Kamis, 30 Juni 2011

The Clash of Civilization [2]

Runtuhnya gedung kembar World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat adalah puncak benturan peradaban itu. Yang menjadi kambing hitam atas runtuhnya symbol berhala kapitalisme global itu, siapa lagi kalau bukan lima huruf yang hari-hari ini disimbolkan sebagai akar terorisme. Lima huruf itu adalah ISLAM.

Lahirnya kampung Blonotan sebagai cabang Majlis Tasfir Al-Qur’an oleh banyak pihak, sering disalah-tafsirkan bahwa Islam itu identik dengan sebuah gerakan agama teroris. Pemahaman yang salah ini, sama persis dan sama bodohnya dengan cara pandang Amerika Serikat. Sebuah negeri yang pernah dijuluki sebagai SETAN BESAR oleh pemimpin spiritual dan revolusi Negara Islam Iran, Ayatullah Khomeini.

Bobot kecurigaan itu semakin membesar, manakala sebuah papan nama sebagai tanda lahirnya sebuah Cabang Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) mulai terpasang di sebuah rumah, tempat di mana pengajan diadakan. Rumah itu adalah rumah Pak Marsudi. Di rumah ini, ada dua ruang yang biasa digunakan ngaji. Ada ruang tamu berukuran 5 x 5 meter untuk jamaah laki-laki dan ruang keluarga berukuran 6 x 5 meter untuk jamah wanita. Inilah qordon hasana berupa tempat ngaji yang kelak akan menjadi investasi sekaligus saksi atas ritualisme salon spiritual bernama ‘rebonding aqidah’ (pelurusan Aqidah).

Yang namanya pengajian di kampung selalu identik dengan ukuran waktu ‘selapanan’, sekitar lima mingguan. Pada titik ini, ilmu yang didapat pada satu pengajian ke pengajian berikutnya, hampir bisa dipastikan 100% tidak mampir di kepala. Dan hampir dipastikan 100% yang diingat mungkin hanya ‘gojekan’ sang Ustadz atau pak Kyai, lengkap dengan rerasanan binti gossip seputar snack yang tidak nyaman di lidah.

Satuan waktu yang disebut ‘selapanan’ tidak berlaku di MTA. Tidak juga setengah bulanan. Tidak juga satu mingguan. Tapi seminggu dua kali. Apa? Seminggu dua kali? Tidak hanya seminggu dua kali, tapi ada juga yang menginfakkan waktunya pada hitungan 3 kali dalam satu minggu. Ah kayak minum obat saja.

Pada komunitas para pemberontak yang sering diidentikkan dengan aliran sesat ini, dalam satu minggu — dalam kasus tertentu — tatap muka tidak hanya dilakukan 3 kali, tapi sampai 4 kali. Pertemuan pertama diadakan pada setiap hari Sabtu. Pertemuan ini disebut pengajian yang diisi oleh ustadz. Pertemuan kedua diadakan hari Senin sore kadang malam. Ini yang disebut kajian kelompok. Pertemuan ketiga adalah bagi mereka yang sudah begitu kecanduan untuk datang ke kelompok lain. Dan pertemuan keempat untuk orang-orang khusus atau disebut khususiah. Ini khusus untuk kelompok super khusus yang punya nyali khusus.

Pada kajian kelompok titik tekannya lebih kepada kajian ulang seputar materi yang pernah disampaikan pada hari sebelumnya, hari Sabtu. Yang menarik dari pada sesi Senin, disamping menu utama adalah kajiaan ulang materi, tidak jarang ngaji kelompok ini dijadikan ajang curhat, atau sharing antar jamaah. Curhatnya bukan sembarang curhat. Sebuah curhat yang mengetengahkan cerita ‘perkelahian’ antar warga suatu kampung. Di ujung sana ada warga MTA, di ujung yang lain ada warga kampung secara umum.

Yang disebut warga MTA, mungkin jumlahnya tidak sampai lima orang. Bahkan mungkin hanya satu orang di kampung itu. Dan yang dinamakan warga kampung, jumlahnya jangan ditanya. Mungkin lebih dari seratus orang bahkan lebih. Warga MTA adalah kelompok minoritas, sisanya (warga kampung itu) adalah mayoritas.

Bersambung...

Rabu, 29 Juni 2011

The Clash of Civilization [1]

Kampung Blonotan terletak di jalan Wonosari Km 13, Piyungan, Bantul. Sejak hari Ahad, 5 Juni 2011 yang lalu, kampung Blonotan secara resmi telah menjadi tanah kelahiran salah satu anggota keluarga besar MTA dengan status Cabang.

Akses jalan untuk mencapai lokasi markas besar (mabes, maaf pak polisi) berkumpulnya orang-orang mengaji kitab suci Al-Qur’an ini, sangatlah mudah. Di utara jalan Wonosari kilometer 13, ada gedung BPD (Bank Pembangunan Daerah) Cabang Piyungan. Inilah satu-satunya gedung dengan dua lantai yang paling megah dan mewah di kawasan Kecamatan Piyungan. Tepat di Timur BPD ada gang masuk. Kurang lebih 200 meter ke arah Utara, ada gapura bertuliskan BLONOTAN. Di situ-lah Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) Cabang Piyungan, Kabupaten Bantul itu berada.

Akhir Januari 2011 yang lalu, sebuah fenomena alam berupa pola lingkaran misterius yang dikenal dengan corp circle ditemukan di lahan pertanian Sleman Yogyakarta. Tidak jauh dari lokasi yang menghebohkan inilah, kampung Blonotan berada. Ya, sekitar seperempat perjalanan atau dua kilometeran arah selatan dari lokasi yang konon adalah jejak makhluk asing UFO itu.

Bukan karena lokasi Dusun Blonotan yang dekat jejak makhluk asing UFO, kemudian Kampung Blonotan nebeng menjadi kampung terkenal. Apalagi dalam pekan-pekan terakhir ini, terendus isu bahwa jejak NII (Negara Islam Indonesia) ada di kampung yang letaknya diapit oleh persawahan ini.

Terlepas dari apakah kampung ini merupakan sel dari jaringan NII, itu tidak lah terlalu penting dan tidak perlu dipusingkan. Yang jelas, dengan status barunya sebagai Cabang, maka kampung Blonotan akan self confidence untuk memberikan kontribusi dengan semangat barunya, dalam upaya mereprentasikan era kebangkitan menuju tingkat keimanan yang lebih baik berbasis Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Blonotan hari ini adalah seperti kampung Kauman Yogyakarta satu abad yang lalu. Dari rahim kampung yang letaknya tak jauh dari keraton Yogyakarta Hadiningkrat ini, lahirlah seorang tokoh KH A Dahlan. Jejak-jejak kebaikannya bisa terlihat dengan jelas dari beragam amal usaha. Mulai dari ribuan sekolah, ratusan lembaga pendidikan tinggi dan balai kesehatan, termasuk rumah sakit, puluhan panti asuhan yang tersebar di seluruh Indonesia. Yang terjadi kemudian adalah, ketika Kauman disebut, persepsi yang muncul di benak banyak orang adalah wilayah hunian warga Muhammadiyah.

Blonotan hari ini adalah sebuah tempat, di mana Samuel Huntington (tolong dibetulkan kalau salah tulis namanya) pernah bersabda dalam tesisnya: ‘the clash of civilization’ (benturan peradaban). Di kampung ini, memang tidak sedang terjadi benturan peradaban antara Islam dan Barat sebagai background penulisan tesis sang ilmuwan itu. Akan tetapi yang terjadi di sini adalah benturan peradaban antara warga MTA yang sedang rajin mengusung pelurusan aqidah, di satu sisi.

