuntungan sosial (social benefit). Karena dengan menghadiri acara puji tahlil , Anda akan mendapatkan beberapa kemewahan.

Kemewahan itu adalah, Anda tamu agung pada hari itu. Begitu Anda bersalaman dengan tuan rumah lalu duduk pada posisi yang sudah ditentukan. Beberapa saat kemudian, segelas teh hangat lengkap dengan roti menyambut kedatangan Anda. Jangan keburu nafsu untuk minum teh yang nyata-nyata telah menjadi hak Anda. Tunggu untuk beberapa saat. Karena, selagi belum ada komando dari pak rois atau pak kaum, jangan harap rasa haus anda akan terobati. Meskipun saat itu anda betul-betul haus. Tahanlan untuk barang saat. Dalam hitungan detik, pasti dan pasti segelas teh itu akan menjadi bagian penting yang tak terpisahkan dari menu awal acara puji tahlil. Dan setelah itu akan terdengar bunyi mantra seperti ini.

Ila hadhratin nabiyyil mustofa ……..
Tsumma ila arwahi mbah Marijan sekalian …
Tsumma ila arwahi mbah Pawiro sekalian …
Tsumma ila arwahi mbah ini mbah itu sekalian …

Acara diutup dengan amin bersama. Beberapa detik kemudian datanglah yang ditunggu-tungu itu. Satu paket bernama brekat (dari kata berkah yang artinya mendapatkan keberkahan dari acara puji tahlil). Ketika semua jamaah sudah mendapatkan brekat dari hasil mujahad membaca kalimat puji tahlil itu. Sebuah bentuk penghargaan atas kesedian para jamaah meluangkan waktu dan tenaga untuk hadir pada acara siklus kehidupan orang amati itu.
Acara ditutup dengan do’a. Sebelum itu, pak rois/kaum memberikan final speech, semacam kata akhir dengan seperangkat kata-kata: “Mugi-mugi (mudah-mudahan) dengan wasilah (perantara) berkat ini arwah si mayit di tempatkan di sisi Tuhan dan dijembarake (dilapangkan) kuburnya.

Amin, demikian jamaah puji tahlil mengamini, lalu pulang. Di rumah anak dan istri senang menunggu, karena sebentar lagi sang ayah pulang dengan membawa sekado makanan.
Itulah sekilas acara puji tahlil. Sebuah ritual wajib bagi orang-orang yang mengaku bahwa ajaran itu adalah ajaran Islam yang dibawa walisanga.

Dalam acara puji tahlil, didalamnya selalu ada dua orang yang mempunyai peran penting. Pertama, si pengundang dan pak rois/kaum, sang imam yang akan mengawal jalannya acara puji tahlil.
Cuplikan undangan yang saya tulis di atas adalah mantra wajib bagi orang yang bertugas sebgai pengundang. Kalimat itu biasanya diucapan oleh seorang pengundang yang punya legitimasi tugas khusus di sebuah kampung. Dari jerih payah ini, si pengundang biasanya akan mendapat upah berupa sebungkus rokok, uang — minimal lima sampai sepuluh ribu rupiah dalam amplop, dan ditambah satu kado brekat (berkah) di sesi akhir acara puji tahlil rampung. Itu kalau kebetulan ada kelebihan brekat. Kalau tidak, cukup gula-teh dan uba rampenya, sesuai kesepakatan.

Jadi keuntungan ekonomis yang didapatkan oleh si pengundang adalah uang sepuluh ribu rupiah, rokok satu bungkus, satu kado berkat sebagai imbalan si pengundang plus satu kado brekat lagi sebagai hak si pengundang yang telah duduk di majlis puji tahlil. [bersambung ke bag.2]

Sabtu, 28 Mei 2011

Lelaki dengan Bara Api di Tangan [2-habis]

Dua sosok itu adalah dua sisi dalam satu keping koin mata uang. Kehadirannya saling melengkapi. Antara kebaikan dan kejahatan selalu berjalan seiring.

Dan lahirnya beberapa cabang dan perwakilan di seluruh Indonesia tidak terlepas dari peran aktif jasa ‘kejahatan’ para fitnator yang men-switch on-kan kejahatan nya (baca: kebencian yang membabi-buat itu) menjadi kebaikan. Profesi fitnator (Fitnator berasal dari kata fitnah ditambah akhiran or, yang kurang lebih artinya: orang atau kumpulan orang yang berprofesi sebagai tukang fitnah. Penambahan dua digit/huruf –or pada fitnator bukan bermaksud sok ilmiah, tapi hanya sekedar gagah-gagahan saja, biar keren dan lebay (berlebihan). Fakta ini, bisa dilihat pada kata-kata, misalnya, proklamator, motivator, provokator, gladiator dll)
tentu saja tidak merugikan, justru malah semakin menguntungkan posisi MTA dalam mengambil hati umat Islam. Kenapa bisa demikian? Apa pasal?
Pasalnya. Menurut Al-Ustadz Drs. Ahmad Sukino, pimpinan pusat MTA, seperti dikutip dari kumpulan tanya jawab yang dipancarkan oleh Radio MTA-FM, yang kemudian sudah direkam dalam bentuk CD dan menjadi salah satu menu wajib santapan rohani seluruh warga MTA seluruh Indonesia, bahkan di luar MTA sendiri.

Para fitnator itu bolehlah sebagai freelance marketer (pemasar lepas). Para fitnator itu telah dengan sengaja merelakan dirinya sebagai volunteer (relawan) atau semacam marketer garda depan dalam mempromosikan, mengiklankan, dan memasarkan produk dakwah MTA di tengah masyarakatnya.