Dan sisi lain, ada penduduk kampung (tidak hanya di Blonotan, tapi di seluruh pelosok negeri ini yang masih setia menyembah berhala agama “KATANYA”) yang mempertahankan nilai-nilai local wisdom berbasis agama ajaran nenek moyang. Suatu ajaran yang mencampuradukkan Islam rasa Hindu atau Hindu rasa Islam. Lalu, bila dua rasa itu dicampuradukan secara acak-acakan akan menjadi rasa yang sangat berbeda. Beda sekali rasanya. Namanya RASAIN LO.

Bersambung

Selasa, 28 Juni 2011

RUMPUT TETANGGA LEBIH HIJAU [3-Tamat]

A Little Zoo

Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia.
 Mereka memiliki hati tapi tidak dipergukannya
untuk memahami (ayat-ayat Allah),
dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya
 untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah),
dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengarkan (ayat–ayat Allah).
Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi.
Mereka itulah orang-orang yang lengah
(Al-A’raf [7]:179)

Apa hikmah atau pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah si bos pemilik ‘a little zoo’, bila dikaitkan dengan energy, spirit, dan asupan gizi kutipan surat Al-A’raf [7]:179 ini ?

Mari bersama-sama kita merefleksikan kutipan ayat di atas — minimal versi saya lho. Ada tiga perkara penting yang perlu direnungkan. Kalau mau menambahkan, monggo silakan aja. Biar interaksi atau sharing ini bisa memperkaya khazanah keilmuan kita. Amin.

1. Isi neraka jahanam mayoritas dari kalangan jin dan manusia.

Percik nyala api neraka, di dunia saja, panasnya sudah bisa dirasakan oleh bos pemilik ‘a little zoo’. Ini bisa terlihat nyata, bila dikaitkan dengan pernyataan seorang filsuf (namanya lupa) “Hell is the other”, orang lain adalah neraka.

Dalam hal ini, orang-orang terdekatnya; anak dan istrinya adalah neraka itu sendiri. Seorang istri yang seharusnya menjadi ladang amal bagi kehidupan berkeluarga pada saat tertentu adalah neraka itu sendiri. Demikian juga dengan anaknya, yang tak lain adalah buah hatinya, penerus generasinya adalah menjadi neraka itu sendiri. Maka, jadilah rumah tangganya menjadi sebuah ladang pembantaian bernama neraka itu sendiri. Bukan bayti jannati, rumahku adalah surgaku, yang berujung pada keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.

2. HATI-MATA-TELINGA.

Tiga instrument dalam surat Al-A’raf di atas dalam konteks ‘rumput tetangga lebih hijau’ yang dimiliki si bos pemilik ‘a little zoo’, secara kasat mata, secara cetho welo-welo, terlihat jelas pada tampak fisik (blegger, jawa)-nya. Akan tetapi, ketiga instrument tadi, sebagaimana disinggung surat di atas, tidak dipergunakannya untuk memahami, melihat, dan mendengarkan (ayat–ayat Allah).
Ayat-ayat Allah dalam konteks keluarga si bos adalah anak dan istrinya. Jangan mentang-mentang jadi bos, punya kuasa, punya jabatan sebagai top leader di institusi keluarga lalu bisa seenak udele dewe bertindak arogan, kasar, dan tidak berperikemanusiaan. Tapi sebaliknya berperikehewanan.

3. Seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi

Ketika sisi kemanusiaanya sudah bertransformasi menjadi binatang, maka sisi terdalam dari isi hatinya pun tak jauh beda dengan isi ‘a little zoo’ itu. Yang terjadi adalah hukum rimba yang berlaku. Maka fatwa pun dikeluarakan, bahwa “asu gede menang kerahe.”

Yang menjadi pertanyaan adalah salahkah si bos memelihara lalu ngopeni beragam binatang dalam institusi “a little zoo” itu dibelakang rumahnya?

Sama sekali tidak salah. Bahkan, saya acungkan dua jempol setinggi-tingginya sebagai bentuk apresiasi terhadap kepeduliannya. Tapi, dia lupa bahwa “a little zoo” itu bukan satu-satunya rujukan yang kelak dijadikan model dalam menyelesaikan tiap masalah, terutama dalam keluarga. Apalagi di masyarakat.
Apalagi di hadapan sang Khalik. Apalagi ...dan apalagi.

Sekali lagi, saya jatuh kasihan pada tetangga saya ini. Ia dan segenap crew keluarganya telah menjadi ‘Brand Ambassador’ atau duta merek dari produk-produknya makhluk yang sudah dikutuk oleh Allah Azza Wa Jalla. Syetan Laknatullah.

Untuk menutup cerita ‘a little zoo’ ini, kutipan ayat berikut ini boleh menjadi ‘a cup of coffee’, untuk menghangatkan sebuah renungan. Beruntunglah, kalau hari ini, kita masih dipakai Allah sebagai ‘Brand Ambassador’ untuk menyampaikan jalan kebenaran-Nya. Baik melalui lisan kita, uang kita, kaki kita, tangan kita, mata kita, telinga kita, atau apa pun yang kita miliki. Untuk apa?

Untuk satu maksud: mungkin terlihat sepele ‘en remeh-temeh di mata manusia, tapi mulia di mata Allah SWT.

Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah,
maka dialah yang mendapatkan petunjuk
dan barang siapa yang disesatkan Allah,
maka merekalah yang rugi.
(Al-A’raf [7]:178)

Tamat

Senin, 27 Juni 2011

RUMPUT TETANGGA LEBIH HIJAU [2]

A Little Zoo

Dalam bahasa kita, Rasulluah mengingatakan bahwa di dalam dada manusia ada segumpal darah. Kalau segumpal darah itu baik , maka baiklah manusia. Tapi kalau segumpal darah itu jelek, maka jeleklah manusia itu. Apa segumpal darah itu? Segumpal darah itu adalah hati.

Apa kaitannya segumal darah yang disebut hati itu dengan si boss pemilik a little zoo?
Segumal darah itu, memang ada di dada si pemilik a little zoo. Sehat malah. Ciri khas orang sehat itu, yang pertama dan utama ‘kan gendut. Sebuah tanda kemakmuran, kata orang.

Dengan punya hati itu, si bos pada akhirnya tidak sampai hati, untuk kemudian tetap menjaga hati, agar bertindak hati-hati: jangan sampai tidak memberi makan barang satu hari saja.
Konsekuensi logis dari tindakan tidak memberi makan kepada klangenannya itu adalah tindakan yang tidak berperi-kehewanan. Tindakan bodoh itu akan membawa kematian hewan-hewan yang telah menjadi tanggung jawabnya.

Sekali lagi apa sih yang istimewa dengan tulisan ini?

Di lubuk hatinya yang tidak kasat mata, di sudut hati yang lain, lokasinya tak jauh dari hati yang tersembunyi di dalam dadanya itu, si bos tidak pernah memberi makan hatinya dengan asupan gizi yang cukup. Asupan gizi itu adalah makanan hati yang disebut santapan rohani. Lebih tegas dan lebih jelasya, ia - si bos itu - wajahnya tidak pernah tersentuh air wudlu alias tidak pernah.

Apa yang terjadi kemudian?

Pernah suatu ketika, si bos yang tak lain adalah tetangga dekat saya ini sempat perang mulut dengan istrinya. Tidak tahu persis apa yang menjadi motif pertengkaran itu. Solusi yang biasa ditempuh, mungkin hanya boleh dan pantas dilakukan oleh seekor binatang saja.

Dengan sebilah belati di tangan, si bos tadi siap menghunus alat yang biasa untuk memotong brambang, bawang, dan sejenisnya itu, siap ditusukkan ke perut anak pertamanya yang berumur 18-an tahun. Pada saat bersamaan, istrinya siap pasang badan. Menggantikan posisi si anak, untuk menghalangi nafsu binatang sang suami menghabisi nyawa anaknya.