Kemasan produk dakwah negatif — mulai bunyi fitnah: MTA antek Yahudi, MTA sesat, MTA menghalalkan daging anjing, MTA didanai gerakan Wahabi, dan lain-lain. Sejumlah fitnah itu, dalam banyak melahirkan sejumlah sikap penasaran. Pada skala tertentu, kemudian membuka pintu kesadaran banyak orang untuk mengambil sikap. Sikap inilah, untuk kemudian bernama sebuah keputusan kecil untuk membuktikan dengan pembuktian terbalik: Benarkah MTA sesat? Benarkah MTA antek Yahudi? Benarkah MTA menghalalkan daging anjing? Dan tanya-tanya ‘kepenasaran’ kebenaran yang lainya menyangkut MTA.

Di antara sekian banyak warga MTA yang saat ini selalu aktif ‘ngaji’ MTA binaan Blonotan, sebagian diantaranya mengaku dengan bahasanya sendiri dengan kata-kata ini: ‘Islamnya setelah kumisan.’ Mungkin kurang lebih artinya, mengaku benar-benar berislam (beragama Islam), ya setelah ngaji di MTA ini.
Kisah perjuangan para ‘single fighter’ di tengah kampungnya sendiri ini, pada sisi paling ekstrim adalah sebuah upaya mempertahankan fundamentalisme dalam sikap keimanannya, yakni berupa pelurusan iman. Pada sisi gelap masa lalu, mereka adalah aktifis garda depan dalam berbagai kegiatan berbasis tradisi. Basis tradisi itu, sebut saja dengan istilah pengetan (peringatan) hari pertama, hari ketujuh, hari ke empat puluh, hari ke seratus, diteruskan sampai dengan hari ke seribu. (untuk mempermudah penyebutan, untuk yang selanjutnya saya singkat dengan istilah Satu,Tujuh, Empatpuluh, Seratus, Seribu = STESS)

Lahirnya kisah-kisah inspiratif pada bab “Kisah Para Peluru” adalah dari interaksi yang intensif, melalui serangkaian brainstorming penulis dengan para pemberani dalam ajang “kajian kelompok” yang diadakan tiap hari Sabtu.

Serpihan-serpihan duka, lara, dan nestapa mereka akan terbuang percuma dan mubadzir, bila tidak ada sebuah upaya merekam jejak mereka dalam sekeping tekad berbentuk tulisan ini.
Penelusuran jejak mereka, penulis berharap akan menjadi cermin bagi yang belum mengenal, lalu berusaha mengacungkan jari telunjuknya dan bertanya: siapa dan apa itu MTA.

Dari titik kesadaran ini, “Kisah Para Peluru.” yang akan pembaca temui pada bab beriktunya, tidak lain adalah sebentuk sedekah jihad bi hal. Sebuah ritus yang teramat pedih, dengan cara merelakan dirinya, dengan hati dan ikhlas; menyediakan dirinya sebagai martir, sebagai sansak hidup untuk digebuki, dijotos, dan dibokem mentah di forum-forum informal meeting non-MTA. Informal meeting non-MTA itu bisa berlangung real time (siaran langsung) di gardu ronda, di pojok warung, di rumah penduduk, atau di forum puji tahlil, atau bisa juga di masjid dan musholla. Setelah puas, mereka pun mengecap dan melabeli jidat para mujahid kelas kampung ini, sebagai orang yang NGOWAH-NGOWAI ADAT, ORA UMUME WONG dan seterusnya (tamat)

Jumat, 27 Mei 2011

Lelaki dengan Bara Api di Tangan [1]

Beragam fitnah muncul mengiringi perjalanan dakwah MTA. Diantara fitnah itu adalah MTA antek Yahudi. MTA sesat. MTA menghalalkan daging anjing. MTA didanai gerakan Wahabi Saudi Arabia. MTA dan, dan… masih banyak lagi.

Di tengah terjangan air bah fitnah itu, MTA tidak malah surut dan mundur ke belakang, tapi malah justru merangsak semakin maju, bak banteng kecaton, bak pemain kuda lumping yang kerasukan setan. Bahwa fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan, itu jelas. Artinya, fitnah itu sejenis berita buruk, yang dalam istilah jurnalistik dikatakan dengan ‘bad news is good news’(berita buruk adalah berita baik).
Media surat kabar atau koran, majalah, buletin sampai media online adalah mata rantai penyampai berita buruk itu. Media tersebut, tidak akan hadir ditengah pembacanya kalau tidak ada berita buruk. Demikian juga dengan MTA yang difitnahkan dengan beragam isu yang memerahkan kuping di atas. Tapi dari kaca mata hikmah, berita sejenis itu adalah rahmat, serupa ‘hidangan dari langit’. Yang dengan hidangan itu, sebenarnya ada semacam akses hidayah bagi banyak orang, baik warga non-MTA maupun warga MTA untuk mulai membuka kran kesadarannya masing-masing, bahwa Islam yang kita kenal hari ini adalah Islam yang sedang diacak-acak oleh orang di luar Islam atau bahkan umat Islam sendiri.