“Aku wae sing mati, pak” cegah istrinya menghadap persis di ujung sebilah belati yang siap ditikamkan ke dada istrinya.

Melihat istrinya, ya belahan jiwanya, ya sigaraning nyawa itu siap mengirim nyawanya, hati si bos atau sang suami ini luruh dan mengurungkan niatnya. Tidak beberapa lama, drama setengah babak itu pun berakhir. Dan berakhir pula drama pembunuhan.

Apa motivasi seorang bapak, begitu tega membunuh buah hatinya?

Seperti sabda Rasulullah di atas, segumpal darah yang disebut hati itu telah rusak. Hal ini diperparah dengan tata pergaulannya dengan komunitas binatang piaranya. Tiap hari ia berinteraksi dengan para binatang itu. Memberi makan binatang itu, it’s ok. Bahkan sangat mulia dan itu sudah kewajibanya.

(bersambung..)

Minggu, 26 Juni 2011

RUMPUT TETANGGA LEBIH HIJAU [1]

A Little Zoo

Inilah kisah tetangga sebelah Timur saya di mana saya tinggal.

Di belakang rumahnya ada ayam kampung, ayam kate, menthok, burung dan entah apa lagi jenis binatang piaraan yang kemudian saya sebut sebagai a little zoo— kebung binatang mini, itu.

Masing-masing species binatang itu ditempatkan pada kandang yang berbeda. Pengelompokan seperti itu menyerupai kotak-kotak kerja pada sebuah kantor berdasarkan kompetensi dan kajian profesional.

Penempatan kandang ayam diletakkan pada teras belakang rumah, berdampingan dengan ayam kate yang bentuknya lebih kecil. Sementara kandang menthok di letakkan agak jauh dari rumah, dekat dengan comberan, tempat pembuangan air limbah. Di sanalah komunitas menthok itu beraktivitas. Jangan tanya baunya. Yang jelas, cara kerja mentok itu sendiri sudah jorok apalagi tempatnya.

Yang lebih istimewa adalah kandang burung, atau lebih tepatnya sangkar burung. Ia – si burung itu – memiliki privelege, semacam hak istimewa dari sang tuan. Istana burung yang disebut sangkar itu adalah mobile. Bisa bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Semacam benda portable, dan dengan itu si burung bisa menempati posisi penting maupun posisi favorit yang disukai sang tuan.

Bila malam tiba, si burung beserta sangkarnya dimasukkan ke dalam rumah bersama sang tuan. Inilah hak istimewa yang dimiliki si burung tadi. Memasuki rumah bersama tuannya artinya, ada sebuah kehangatan di sana. Karena merasa hangat, merasa nyaman, maka omelan itu – tepatnya kicauan, bukan tweet, lo – nyaris tidak terdengar. Mungkin, si burung sungkan, takut mengganggu istirahat sang tuan.

Sang pemilik a little zoo tahu persis, lokasi dan kompetensi masing-masing binatang klangenannya itu. Tidak jauh beda dengan kita – maksudnya manusia. Selalu ada perlakuan yang berbeda dalam klasifikasi itu. Ada yang dianak-tirikan, ada juga yang dimanjakan. Masing-masing perlakuan itu memiliki peluang untuk sebuah unsur SARA. Tapi untung-lah, di dalam dunia binatang tidak mengenal apa yang dinamakan HAB (Hak Asasi Binatang). Sepanjang pengetahuan saya, jarang terjadi — untuk mengatakan tidak ada — demo besar-besaran (semacam tabliq akbar, gitu) yang memperjuangkan hak-hak mereka, jamaah binatang itu.

Bila pagi tiba, suasana a little zoo sangatlah riuh. Seperti pasar atau terminal atau stasiun kereta api di saat jam pemberangkatan pertama. Suara ayam, menthok, burung berpadu jadi satu untuk cari muka (carmuk) di hadapan sang tuan. Masing-masing menyuguhkan lagu terbaik mereka. Masing-masing teriakan mereka mempunyai maksud dan tujuan yang berbeda. Kalau di dunia manusia, mungkin semacam visi dan misi, begitu. Ini mungkin yang dinamakan demo ala binatang itu.

Di tengah suasana hiruk pikuk itu, sang bos, sang pemilik a little zoo itu, menyadari sepenuh hati, tuntutan anak buahnya bahwa saatnya mereka harus dikasih makan. Maka pesta sarapan pagi itu pun di mulai.

Apa yang menarik dari cerita di atas. Sepintas lalu tidak ada yang menarik. Tapi ada satu hal yang sangat fundamental. Yang fundamental itu adalah sesuatu yang tersembunyi di balik dada si bos, pemilik a little zoo itu.
(bersambung...)

Sabtu, 25 Juni 2011

There’s No Free Lunch [4-tamat]

“Sesungguhnya Islam itu pada mulanya datang dengan asing (tidak umum),
dan akan kembali dengan asing lagi seperti pada mulanya datang.
Maka berbahagialah bagi orang-orang yang asing“.
Beliau ditanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang asing itu ?”.
Beliau bersabda, “Mereka yang memperbaiki dikala rusaknya manusia”.
Dan di lain riwayat beliau ditanya (tentang orang-orang yang asing).
Beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang menghidup-hidupkan
apa-apa yang telah dimatikan manusia daripada sunnahku”.
[HR. Muslim, Ibnu Majah dan Thabrani]

Yang dimaksud dengan ‘ghuroba’ (asing, aneh, alien) pada kutipan hadist di atas, secara bodon (baca: bodoh menurut saya) adalah warga MTA. Gerakan yang nyaris sama dan sebangun dengan gerakan untuk kembali ke Al Qur’an dan As-Sunnah. Mereka ini memiliki kesamaan visi dan misi yang sama dalam memandang hal yang dinamakan “laisa minal Islam: yakni TBC, Takhayul, Bid’ah dan Churafat” itu.

Mereka yang memiliki karakterisitk meninggalkan amal-amal “laisa minal Islam itu sebagai ‘The Big Brothers’ (kang mas-e MTA, saudara tua). Mereka adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh KH.Ahmad Dahlan, Persis yang didirikan oleh KH. A.Hasan dan Al Irsyad yang ditokohi oleh KH Ahmad Syurkati. Di luar itu, masih ada lagi gerakan-gerakan salafi yang fundamentalis, dengan ciri-ciri jenggot dengan gamis lengkap dengan celana jongklangnya.

Dibanding dengan ‘The Big Brothers’, umur MTA memang terbilang masih muda, masih kenes, masih imut-imut, masih innocent. Akan tetapi dibalik ke-imut-imut-annya, justru banyak tangan-tangan jahil, tangan usil dan nakal, ingin menjahili plus menggoda keimutannya dan ke-innocent-nya itu.

Bagi mereka yang gemes: iih… gemes deh, biasanya tindakan lanjutan dari spontanitas itu adalah mencubit atau mencawil. Atau bahkan karena saking gemesnya, ada lho yang sampai mencuri-curi ingin menciumnya!

Ngak percaya!!!

Mari bertanya kepada SuaraMerdekaCybernews|Suara Banyumas tanggal 01/04/11 yang lalu. Dengan redaksi yang agak saya selengwengkan, biar menjadi lebih improvisatif, bunyinya mungkin menjadi begini:

Menurut Koran itu (masih menurut versi saya lho), MTA itu sejanis makhluk hidup yang sangat menggemaskan. Oleh karenanya, ia wajib dicubit. Dicubit karena dua hal. Sayang banget atau benci banget (benci tapi rindu, ya). Entah potensi antara sayang dan benci itu lebih condong ke mana. Saya tidak tahu persis. Yang tahu persis, tentunya yang mencubit itu, ‘kan.

Karena yang lebih tahu itu si pencubit, mari kita baca kembali cubitan di bawah ini. Silakan menebak sendiri, potensi sayang dan benci ini lebih condong ke mana:

“Para Kiai merasa keberatan dengan materi dan metode pendekatan yang dilakukan MTA dalam melakukan dakwah. Pasalnya, MTA tidak menghormati perbedaan fiqhiyah, cenderung melecehkan ajaran kelompok lain, provokatif, menyebarkan kebencian, dan permusuhan di kalangan umat Islam, sehingga mengganggu ketenteraman dan keharmonisan umat beragama di Purworejo”.

Untuk mempertegas atau tepatnya melegitimasi sejumlah kegemasan itu dibuatlah arena atau ajang pencubitan. Ajang pencubitan itu bernama Rakor. Rakor ini dimoderatori Kepala Kemenag Drs H Khozin Sukardi dihadiri Assek III Drh H Abdul Rahman mewakiliki bupati, Kasdim Mayor Inf Deny Kartiwa, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Purworejo KH Abdullah Syarqowi, Ketua Forum Komunikatan Umat Beragama (FKUB) KH Junaedi Jazuli, Ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Purworejo H Dandung Danadi, Kabag Kesra Setda Purworejo Drs Bambang Susilo, perwakilan Polres, serta perwakilan Kesbangpolinmas.

Tidak cukup sampai di situ. Untuk menimbulkan kesan triple effect: angker, gagah dan berwibawa, dibuatlah cubitan yang lebih keras dan lebih berkelas. Biar Lebih membekas, dengan maksud si imut ini lebih keras tangisannya.

Cubitan keras ‘en berkelas itu adalah surat PCNU bernomor: PC.11.32/04/D/III/2011 yang berisi pernyataan sikap tersebut. Surat tersebut juga ditandatangani para kiai khos di Purworejo. Mereka yakni KH Jakfar Samsuddin pengasuh pesantren Al Falah Lugosobo, KH Dawud Muchlas (PP Al Muttaqin), KH Dawud Maskuri (PP Ma'unah Plaosan), KH Thoyfur Mawardi (PP Darut Tauhid), KH Habib Hasan Al Ba'bud (PP Al Iman Bulus), KH Abdullah Syarqowi (PP Al Irsyad), KH Chalwani Nawawi (PP An Nawawi), KH Nashihin CH (API Winong Kemiri), dan KH Much Atabik (PP Ash Shiddiqiyah).

Apakah si Imut nan menggemaskan ini dan itu (MTA dong maksudnya) akan menangis? Ya tentu saja menangis. Manusiawi-lah. Dan itu sehat dan menyehatkan.

Di tengah lelahan air matanya itu, si imut nan menggemaskan ini dan itu berlari menuju suatu tempat. Tempat itu adalah Hadist Qudsi yang berbunyi:

Dari Abu Hurayrah r.a., katanya: Bersabda Rasulullah Saw.: “Berfirman Allah Yang Maha Agung: “Aku berada dalam sangkaan hamba-Ku tentang Aku, dan Aku bersama-nya ketika ia menyebut Aku. Bila ia menyebut Aku dalam dirinya, Aku menyebut dia dalam Diri-Ku. Bila ia menyebut Aku dalam khalayak, Aku menyebut dia dalam khalayak yang lebih baik dari itu.

Bila ia mendekat kepada-Ku satu jengkal, Aku mendekat kepadanya satu hasta. Bila ia mendekat kepada-Ku satu hasta, Aku mendekat kepadanya satu depa. Bila ia datang kepada-Ku berjalan kaki, Aku datang kepadanya berlari-lari.”
[HR Al-Bukhari, Muslim, Ibn Majah, At-Tirmidzi, Ibn Hanbal]

TAMAT

Jumat, 24 Juni 2011

There’s No Free Lunch [3]

Strategy without tactics is the slowest route to victory.
Tactics without strategy is the noise before defect.
— Sun Tzu.

Para pembaca majlis Azzaytuna yang budiman, monggo silakan membuka kembali artikel saya berjudul “Mengemis pada Pengemis”. Saya mohon untuk flash back ke suatu masa JADUL, membuka kembali shirah nabawiyah itu untuk satu maksud: Membuka luka sejarah. Luka sejarah yang pernah ditikamkan dan dihunjamkan ke sebuah dada lapang nan lebar. Sebuah dada yang didalammnya ada segumpal daging merah bernama: HATI.

Di hadapan sang pemilik HATI itu, ada seorang pengemis — buta dan Yahudi lagi — dengan mulut penuh makanan sambil ngoceh binti ngomel ngalor ‘en ngidul. Yap.. sembari mengunyah makanan-makanan itu, sebilah pisau belati dengan ketajaman tertentu mengiris-iris, merobek-robek, mencacah-cacah hati sang pemilik HATI itu.

Kembali saya ingatkan lagi akan kisah itu, bahwa pada rongga mulut orang menjijikkan itu — setidaknya menurut penilaian kebanyakan orang — ada sekumpulan makanan. Sekumpulan makanan yang sedang dikunyah dengan enak dan nyaman itu adalah hasil kunyahan sang pemilik HATI, yang pada saat itu juga, pada saat bersamaan sedang berlangsung proses pencacah-cacah hati oleh pengemis tadi.

Pekerjaan yang bertolak belakang itu: mencacah-cacah hati yang dilakukan si pengemis dan penyuapan makanan oleh sang Pemilik HATI adalah dua pekerjaan yang dilakukan dua orang dengan keyakinan yang berbeda. Dan dua orang yang bukan sanak bukan kadang, ya.. bukan saudara.

Dua-duanya dilakukan dengan rasa nyaman dan enjoy. Pihak yang disuapi, sama sekali tidak merasa bersalah apalagi berdosa telah mencacah hati. Di pihak lain sang pemilik HATI juga tidak merasa terusik sedikit pun akan proses pencacahan hati.

Tahukah Anda, apakah warna, bentuk, dan karakteristik sebilah pisau belati yang ada dirongga mulut si pengemis buta dan Yahudi itu?

Sebilah pisau belati yang amat tajam dan berbisa itu, kalau dikonversikan dalam bentuk kalimat adalah seperti ini: “WAHAI SAUDARAKU JANGAN DEKATI MUHAMMAD. DIA ORANG GILA, PEMBOHONG DAN TUKANG SIHIR. APABILA KALIAN MENDEKATINYA KALIAN AKAN DIPENGARUHINYA”

Just imagine. Coba bayangkan. Sekali lagi : B-A-Y-A-N-G-K-A-N.

Bisa saya bantu, bagaimana cara membayangkan? Pejamkan mata, tarik kosmis kesadaran hati sepenuh langit sepenuh bumi. Bahwa saat ini Anda sedang melakoni episode hidup sebagaimana Muhammad lima abad yang lalu.

Buka mata kembali. Lalu rasakan energy Nur Muhammad itu masuk memenuhi rongga dada Anda lalu menetes pada sopotong hati Anda.

Okey! Alhamdulilllah berhasil.

Lakukan sekali lagi untuk mencapai trigger efek self confidence yang lebih kuat.

Okey tahap kedua: berhasil! Alhamdulilllah.

Langkah terakhir: menangis lah sekeras-kerasnya. Sepenuh langit sepenuh bumi. Setelah itu, mungkin ada semacam rasa aneh yang menelusup, juga menyergap: semacam keterharuan, mungkin. Jika demikian, maka itulah yang disebut sebentuk pengamalan atas perasaan haru atau empati, yang pada detik berikutnya perasaan empati itu akan membuka berbagai jenis pengahayatan yang sifatnya sangat personal, sangat pribadi.