Artinya, melalui bunyi hadist di atas, kita, umat Islam, seharusnya mulai bermuhasabah. Bahwa, hari ini umat Islam sudah jauh dari Al-Qur’an, sudah jauh dan tidak mau mengamalkan sunah, sudah jauh dari Islam, Begitu jauhnya umat ini jauh dari agamanya, hingga terpelanting jatuh ke jurang-jurang kenistaan. Sudah tidak tahu lagi, bagaimana, dari mana, mau ke mana, dan dari mana mau kembali serta mengawali.
Di tengah badai fitnah itu, Nabi Muhammad SAW seolah hadir ditengah kita. Bahwa kita benar-benar sedang menggenggam sebuah bara api.

Akankan kita memadamkan bara api itu?

Fitnah-fitnah di atas, yang sengaja dilancarkan oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan MTA adalah serupa menyiram bara api dengan bensin yang dikira air. Dengan cara itu, apa yang dilakukan para fitnator itu adalah langkah yang salah. Tidak hanya salah tapi salah besar. Dengan segala daya upaya (dalam hal ini melibatkan nafsu amarah yang lebay lantas ditunggangi oleh setan), dia mengira gayung yang dibawanya berisi air. Nyatanya gayung itu berisi bensin. Terus apa yang terjadi? Bara api itu bukan semakin padam, tapi malah semakin membara, menjalar kemana-mana. Tidak hanya menjalar dengan skala di genggaman tangan, tapi meluas ke sekujur tubuh bangsa ini.

Bagian tubuh bangsa ini adalah Kabupten Sragen (atau kasus lain yang berkaitan dengan setiap event peresmian). Di sini-lah percik bara api itu melentik. Sehingga bunga api itu menjadi penanda diresmikannya 13 cabang baru MTA di Kabupaten Sragen pada hari Selasa tanggal 15 Februari 2011. Lentikan bara api itu juga sudah terjadi dan terus akan terjadi di daerah lain yang sedang menunggu diresmikan cabang atau pun perwakilan baru di seluruh Indonesia.

Ternyata, kehadiran profesi fitnator memiliki peran penting di tengah masyarakat. Tanpa disadari oleh para fitnator itu, sosok para fitnator itu tak ubahnya seperti Abu Jahal dan Abu Lahab di sisi perjuangan Nabi Muhammad SAW. Atau sosok Raja Firaun di sisi Nabi Musa. (bersambung.....)

Kamis, 26 Mei 2011

MTA: Yang Saya Tahu (6)

Pak Parjan dan kawan-kawan tidak sendirian. Banyak pak Parjan-pak Parjan lain di belahan bumi tanah Jawa yang lain, tepatnya di Kabupaten Puworejo, juga mengalami hal yang sama sebagaimana bunyi hadist tersebut di atas. Hari-hari ini, atau tepatnya dalam dua pekan terakhir menjelang Peresmian MTA Perwakilan Purworejo, yang Insya Allah akan diadakan pada hari Selasa, 17 Mei 2011 mendatang, bara api terus membara di genggaman tangan para warga MTA Purworejo. Bola api itu menggelinding terus, dimulai dari penolakan PCNU Purworejo (Suara Merdeka 01/04/11). Tulisan kolom opini (atau lebih tepatnya sebagai fintah) Ketua PBNU Prof. Said Agiel Siradj (Jawa Pos (05/04/11) bahwa jamaah MTA secara militan menghadang jamaah pengajian yang akan mengadakan yasinan dan tahlilan. Juga tindakan pengusiran dan penganiayaan terhadap 57 warga MTA Blora oleh kelompok tertentu.
MTA yang saya tahu dari paparan kisah-kisah diatas adalah seperti membaca dengan dada berguncang sebuah pemikiran Prof. Sayyed Hossein Nasr yang mengatakan: “Seseorang yang belum pernah bergetar hatinya oleh ke-Agung-an ayat-ayat suci Al-Qur’an dan Teladan Suci Nabi Muhammad SAW, tak akan pernah mampu menggetarkan dunia...!” (The Living Sufism, Temple University Press, 1985).
Peresmian MTA Perwakilan Purworejo, yang Insya Allah akan diadakan pada hari Selasa, 17 Mei 2011 mendatang, adalah sebuah eskpresi (ungkapan) dari real dzikir untuk menggetarkan sekaligus menyulut bara api itu agar terus membara tidak hanya ada pada diri-diri genggaman tangan para warga MTA Purworejo, tetapi juga bara api akan terus membakar warga-warga MTA lain, yang tersebar di penjuru Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), untuk kemudian akan menggetarkan dunia. Wallahu a’lam bissowab.

Tamat

Rabu, 25 Mei 2011

MTA: Yang Saya Tahu (5)