Pada dimensi itu, kita tahu diri, lalu bertanya: siapakah aku? Apa sih yang sudah kita persembahkan untuk sang pujaan hati itu. Beliau yang telah merisaukan dirinya untuk sebuah entitas ummati dan ash-sholah, dan demi sebuah pengorbanan yang saat ini kita kenal dengan ISLAM.

Tidak malukah kita betapa ciri orang beriman itu adalah “khoirunnas anfa’uhum linnas”? Kontribusi apa ya — kira-kira aja — yang bisa kita dedikasikan untuk sang pujaan hati itu. Kalau begitu, bersegera saja membuka kesadaran baru tentang “a new knowledge’, sebuah tanya tentang sangkan paraning dumadi.

Rasa empati yang sama, juga dialami oleh seorang Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau, yang tak lain adalah menantu sekaligus teman karib Baginda Rasulullah SAW. Pada titik kesadaran tertentu dan demi mengetahui dan mendengar dengan mata dan kepala sendiri atas testimoni (kesaksian) seorang pengemis Yahudi itu. Maka menangislah khalifah pertama ini di hadapan si pengemis.

Saya tahu persis, hati orang paling mulia di bawah satu derajat Kanjeng Nabi Muhammad ini, bukan terbuat dari batu. Saya juga tahu persis, bagaimana beliau menyembunyikan rasa sakit lalu menahannya akibat digigit ular, kala bersemunyi di sebuah gua. Tapi rasa sakit ini, jauh lebih sakit dibandingkan dengan luka yang begitu menusuk di sebuah lokasi di mana Allah tinggal di situ [qolbun muslimin baitullah].

Mungkin inikah yang disebut ‘Strategic of Heart’ (istilah saya aja lho, jangan dimasukan dalam hati) dari sang pujaan hati kita, yang telah menaklukkan dunia untuk sujud di bawah telapak kaki peradaban Islam dengan strategi hatinya itu.

Atau inikah strategi sekaligus taktik yang tidak gratis itu. There’s no free lunch.

Bersambung ....

Kamis, 23 Juni 2011

There’s No Free Lunch [2]

MTA Yang Tak Pernah Diam

Tiga elemen fundamental: ba’saau + dzorroo’uu + zulziluu ini, marilah kita lihat dari sudut pandang teknologi tiga dimensi: 3D — ini hanya akal-akalan saya aja lho! Dari perspektif ini, suatu benda, barang atau bahkan manusia akan terlihat lebih asyik, lebih indah, lebih cantik, dan lebih-lebih yang lain, melebihi warna aslinya.

Demikian halnya dengan para lelaki sejati dari trah kabilah pertama orang beriman bernama para sahabat itu. Mereka membaca kutipan surat Al-Baqarah [2]: 214 di atas, seperti makan pisang goreng yang masih anget. Artinya, mereka para sahabat itu, langsung sam’na wa atho’na. Tidak banyak cakap tidak banyak membantah. Langsung Just Do IT.

Maka cerita selanjutnya adalah mereka segera mencium semerbak aroma wangi bunga. Bunga melati, kasturi, lavender, dan wangi-wangi bunga lainnya. Wangi-wangian itu memancar dari salah satu kelopak mawar dari surga yang jatuh ke bumi. Jatuh karena menyaksikan para calon suhada yang ‘total fight’ di medan perang sahid itu. Para bidadari di surga demikian tertegun melihat tetesan darah pujaan hatinya yang sedang ‘adu nyowo’ di bumi. Yang akhirnya tidak menyadari, satu kelopak mawar yang terselip disela-sela rambutnya itu jatuh ke bumi.

Menurut satu versi cerita/riwayat, satu tetes aja keringat bidadari yang jatuh ke permukanan bumi, akan menjadikan seluruh isi bumi ini wangi se wangi-wanginya.

Au au... itu artinya, ngak laku dong merek parfum seperti rexona, pixy, de-el-el.

Bukannya langkah mundur yang diambil para sahabat. Ia justru merangsak maju menembus benteng pertahanan musuh, untuk mendapatkan sepasang mata bola pingpong milik bidadari itu.

Dengan kata lain, mendengar good news tentang surga atau janji-janji Allah yang lain, para sahabat rela mati. Lebih dari, ia tak sabar segera menjemput bidadari-bidadari itu sesegera mungkin, as soon as possible.
Telinganya sudah gatal-gatal, seperti mendengar langkah kecipak-kecipuk manja bidadari di telaga putri belakang rumah. Melalui ilham yang sama, roh sang mujahid itu dipopong, disemayamkan pada sisi peraduan pengantin di surga.

Itulah kisah imajiner bernama positive thinking dari salah satu sudut pandang, bagaimana para mujahid itu tidak sedikit pun gentar apalagi mundur dalam mengambil seruan berjihad di jalan Allah (Jihad fi Sabilillah). Libido — sekali lagi ini hanya istilah saya aja lho, untuk mempertegas syahwat untuk mati sahid! — semakin memuncak. Sama persis seperti seekor kucing mencium bau gereh (ikan asin). Atau seperti sebuah takdir ikan Hiu yang mencium aroma darah.

Pada saat ini, ya DETIK-DETIK ini pula, pada the silent moment ini, detik-detik saya menulis artikel ini adalah sebuah takdir ikan Hiu yang mencium aroma darah. Saya, juga warga MTA yang lainnya, terus menerus merasa gerah sekaligus marah, seperti marahnya seekor Hiu yang terus mengendus dan terus menemukan titik pusat di mana darah itu menetes.

Ya, ternyata tetes darah itu menetes pada sepasang paha bidadari bernama “Penyegelan Gedung MTA Purworejo” (info ini saya peroleh dari SMS Ibu Sri Partini, warga MTA Klaten yang militan itu).

Dan oknum Penyegel itu adalah utusan Syetan. Cara seperti itu, kok, kayaknya sama dan sebangun dengan cara para kafir Quraisy dalam mengintimidasi strategi dakwah Rasulullah yang aneh itu. Seperti petikan riwayat hadist berikut:

“Sesungguhnya Islam itu pada mulanya datang dengan asing (tidak umum), dan akan kembali dengan asing lagi seperti pada mulanya datang. Maka berbahagialah bagi orang-orang yang asing“. Beliau ditanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang asing itu ?”. Beliau bersabda, “Mereka yang memperbaiki dikala rusaknya manusia”. Dan di lain riwayat beliau ditanya (tentang orang-orang yang asing), beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang menghidup-hidupkan apa-apa yang telah dimatikan manusia daripada sunnahku”. [HR. Muslim, Ibnu Majah dan Thabrani]

Bersambung ...

Rabu, 22 Juni 2011

There’s No Free Lunch (1)

MTA Yang Tidak Pernah Diam

ATAUKAH KAMU MENGIRA BAHWA KAMU AKAN MASUK SURGA PADAHAL BELUM DATANG KEPADAMU (COBAAN) SEPERTI YANG DIALAMI ORANG-ORANG TERDAHULU SEBELUM KAMU. MEREKA DITIMPA KEMELARATAN, PENDERITAAN, DAN DIGUNCANG (DENGAN BERBAGAI COBAAN), SEHINGGA RASUL DAN ORANG-ORANG YANG BERIMAN BERSAMANYA BERKATA: “KAPANKAH DATANGNYA PERTOLONGAN ALLAH?” INGATLAH, SESUNGGUHNYA PERTOLONGAN ALLAH ITU DEKAT.
(Al-Baqarah [2]: 214)

Mohon izin saya membaca ayat yang saya kutip di atas, dengan melibatkan otak kiri dan otak kanan, yang tak lain adalah sisi lain dari pemahaman terbodoh dan terlemah saya, yang dengan segala kelancangan dan kebrutalan saya — saya tafsirkan sebagai There’s no free lunch, tidak ada makan siang gratis.

Dan dengan there’s no free lunch itu pula, orang yang kebelet pipis di terminal bus dan di stasiun sepur, harus menyediakan fulus minimal seribu rupiah. Kalau mau gratis, silakan pipis dipojok terminal sana, yang di atasnya tertulis : HANYA ANJING YANG BOLEH KENCING DI SINI!

Makan siang itu tidak gratis. Pipis itu juga tidak gratis. Mau gratis? Tahu sendiri ‘kan.

Hal-hal yang bersifat keduniaan, yang fisikal, yang tampak oleh mata saja tidak gratis, apalagi ini sebuah surga yang jelas-jelas tertulis Al-Qur’an. Jangan mimpi lah yau..

Sekali lagi, izinkan untuk kedua kalinya saya membaca sisi lain ayat di atas dengan sentuhan agak berbeda. Ayat itu saya pahami sebagai sebuah stategi, sebuah taktik, dan sebuah grand design dari Sang Penguasa Tujuh Lapis Langit Tujuh Lapis Bumi. Dia-lah Allah SWT yang mentrasfer energi ilmu itu melalui lidah kekasih-Nya. Melalui peluh keringat manusia paripurna yang disebut ummi (bodoh) itu. Melalui tetes air matanya yang senantiasa mengucur deras pada penghujung sepertiga malam itu. Melalui tetes darah panglima perang yang tak ada kata menyerah itu. Melalui nafas terakhir yang pada ujung lidahnya senantiasa risau dan resah tentang dua hal: ummati dan assolah itu.

Ya, melalui insan kamil dengan gelar al-Amin, Ya Jabbar, Ya Aziz, Ya Mutakabbir telah melakukan hard training kepada The First Generation sekaligus The Best Generation yang lahir di akhir zaman melalui rahim kaum kafir suku Quraisy. Itulah generasi para sahabat. Sebuah generasi yang dipuji oleh Allah sendiri dalam kutipan ayat berikut ini.

“KAMU ADALAH UMAT TERBAIK YANG DILAHIRKAN UNTUK MANUSIA, MENYURUH KEPADA YANG MA’RUF DAN MENCEGAH DARI YANG MUNKAR DAN BERIMAN KEPADA ALLAH… “ (Ali Imran[3]:110)

Membicarakan generasi para sahabat dengan kutipan surat Al-Baqarah [2]: 214 itu, adalah seperti nonton film thriller yang penuh ketegangan. Sebuah ketegangan tingkat tinggi yang diwakili tiga point penting pada kata: ba’saau (melapetaka, kemelaratan), dzorroo’uu (penderitan) dan zulziluu (diguncang dengan beragam cobaan). Tiga elemen yang sangat fundamental itulah yang menjadikan para sahabat dijuluki sebagai generasi terbaik (khoiru ummah), yang ditakuti musuh-musuh Islam kala itu.

The First Generation sekaligus The Best Generation itu memang sudah lama tiada lima belas abad yang lalu. Hari ini, mereka memang sudah berkalang tanah dan berkalung surbannya para bidadari. Tapi, karakteristik ruhul jihad mereka it’s never ending.

Akan tetapi, ruhul jhad itu, saat ini sedang menetes, menitis, dan reinkarasi pada diri orang-orang yang kemudaian disebut warga MTA. Sebuah generasi yang tidak memakai sorban dan jenggot, tapi memiliki DNA (cetak biru) yang nyaris sama dengan para sahabat.

DNA (cetak biru) yang tidak lain adalah ba’saau (melapetaka, kemelaratan), dzorroo’uu (penderitan) dan zulziluu (diguncang dengan beragam cobaan) itu, pada detik-detik telah menjadi pakaian sekaligus penghangat keimanan mereka.

Bersambung...

Selasa, 21 Juni 2011

Ritus Persalinan yang Mendebarkan (5-tamat)

Biasanya setelah tawa meledak, kita akan merasa lega atau ada himpiran batin yang seakan terlepas. Setelah suasana segar, pikiran jernih, kritikan dan bahkan cercaan sudah dianggap mainan kata, maka orang baru bisa melihat kehidupan yang sesungguhnya. Bila dunia sudah mampu dilihat dari perspektif tawa, maka dunia tidak akan menertawakan kita. Pemimpin yang punya rasa humor baik, penerapan demokratisnya juga akan baik. Jangan jadi Fir’aun, candanya keterlaluan, Masak mau jadi Tuhan? (Jaya Arjuna, 2010).

Itulah terapi psikologis dalam mengatasi plus melihat problematika hidup dari sisi yang paling ekstrim; sisi berbeda. Terlepas dari itu semua, marilah kita kembali kepada sebuah fakta baru bahwa lembaga dakwah ini, ya MTA ini tentunya, memang istimewa. Keistimewaan ini makin istimewa manakala berkaitan dengan lokasi Yogyakarta (baca: Gedung Sportorium UMY) sebagai tempat kelahiran jabang-jabang bayi itu.

Hukum kausalitas, semacam hukum sunnatullah begitu, atas tragedy Purworejo itu melahirlah blue print (cetak biru) rencana baru di atas rencana baru. Artinya, rencana awal adalah peresmian MTA Perwakilan Purworejo dan MTA Cabang Pituruh, Purworejo.

Di atas rencana yang sudah tersusun rapi dengan logika akal sehat manusia, ternyata tidak sejalan dengan akal Maha Sehat milik Allah Subhanallahu Wa Ta’ala.

Di luar perkiraan, Allah membuka tabir-Nya dengan cara-Nya sendiri. Peresmian beberapa cabang seperti MTA Cabang Kasihan, Kabupaten Bantul; MTA Cabang Piyungan Kabupaten Bantul; MTA Cabang Rongkop, Kabupaten Gunungkidul; MTA Cabang Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo, adalah rencana terbaik dari dan milik Allah semata.

Blue print itu bernama ndilalah. Dan ndilalah-nya lagi Yogyakarta dipilih Allah sebagai tempat untuk peresmian. Dan sekali lagi, ndilalah-nya Kota Gudeg ini lagi nyandang gerah (baca: lagi sakit) berkaitan dengan status keistimewaan yang menggegerkan itu.

Jadi, dua-duanya sama-sama sedang dikuyo-kuyo (baca: didzolimi atau dibantai) oleh sebuah rezim yang sama-sama hidup di bawah sebuah negeri yang disebut Pancasila. Yogyakarta sedang didzolimi oleh pemerintah pusat, Jakarta. Sementara MTA Purworejo dibantai oleh saudara kandungnya sendiri, yang tidak perlu saya sebut naman rezimnya.

Sekedar mengingatkan saja bahwa kosa kata ndilalah itu berasal dari bahasa Jawa, yang artinya: kersaning Gusti Allah) yang tidak lain adalah rencana terbaik menurut versi Allah Subhanallahu Wa Ta’ala.

Jadilah perkawinan ideal dan seru antara MTA yang dibantai plus Yogyakarta yang didzolimi ini melahirkan do’a yang sangat indah dan sangat makbul. Seperti sama-sama kita tahu, bahwa salah satu pintu doa agar cepat terkabul adalah doa orang yang didzolimi. Tumbu oleh Tutup, Klop-lah.

Saya kemudian teringat kisah tentang terkabulnya sebuah doa. Yakni kisah tentang kerasnya seorang ibu dalam menyelamatakan buah hatinya yang terjadi ribuan tahun yang lalu di tengah panasnya gurun Sahara. Kisah monumental itu adalah perjuangan seorang ibu bernama Siti Hajar, bersama bayinya yang ditinggal suami di sebuah lembah padang pasir yang gersang. Sekian lama tak minum, air susu pun mengering. Si bayi yang kehausan itu tentu menangis keras dan meronta-ronta.

Bagaimana perasaan si Ibu? Tentua saja hatinya teriris mendengar tangisan buah hatinya. Ia cemas dan takut memikirkan keselamatan bayinya yang didera dahaga di tengah padang pasir yang kering kerontang tak berair itu.