“Kowe ngaji neng Blonotan iku, entuk apa to le-le, neng Blonotan (maksudnya MTA binaan Blonnotan) iku apa ana kyai-ne?” rayu ibunda Pak Zunaidan, mencoba mengindoktrinasi putra kesayangannya ini, dengan harapan sang putra tidak ngaji lagi di Blonotan. Kemudian ibundanya meneruskan “Ngaji iku sing bener ora ning Blonotan, tapi sing luwih bener ya neng Wonokromo, sing akeh kyai-ne”
Pak Zunaidan adalah satu contoh, contoh lainnya adalah Doni. Doni adalah anak muda bernama ABG, yang saat ini duduk di bangku SMU. Doni bagi saya adalah mukjizat awal abad dua puluh satu. Jarang — untuk tidak mengatakan tidak ada — anak muda seusia Doni ini mau meluangkan waktu untuk sesuatu yang tidak ada passion khas anak muda. Gaya rambutnya biasa-biasa saja. Tidak dicat warna-warni apalagi dengan gaya rambut sedikit nyentrik ala David Beckam atau Kika, vokalis Slang lengkap dengan celana jins belel yang robek sana-sini. Tampilannya, juga biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Sesekali dia juga bicara tentang timnas dengan logo Garuda di dada yang menyulut kontroversi itu. Tentang Gonzales yang masuk Islam, pemain asing yang telah menjadi warga negara Indonesia. Dan obrolan khas anak muda lainnya.
Adalah Pak Parjan — ini satu contoh lagi, lelaki dengan bara api di tangan. Bapak satu anak ini adalah contoh kongkret paling ekstrem di ‘ajang uji nyali’ MTA Blonotan. Saya katakan paling esktrim, karena bapak yang paling banyak bertanya di forum pengajian MTA ini tidak tinggal (sekali lagi: tidak tinggal) di zona aman (the comfort zone) di sebuah kampung bernama Muhammadiyah 3-K. Muhammadiyah 3-K adalah 3 tempat legendaris yang terdiri dari Kauman, Karangkajen, dan Kotagede. 3-K ini merupakan basis kekuatan utama pergerakan Muhammadiyah. (Ahmad Adaby Darban, 2000). Dengan kata lain, kampung 3-K ini sudah bersih dari berbagai praktek keagamaan dan kegiatan budaya yang oleh Muhammadiyah dikategorikan sebagai perbuatan tahayul, bid’ah dan churafat (TBC movement, pen).
Pak Parjan tidak hidup di wilayah 3-K itu, akan tetapi dia hidup di tengah-tengah sebuah kampung dengan ‘bau anyir darah’ Tahayul, Bid’ah dan Churafat (TBC) yang sangat kental. Konsekuensi logis sekaligus resiko hidup di kampung yang letaknya hanya 3 kilometer arah selatan Kecamatan Piyungan ini. Pak Parjan — juga Pak Zunaidan, Doni, dan warga MTA lainnya, adalah seperti teks terbuka yang terbaca pada bunyi sebuah hadist, “Akan datang suatu masa, orang-orang yang berpegang teguh pada agamanya pada zaman tersebut laksana memegang bara api.” (HR. Tirmidzi)

Bersambung ke bag (6)

Selasa, 24 Mei 2011

MTA: Yang Saya Tahu (4)

MTA yang saya tahu pada setiap acara peresmian cabang atau perwakilan MTA baru, adalah atmosfer yang demikian menyejukkan dan menyentuh hati. Sesuatu yang lain dari biasanya. Sesuatu yang sering terjadi sebagaimana jamaknya tablig akbar yang digelar di mana pun di seantero jagat Republik ini, selalu menunjukkan sebaliknya. Rusuh dan amburadul.
MTA yang saya tahu adalah atmosfer yang damai, yang tak lain adalah refleksi dari makna sejati dari majlis dzikir yang sebenar-benar majlis dzikir. Tidak merokok adalah dzikir itu sendiri. Tidak beranjak dari duduknya sebelum acara usai adalah dzikir itu sendiri. Tidak membuang sampah adalah dzikir sebenar-benar dzikir. Tampang para satgas yang tak menggertak itu wajah damai, ramah, dan murah senyum adalah juga untaian tasbih dzikir.Dan tablig akbar itu adalah dzikir itu sendiri dalam arti yang sebenarnya.
MTA adalah untaian butir-butir tasbih dzikir tablig akbar yang tertib itu adalah komposisi musik intrumentalia, dalam alunan nada tunggal mengagungkan asma Allah, melalui keberasamaan menegakkan dan meluruskan logika aqidah yang benar.
MTA yang saya tahu adalah ketika saya bersama lautan manusia yang memadati Gelora Olah Raga (GOR) Kabupaten Sragen, 15 Februari 2011 yang lalu. Langit terlihat mendung, bergulung-gulung, laksana burung-burung Ababil, memayungi tiga puluh ribuan jamaah dari berbagai macam kelas sosial-ekonomi yang berbeda, saat Al-Ustadz Drs. Ahmad Sukino naik mimbar untuk meyampaikan tausyiah. Gulungan itu seolah tangan-tangan raksasa yang memberi kehangatan dan kenyamanan atas berlangsungnya sebuah acara yang menggetarkan itu. Itulah invisible hand yang tak lain adalah nusratullah, pertolongan Allah. Sebuah bentuk intervensi Allah Azza wa Jalla dengan curahan dan cucuran rahmat dan hidayah-Nya atas dengungan lebah-lebah bernama komunitas atau warga Majlis Tafsir Al-Quran (MTA).
MTA yang saya tahu adalah ketika saya bertemu dengan seorang bapak bernama Zunaidan. Bapak satu anak ini adalah representasi salah satu wujud militansi warga MTA Blonotan, Piyungan, Bantul. Dari Pak Zunaidan pula saya tahu bahwa pintu surga itu adanya di Wonokromo. Sebuah kampung yang juga dikenal sebagai ‘kampung kyai’ (KH.Muhamad Fuad Riyadi, 2005), yang terletak di Kecamtan Pleret, Kabupaten Bantul.

Bersambung ke bag (5)

MENGEMIS PADA PENGEMIS

Di sudut pasar Madinah Al-Munawaroh ada seorang pengemis Yahudi. Karena pengemis itu buta dan sudah tua maka ia hanya duduk saja menanti uluran tangan orang. Setiap hari apabila ada orang yang mendekati ia selalu menjelek-jelekan Nabi Muhammad. Ia memang benci dengan Rasulullah, sebab ia mengira Islam adalah agama yang salah.

“Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad. Dia orang gila, pembohong dan tukang sihir. Apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya.” Katanya setiap kali ada orang yang mendekatinya.
Walaupun Rasulullah tahu kejadian itu, Rasulullah tetap berlaku baik padanya. Setiap pagi Rasulullah SAW mendekatinya dengan membawa makanan. Tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu. Pengemis itu mengira Rasulullah adalah orang lain. Oleh sebab itu, setiap hari pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad.
Rasulullah SAW melakukan kebiasaan menyuapi pengemis itu setiap hari sepanjang hidupnya. Setelah kewafatan Rasulullah tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari Abubakar ra berkunjung ke rumah Aisyah rha. Abubakar ra adalah sahabat Rasulullah. Selain menjadi khalifah, beliau juga menjadi mertua Rasulullah. Sebab, Aisyah rha, putri Abubakar.
“Anakku adakah sunnah Rasulullah yang belum aku kerjakan” Abubakar bertanya kepada anaknya.

“Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah. Hampir tidak ada satu pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja.” Aisyah rha menjawab.

“Apa itu?”, Tanya Abubakar ra.

“Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana,” kata Aisyah rha.

Keesokan harinya, Abubakar ra pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abubakar ra mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar ra mulai menyuapi, si pengemis marah sambil berteriak.

“Siapa kamu?”

“Aku orang yang biasa,” Abubakar ra menjawab.

“Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku” jawab si pengemis buta itu.

“Apabila ia datang kepadaku tidak susah mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya setelah itu ia berikan padaku dengan dengan mulutnya sendiri,” pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abubakar ra tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu.
“Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya. Orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW.”

Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya. Ia tidak pernah memarahiku sedikitpun. Ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi. Ia begitu mulia.” Pengemis itu pun menangis. Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat dihadapan Abubakar ra.

****************************************

Judul cerita asli di atas adalah ‘Rasulullah dan Pengemis’, yang terdapat pada halaman 85 buku “Cerita Islami for Kids”, karangan KH Saifudin Mujtaba, Pustaka Marwa, Yogyakarta 2007.
Sengaja, saya tulis ulang cerita anak-anak tersebut. Ini, semata-mata, ada hikmah, iktibar dan kemiripan geneologis masalah, antara nasib Rasulullah SAW empat belas abad yang lalu dengan garis nasib para peluru (baca: warga MTA) hari-hari ini.

Saya menganalogikan pengemis buta dan tua itu sebagai masyarakat awam atau kelompok tertentu yang begitu membenci, antipati, dan sengit memusuhi warga MTA. Tapi, dengan penuh kesabaran, penuh kesetiaan, dan sikap mengalah untuk kebaikan, para pewaris nabi ini (baca:warga MTA) tetap duduk menemani masyarakatnya dan mendengarkan omelan, caci makian, dan umpatan mereka dengan tetap santun dan senyum sebagaimana pernah dilakoni Sang Nabi.

Setiap hari, ya setiap hari, sosok-sosok aneh yang di kampungnya sendiri dianggap sebagai kelompok minoritas ini, mulai saat ini dan itu dianggap pula sebagai tidak lumrah dalam hal srawung (bergaul).
“Srawung model apa itu” bisik tetangganya.
“Lha wong ana sripah, ora gelem kumpul melu tahlilan” bisik tetangga yang lain
“Wis ngowah-ngowahi adat, ora lumrahe wong, wong edan,” bisik tetangga yang lainnya lagi
Dialog interaktif seperti itu biasanya disiarkan langsung (real time) di channel-channel televisi lokal tak-bayar alias gratis. Channel-channnel itu terkoneksi secara otomatis dan live, dengan sistematis dan terencana, yang kemudian dinamakan dengan istilah dari mulut ke mulut (mouth to mouth) itu.

Acara itu biasa dipandu oleh seorang sukarelawan (volunteer) yang telah dituakan. Pengertian dituakan di sini bukan karena umurnya. Juga bukan karena ilmunya. Tapi karena hukum: asu gede menang kerahe. Siapa yang kuat dan keras suaranya, itulah pemenangnya.

Soal tempat, jangan pernah tanya. Di manapun tempat, asal ada tikar, segalanya bisa dimulai. Tempat acara siaran live bisa di gardu-gardu ronda, warung-warung, perempatan kampung, atau di manapun tempatnya. Asal masih layak memenuhi kriteria syarat dan syahnya sebuah tempat untuk menggelar sidang wakil rakyat ala parlemen jalanan itu.

Coba simak lagi penuturan, atau lebih tepatnya ‘dialog interaktif’ antara pengemis tua dan buta dengan sang Nabi kita berikut ini.

“Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad. Dia orang gila, pembohong dan tukang sihir. Apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya.”

Dengan kalimat yang sama tapi dengan sedikit improvisasi ala provokator menjadi begini kalimatnya:
“Wahai saudaraku jangan ‘ngaji’ di MTA. MTA itu kumpulan orang gila, kumpulan para pembohong dan kumpulan para pengamal ajaran sesat. Apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya.”