Apa yang dilakukan si ibu di tengah kekalutan perasaan, sungguh di luar dugaan. Dalam stresnya, ia tak terpuruk dan terdiam, namun melakukan langkah dramatis. Yaitu berlari mencari air ke atas bukit.

Secara logika, kecil kemungkinan adanya air di atas bukit yang gersang itu. Namun ia tak menghentikan usahanya. Ketika dibukit Shafa dan tak menemuknan air, ia pun menuju Marwah. Begitu pula ketika di Marwah tak ada air, ia pun bergegas lagi ke Shafa. Berkali didatangi kedua bukit itu. Berkali pula yang ia temukan, kecuali kegersangan semata. Namun ibu ini tetap tak pusus asa.

Atas kebesaran Allah, memancarlah air dari sebuah sumur yang kemudian bernama air zam-zam. Bukan dari dua bukit yang terus di datangai sang ibu. Namun justru keluar dari dekat telapak kaki sang bayi.

Wanita yang melegenda itu mengajarkan dua hal. Keyakian kuat akan pertolongan Allah dan konsisten dalam berusaha dan bekerja. Dari kisah wanita tangguh itu pula, terselip semuah amanah. Sebuah amanah yang sudah built in dengan seorang ibu dengan naluri cinta dan kasih sayang pada anak-anaknya.

Disebut ibu, karena ia dititipi plus ditugasi untuk memikul salah satu dari ‘Sembilan Puluh Sembilan’ Asma Allah, Asma’ul Husna: “AR- RAHIM” (Maha Pengasih).

Kelahiran 6 perwakilan dan cabang MTA tanggal lahir 5 Juni 2011 yang lalu, diantaranya: MTA Perwakilan Purworejo, MTA Cabang Pituruh, Purworejo, MTA Cabang Kasihan Kabupaten Bantul, MTA Cabang Piyungan Kabupaten Bantul, MTA Cabang Rongkop Kabupaten Gunungkidul, MTA Cabang Nanggulan Kabupaten Kulon Progo, tidak bisa terlepas dari intervensi sifat Ar-Rahim-Nya Allah tersebut.

Terbukti sudah, kalau Allah sudah berkendak dengan ‘kun fayakun” tak seorang yang bisa mengelak dan menghalangi. Sekalipun seluruh masyarakat jin, manusia, binatang, syetan, dan bahkan malaikat sekalipun bersatu untuk menggulingkan kekuasaan Allah, pasti dan mutlak pasti tidak bakal bisa melawan kehendak Allah.

(Tamat)

Senin, 20 Juni 2011

Ritus Persalinan yang Mendebarkan (4)

Proses persalinan bayi-bayi itu atau lebih tepatnya peresmian 6 perwakilan dan cabang itu tidak hanya disaksikan 30 ribuan jamaah atau warga. Tapi disaksikan juga oleh sejumlah tokoh yang punya kompetensi dan profesionalitas dalam membidani kelahiran generasi penyelamatan aqidah. Tokoh-tokoh itu adalah KH. Amrullah Ahmad (MUI Pusat), KH. Thoha Abdurrahman (MUI DIY), Prof. Dr. Zeanal Arifin Adanan (MUI Suraktata) dan Ketua Umum MTA Drs. Ahmad Sukino.

Inilah kelahiran yang spektakuler. Saya katakan spektakuler. Karena sepengetahuan saya, belum ada dalam sejarah persalinan, sekali mak projot keluar bayi kembar enam. Inilah hasil poligami yang fenomenal dan fantastik itu.

Poligami ?

Ya... benar Poligami yang fenomenal dan fantastik. Saya katakan poligami, di mana letak logikanya. Logikanya begini:

Sang ayah adalah MTA Pusat. Sementara MTA Kabupaten Purworejo adalah istri pertama. Dari sini lahir dua bayi kembar: perwakilan Purworejo dan Cabang Pituruh.
Istri Kedua adalah MTA Kabupaten Bantul. Dari rahim ibu Bantul ini lahirlah dua bayi kembar: MTA Cabang Piyungan dan MTA Cabang Kasihan.

Istri Ketiga adalah MTA Kabupaten Gunungkidul, yang melahrikan MTA Cabang Rongkop.
Istri Keempat adalah MTA Kabupaten Kulon Progo, yang melahirkan MTA Cabang Nanggulan.

Ah..ngawur itu.

Ah.. ah.. ada ada aza zaa.

Itulah cara sehat mengambil hikmah, semacam “blessing in disguise”. Selalu ada udang di balik rempeyek, ‘kan. Maksudnya, selalu dan selalu ada hikmah di balik bencana. Sekecil apapun hikmah itu, pasti ada. Ada deh? Dan semua itu, sangat tergantung pada selera humor, sense of humor, masing-masing orang. Semakin tinggi tingkat humornya, maka semakin tinggi pula tingkat kesintingan orang tersebut. Termasuk penulis blog ini, kali. Hi..hi..hi

Sebab kata orang (baca: KBBI 2008), humor adalah kemampuan merasai sesuatu yang lucu atau menyenangkan. Humor dinyatakan sebagai keadaan yang menggelikan hati, kejenakaan atau kelucuan. Kemampuan seseorang “menikmati” humor sangat ditentukan oleh penghayatannya terhadap kehidupan dan pengalaman emosionalnya.

Salah satu obat stress yang paling ampuh adalah humor karena ia dapat menggelitik hati, sehingga membuat orang senang dan tertawa. Tetapi tidak setiap tertawa disebabkan karena rasa senang. Tergelitik badan orang juga dapat membuat orang tertawa. Orang yang menghirup gas (baca: kentut, maaf), juga dapat tertawa berbahak-bahak. Namun jelas tidak menyehatkan.

Tawa yang terjadi spontan dapat memperbaiki fungsi pembuluh darah. Tidak heran bila semua orang sepakat bahwa tertawa itu menyehatkan. Kemampuan seseorang merasai sesuatu yang lucu dari suatu pembicaraan sangat tergantung kepada tingkat pendidikan, tingkat kecerdasan, latar belakang budaya, pengalaman hidup dan keterkaitannya dengan topik yang disampaikan.

Tidak semua humor dapat membuat orang tertawa. Bagi yang modern dan cerdas, menertawakan dan ditertawakan itu sama-sama membuat orang senang.

Man sana en korporesano (salah tulis, kali).

Didalam tubuh yang sehat ada jiwa yang sehat. Di dalam jiwa yang sehat ada tertawa yan sehat. Betul nggak.
NGGAAAAAK!!!

Untuk itu marilah kita tertawa bersama-sama. HA HA HA

(Bersambung….)

Minggu, 19 Juni 2011

Harga Setetes Iman (8-Habis)

Ternyata, si smart girl yang saya ceritakan di atas bukan sembarang gadis. Buktinya, baru satu ayat yang saya sodorkan tentang ajaran nenek moyang dan segala tetek bengek tradisinya, dia sudah minta lagi bukti yang lain agar lebih mantap dan lebih yakin akan kepala dan ekor ikan tadi.