Senin, 23 Mei 2011

Sang Adik itu bernama MTA

Langgar kidul milik Ahmad Dahlan itu tegak dan sederhana, persis seperti sikap pendirinya: bersahaja. Tetapi puluhan lelaki itu datang dengan beringas dan memanggul satu misi: menghancurkan langgar kidul yang letaknya tak jauh dari keraton itu. Dengan semangat menyala, mereka menjebol dinding langgar, menghacurkan pintu dan jendela. Murid-murid Dahlan yang sedang mengaji tak kuasa menghalau. Tak puas melihat langgar berantakan, rombongan itu menarik tali tambang yang dikaitkan di tiang-tiang pancang bangunan dari kayu itu. Dalam hitungan menit, langgar itu rata dengan tanah, diiringi tangisan para murid dan istri Dahlan, Siti Walidah.

Itulah adegan paling dramatis dalam film Sang Pencerah. Sebuah upaya anak muda kelahiran Yogyakarta, Hanung Bramantyo, melakukan sebuah upaya rekonstruksi atas serpihan sejarah berdirinya persyarikatan Muhammadiyah, pada secarik peta sejarah, di pojok kampung bernama Kauman.
Andai pada tahun 1902, tidak ada seorang anak muda bernama Muhammad Darwis nekat berangkat ke Makkah untuk ngaji plus naik haji, maka pada tanggal 18 November 1912, tak akan pernah terjadi proses kelahiran “the Living Legend” Muhammadiyah.

Di tanah kelahiran para nabi, Makkah, anak muda itu tidak hanya nyekar dan tahlilan ke makan nabi Muhammad dan nabi Ibrahim—yang kemudian dikenal dengan ritualisme Haji, tetapi anak muda itu juga memperdalam ilmu agama seperti tafsir, tauhid, fiqih, tasauf, ilmu falaq, qiroat dan sebagainya. Ia juga bertemu dengan Muhammad Abduh, lalu membaca majalah Al-Manar.
Tidak hanya kitab Al-Manar — eh ma’af, bukan kitab deng tapi majalah — kyai yang ternyata piawi memainkan musik biola ini, juga bersinggungan dengan berita-berita tentang perkembangan gerakan reformasi di dunia melalui majalah ini.

Melalui majalah yang sama, cita-cita reformasi Islam, ide transformasi KHA Dahlan, dan dunia Timur Tengah bisa terkoneksi dengan baik. Dari sinilah cikal bakal gerakan reformasi Islam di Indonesia berawal.
Tidak hanya majalah Al-Manar yang menjadi menu bacaan wajib, KHA Dahlan juga membaca majalah-majalah aliran reformis lainnya seperti Al-Mu’ajjad, Al-Sijasah, Al-Liwa dan Al-Adl yang semua berasal dari Mesir. Di samping itu ada majalah-majalah yang datang dari Beirut, seperti Tsamarat Al Funun, Al Qistas dan Al-Mustaqim. Beberapa di antara majalah teresbut kadan-kadang sulit masuk ke Indonesia, yang lancar ialah majalah Al-Urwah Al-Wutsqo dan Al-Manar secara sembunyi-sembunyi.
Berkat usaha kawan satu kamar KH Hasjim Asy’ari (pendiri Nahdatul Ulama, NU) di pesantren Saleh Darat, Semarang, lahirlah beberapa amal usaha (kata lain dari dakwah bil hal), baik dalam bentuk lembaga pendidkan maupun rumah sakit.

Dari amal usaha ini lahir ribuan sekolah, ratusan lembaga pendidikan tinggi dan balai kesehatan, termasuk rumah sakit, puluhan panti asuhan yang tersebar di seluruh Indonesia. Inilah berkat jasa KHA Dahlan penduduk Kauman Yogyakarta, pendiri Muhammdiyah itu. Sekarang ini begitu disebut Kauman Yogyakarta, persepsi yang muncul di benak orang adalah wilayah hunian warga Muhammadiyah.

Kiranya, tak ada satupun organisasi Islam di dunia yang dapat menandingi keberhasilan Muhammadiyah dalam mengembangan misinya. Tentu juga, tak ada satu pun orang yang membayangkan bahwa kenekatan anak muda, setelah mudik dari Makkah bergelar KHA Dahlan, amal usaha yang kelak di namakan Muhammadiyah ini telah berkembang sangat pesat melampau zamannya, beyond the imagination.

Seratus tahun lalu, KHA Dahlan adalah seorang muslim yang tidak hanya ‘ngaji' kitab kuning, tapi juga mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan umum. Dengan mempelajari ilmu pengetahuan umum yang berasal dari penjajahan Belanda, ia mendapatakan kartu tanda penduduk (KTP) sebagai “kafir” dari kalangan pesantren. Tidak hanya itu, ia juga dicap sebagai kyai palsu dan Kristen alus.

Dengan desain dan konstruksi yang nyaris sama, khususnya dalam hal pemberantasan TBC (Tahayul, Bid’ah, Churafat) ala gerakan reformasi Muhammadiyah, Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) — lahir 60 tahun kemudian, tanggal 19 September 1972 — memiliki garis geneologi sejarah yang sama: diidentifikasi atau dicap sebagai aliran sesat, gerakan wahabi, dan lain-lain. Yang dengan cap-cap itu, ia — Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) — tak lain adalah adik kandung dari rahim pergulatan batin yang sama-sama mengusung tema ‘pelurusan aqidah.’

Fenomena itulah yang kemudian saya angkat menjadi tulisan ‘Sang Adik itu bernama MTA’. Dengan analogi yang sederhana dan sedikit serampangan , ini MTA adalah adik kandung Muhammadiyah.
Muhammadiyah lahir sebelum kemerdekaan, sementara MTA lahir setelah kemerdekaan. Dua-duanya lahir dari rahim pergulatan batin melawan apa yang kemudian dinamakan dengan TBC movement (Tahayul, Bid’ah, Churofat). Ketiga hantu penghapus amal dan pemantik amuk Allah itu menjadi musuh bersama (public enemy) bagi kakak beradik ini.

Kedua kakak beradik ini lahir dari kota yang memiliki latar belakang sejarah dan karakteristik budaya yang sama. Yogyakarta dan Solo. Keduanya adalah twin sister city.
Yogyakarta memiliki keraton Yogyakarta Hadingkrat. Solo memiliki keraton Mangkunegaran. Yogya memiliki Nyai Roro Kidul yang dikultuskan, Solo mempunyai Kyai Kebo Slamet yang kotorannya (jawa: tlethong) saja juga sama-sama disucikan dan dikeramatkan.

Dua kota: Yogyakarta dan Solo, dua saudara kembar, ini kehadirannya belum juga cukup memberikan kesadaran baru kepada masyarakat awam, yang mana di tengah masyarakat dua kota tersebut, masih kental dan tumbuh subur dua budaya ewuh pakewuh dan kumpul ora kumpul sing penting mangan. Dua tradisi inilah yang menjadi batu sandungan sekaligus penghambat utama sebuah laju roda dakwah bernama ‘rebonding iman’ (pelurusan iman).

Minggu, 22 Mei 2011

MTA: Yang Saya Tahu (3)

MTA yang saya tahu adalah saya menjadi lebih cerdas dan lebih kaya secara spiritual. Sekarang ini, di tengah lingkungan sosial –ekonomi dan politik maupun kebudayaan yang sudah serba kapitalistik, di mana orang hanya mau berbuat sesuatu hanya kalau ada janji keuntungan materi. Ternyata masih bisa saya temukan begitu banyak orang datang ke majlis ini tidak berjenis kelamin cewek matre, terus ikut arus deras gombal globalisasi. Dari sini saya juga lebih faham bahwa yang membedakan manusia di sisi Tuhannya, ternyata hanya taqwanya (QS: 49:13). Bukan pangkat dan jabatannya, mobilnya, rumahnya, hapenya, dan lain-lainnya. Definisi taqwa disini akan lebih konsisten dan aplikatif kalau mau menerjemahkan ke dalam LIMA-I (5-I). I pertama: Ilmu, I kedua: Ikhlas, I ketiga: Istiqomah, I keempat Intensif, dan I terakhir Implementasi. LIMA-I tersebut adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. (Materi Kajian Ustadz Sutarto di MTA Blonotan, Sabtu Sore, 7/5/2011).
MTA yang saya tahu adalah ketika saya bersama lautan manusia yang memadati Gelora Olah Raga (GOR) Kabupaten Sragen, 15 Februari 2011, yang lalu. Pada acara detik-detik peresmian 13 cabang MTA di Kabupaten Sragen itu tak ada qiro’ah layaknya lomba MTQ dengan suara syahdu mendayu-dayu. Tak ada sari tilawah dengan ucapan dan intonasi bak pembacaan sajak-sajak WS Rendra.Tak ada bibir terucap sembari berpuja-puji tahlil. Tak ada gemuruh suara yel-yel ‘Hidup MTA’, ‘Hidup Ustadz Ahmad Sukino’, tak juga ada tepuk tangan membahana. Tak ada asap rokok. Juga tak ada adegan dramatis cium tangan.
MTA yang saya tahu pada setiap acara peresmian cabang atau perwakilan MTA baru, adalah sebentuk aktualisasi diri dari pitutur Jawa “Sepi ing pamrih rame ing gawe”. Suasana itu betul-betul senyap. Sepi nyenyet. Bersih dari hiruk pikuk. Duduk mereka tertib. Tetap duduk tidak beranjak dari duduknya sebelum acara betul-betul usai. Sekali lagi tidak ada puntung rokok berceceran di sana-sini. Karena memang, betul-betul tidak ada kepulan asap rokok.
MTA yang saya tahu pada setiap acara peresmian cabang atau perwakilan MTA baru, adalah saya tidak melihat ada pasukan khusus, semacam pasukan elit Navy SEALs-nya Amerika Serikat yang telah menewaskan gembong teroris, Osama bin Laden. Atau semacam pasukan berani mati dengan ciri-ciri kebal senjata tajam. Yang dimiliki MTA hanyalah satuan tugas (SATGAS), yang pada wajah satgas itu, sama sekali tidak menunjukkan wajah sebagaimana wajah satgas sebenarnya. Serem dan menakutkan. Tapi wajah itu mirip wajah seorang bapak yang ngemong putra-putrinya. Tampang yang tak menggertak itu wajah damai, ramah, dan murah senyum. Sama sekali tidak menunjukkan wajah keangkeran seorang bodyguard. Sekali lagi: tidak ada pasukan berani mati di MTA, yang ada justru pasukan berani hidup.

Bersambung ke bag (4)

Sabtu, 21 Mei 2011

MTA: Yang Saya Tahu (2)

MTA yang saya tahu adalah pengajian tanpa ada ‘kitab kuning’ dengan ketebalan dan keangkeran huruf-huruf arab telanjang bulat di sana. Kemudian dikerangkeng dalam keangkuhan tembok dengan ketebalan tertentu bernama pesantren. Kitab kuning yang ada di MTA ternyata bernama brosur, selebaran berisi kutipan ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist sahih Bukhori-Muslim yang disusun secara sistematis. Disamping brosur, hal terpenting yang harus dibawa adalah seperangkat alat tulis: pulpen dan buku tulis beserta Al-Qur’an terjemahan yang disatukan dalam sebuah tas sederhana dalam berbagai bentuk dan ukuran. Ketiga instrument ini umumnya telah lusuh karena kebanyakan dipakai. Bagi yang tidak biasa, pemandangan ini terasa ganjil. Sepintas, mereka (warga MTA) ini, seperti petugas debt collector kelas kampung, yang nagih utang kepada para ibu di gang-gang sempit di pojok sebuah kampung. Isi tas debt collector (baca: bank plecit), jelas, berisikan buku tebal dengan daftar nama ibu-ibu yang ditagih hutangnya. Sementara, isi buku tulis yang sama tebalnya di tangan warga MTA berisi daftar urutan surat dan ayat tematik Al-Qur’an lengkap dengan catatan ustadz.
MTA yang saya tahu adalah seperti sedang membaca buku ‘Muslim Tanpa Masjid’ (Kuntowijoyo, 2001). Dari sini lahirlah generasi muslim baru yang sedang bermekaran dalam memahami Islam tidak dari sumber–sumber konvensional. Tapi, dari sumber-sumber anonim seperti internet, radio, MP3, audio-video, CD, VCD, televisi, kursus, ruang seminar, bulletin dan brosur.
MTA yang saya tahu adalah sebuah sekolah, sebuah madrasah, atau sebuah pesantren tanpa dinding. Semacam ‘school without wall’. Karena tanpa dinding itulah, saya jadi memahami bahwa di majlis pengajian ini, saya bisa duduk sama rata, juga sama rendah dengan pak polisi, pak guru, pak tani, pak buruh tani, pak pedagang, dengan status sosial yang berbeda. Dengan cara seperti itu, saya bisa merasakan betapa indahnya kehangatan emosional di antara jamaah. Tidak seperti sering terlihat di televisi pada acara peringatan hari besar Islam, misalnya, di masjid Istiqlal. Untuk shaf pertama adalah barisan para pejabat tinggi, para elite politik, dan para bangsawan ahli agama.
MTA yang saya tahu adalah sebuah metode bagaimana saya bisa berinteraksi dengan rumus-rumus Tuhan bernama Al-Qur’an itu secara lebih intens dan lebih mesra, layaknya mambaca surat cinta dari sang kekasih yang lagi mabuk asmara. Kemudian, saya menjadi lebih faham dan lebih tahu, surat Yasin itu surat ke berapa dan Ayat Kursi itu ada pada surat apa. Dua hal tadi — surat Yasin dan ayat Kursi — di kalangan tertentu adalah sesuatu yang wajib dibaca pada malam Jum’at — mau Wage, Pon, Kliwon, Legi, dan Pahing, monggo… silakan.

Bersambung ke bag (3)

Jumat, 20 Mei 2011

MTA: Yang Saya Tahu (1)

Tulisan ini adalah opini pribadi saya sebagai warga Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) binaan Blonotan, Piyungan, Bantul.
Belum genap satu tahun saya ikut ngaji di MTA binaan Blonotan, Piyungan, Bantul. Belum genap juga saya bisa memahami dan mengerti apa itu Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) secara lebih detil, lebih intens dan lebih komprehensif.
MTA yang saya tahu adalah Blonotan. Blonotan adalah tanah kelahiran para lelaki dengan bara api di tangan. Blonotan adalah sebuah kampung yang tak lain adalah sebuah noktah kecil pada sesobek peta di pojok Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dan Blonotan, yang saya tahu, telah memiliki andil memberikan kekuatan dan semangat baru bagi saya dan warga MTA binaan ini, yang punya cara sendiri mereprentasikan era kebangkitannya menuju tata nilai baru dalam beragama secara benar menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah.
MTA yang saya tahu adalah pengajian tanpa sarung. Tidak ada pecis — baik yang putih layaknya orang baru pulang haji dan tidak juga kopyah hitam yang sering dipakai tahlilan. Pecis putih dan kopyah hitam, dua simbol kesalehan, dalam kasus tertentu mungkin hanya tepat dipakai oleh seorang ustadz TPA atau rais atau kaum pada acara hajatan tahlilan, misalnya. Tapi kedua tutup kepala plus sarung bukan sebuah kewajiban dan tidak juga diharamkan untuk dipakai di sebuah majlis taklim bernama MTA.
MTA yang saya tahu adalah forum pengajian yang terasa aneh bagi saya yang awam ini. Sama anehnya ketika agama anak yatim bernama Muhammad ini hadir di sudut kampung di kota Makkah. Aneh? Karena setiap hadir, satu per satu, nama jamaah dipanggl untuk diabsen (di MTA sebutan jamaah lebih sering disebut dengan warga). Kok seperti anak sekolah ya, pikir saya dalam hati. Budi! Ada. Yono, tidak ada, karena sakit. Iwan, izin. Sekilas, ada aroma indoktrinasi. Ternyata tidak. Inilah metode untuk menjaga tingkat kedisiplinan dan keistiqomahan warga MTA agar kondisi keimanan mereka tetap pada frekuensi yang stabil. Jangan-jangan, ini aliran sesat yang akhir-akhir gencar di promosikan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Masih bisik hati saya di sudut yang lain. Oh, ternyata tidak juga.

Bersambung ke bag (2)