Kepala dan ekor ikan yang saya maksud dalam terminology ‘THE MTA WAY’ tentu saja amalan-amalan yang tidak ada tuntunan baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

Maka sebagai gantinya, si gadis saya minta meng-explore sendiri ayat-ayat yang berkaitan dengan tradiri nenek moyang itu, yang antara lain adalah berikut:

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan dimintai pertanggungjawaban” (QS-17:36)

“Dan apabila dikatan kepada mereka , “Ikutilah apa yang diturunkan Allah!” Mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami (hanya mengikuti) kebiasaan yang kami dapat dari nenek moyang kmai.” Apakah mereka (akan mengiktui nenenk moyang merka) walaupun ksebenarnaya setan menyeru meraka ke dalamazab api yang menayla (neraka)? (QS-31:21)

Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang terang, mereka berkata, “Orang-orang ini tidak lain hanya ingin menghalang-halangi kami dari apa yang disembah oleh nenek moyangmu,” dan mereka berkata, “(Al-Qur’an) ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan saja.” Dan orang-orang kafir berkata terhadap kebenaran ketika kebenaran (Al-Qur’an) itu datang kepada mereka, “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.” (QS-34:43)

Sesungguhnya mereka mendapati nenek moyang mereka dalam keadaan sesat.Lalu mereka tergesa-gesa mengikuti jejak (nenek moyang) mereka. (QS-37: 69-70)

Dan sesungguhnya mereka (orang-orang kafir Mekah) benar-benar pernah berkata. “Sekiranya di sisi kami ada sebuah (kitab-kitab yang diturunkan) kepada orang-orang terduhulu.Tentu kami akan menjadi hamba Allah yang disucikan (dari dosa). Tetapi ternyata mereka mengingkari (Al-Qur’an): maka kelak mereka akan mengetahui (akibat keingkarannya itu). (QS-37: 167-170)

Bahkan mereka berkata, “Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama, dan kami mendapat petunjuk untuk mengikuti jejak mereka.” (QS-43: 22)

Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engaku (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata ”sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami mengiktui suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekedar pengikut jejek mereka. (QS-43: 23)

(Rasul itu) berkata, “Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih baik dari pada apa yang kamu peroleh dari (agama) yang dianut nenek moyangmu.” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami mengingkari (agama) yang kamu diperintahkan untuk menyampikannya.” (QS-43: 24)

Tamat

Sabtu, 18 Juni 2011

Harga Setetes Iman (7)

Adrenalin kepenasaran si smart girl ini sudah sampai di ujung ubun-ubunnya. After much delibration she made up his mind. Lalu si ABG ini menjatuhkan diri ke tanah, selanjutnya berlutut, bersimpuh di pangkuan nenek buyutnya. Di pangkuan sang nenek buyutnya yang masih menyisakan garis-garis kecantikan itu, sembari tersenyum dan mengelus kepala si cucu, sang nenek buyut akhirnya menjawab:

“Nduk,” bisiknya lembut ”kenapa kepala dan ekor ikan itu harus dipotong”

“Kenapa ... kenapa... nek?” desak sang cucu tidak sabaran.

“Karena .... panci-panci zaman dulu itu ukuranya kecil, nduk. Jadi kalau nggak dipotong, nggak muat”

Ooooo....

Si Cewek manggut-manggut. Penasaranya terjawab sudah. Kisah inspiratif itu bisa dibuka kembali di buku “GROW WITH CHARACTER”, Champion Stories: 40 Inspirasi Keteladanan dan Kepemimpinan. Oleh: Alexander Mulia dkk, Gramedia PU, 2011.

Bahwa seringkali kita begitu menelan mentah-mentah apa saja yang kita terima, berupa kebiasaan atau tradisi yang dilimpahkan secara tururn temurun. Padahal di luar sana sudah ada mBah Google dengan segala ke-mahatahuannya itu.

Dengan sering sowan ke mBah Google itu, dengan hanya ketik kata kuncinya setengah detik kemudian berbagai informasi bisa langsung kita dapat. Atau kalau mau tanya ke mBah dukun yang lebih sakti ? Ada kok. Tapi, syaratnya harus bawa amplop lebih tebal. Untuk apa?

Mahal tau!

Si mbah dukun yang lebih sakti itu namanya Google Voice Search, atau azimat bernama aplikasi lain bisa melalui smartphone lainnya, semacam BlackBerry, iPhone, dan Android. Tak perlu lagi main tak-tik-tuk pada keyboard, cukup katakan langsung pada si mBah-mbah itu.

Apa yang dilakukan si cewek seharusnya dilakukan juga oleh kita. Kita mestinya men-challenge what we know — challenge our habits, seperti saya kutip pada buku “GROW WITH CHARACTER”.

Dengan men-challenge what we know — challenge our habits itu, kita akan menelisik untuk mengetahui letak logika kebenaran dan relavansinya dengan kebenaran itu sendiri berdasarkan kenyataan yang ada. Lebih-lebih kenyataan itu terkait dengan realitas religi yang jelas-jelas termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kisah di atas, sebenarnya saya tulis untuk menyindir sebuah tradisi yang sudah turun menurun yang dilakukan dari satu generasi ke generasi berikutnya, tanpa tahu ujung pangkalnya. Seperti sebuah lingkaran syetan. Yang terjadi adalah kita ngikut saja. Anut grubyuk. Tanpa reserve. Tanpa ba-bi-bu menanyakan kebenaran akan realitas itu.

Kalau saja si smart girl tadi itu adik saya, atau tetangga saya, atau adik ipar saya, atau keponakan saya, pasti dia ajak ngaji di MTA Cabang Piyungan yang barusan di resmikan pada hari Ahad, 5 Juni 2011 yang lalu.
Cewek ABG itu akan saya tunjukkan ke arah, di mana MTA Cabang Piyungan itu berada. Bila ada waktu silakan, tiap hari Sabtu sore jam 4-an, datang saja ‘tuk hang out (nongkrong untuk ngaji, maksudnya).

Di komunitas MTA ini, akan saya sodorkan sebuah realitas dari langit yang berbunyi sebagai berikut:
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan” (QS-6:116)

(bersambung..)

Jumat, 17 Juni 2011

Harga Setetes IMan (6)

Bagaimana dengan Iman Warisan?

“Iman Perjuangan” dengan Iman Warisan bedanya sangatlah jauh. Bumi dan langit. ”Iman Warisan” terwaris dari orang tua kita secara langsung. Kita lahir Islam karena orang tua kita Islam. Namanya juga warisan, Begitu lahir “mak cenger”: bayi merah itu langsung di-adzani, lalu di-iqomati.
Sampai hitungan detik ke detik, hari ke hari, bulan ke bulan dan tahun ke tahun, ia — Iman Warisan itu — tumbuh dan berkembang dalam kemanjaan fasilitas dari orang tua-nya. Ia adalah iman dengan kesadaran penuh, lalu mengamini apa saja dan menurut saja apa yang diwariskan oleh kedua orang tua-nya.

Kalau saja kedua orang tua si bayi itu tinggal di sebuah rumah, di sebuah kampung bernama Muhammadiyah 3-K, harga keimanannya tidak ada yang perlu dipersoalkan. Sekedar mengingatkan saja lho, bahwa isitilah kampung Muhammadiyah 3-K itu merujuk pada sebuah tempat legendaris yang terdiri dari Kauman, Karangkajen, dan Kotagede. 3-K ini merupakan basis kekuatan utama pergerakan Muhammadiyah. (Ahmad Adaby Darban, 2000). Dengan kata lain, kampung 3-K ini sudah bersih dari berbagai praktek keagamaan dan kegiatan budaya yang oleh Muhammadiyah dikategorikan sebagai perbuatan tahayul, bid’ah dan churafat (TBC movement, pen).

Bagaimana kalau iman warisan itu tumbuh dan berkembang di luar kampung Muhammadiyah 3-K. Kampung outer circle (lingkaran luar) Muhammadiyah 3-K ini adalah kampung dengan segudang kegiatan bernuansa Islam rasa Hindu. Islam rasa Hindu ini dengan kata lain adalah ada ritual-ritual khusus yang sesungguhnya laisa minal Islam, antara lain bernama: pendake, nyatuse, nyewune dan kawan-kawan sejeninya, yang pokok-e (pokoknya) dan jarene (katanya) si embah-embah.

Andai saja di wilayah zona aman (comfort zone) pada distrik outer circle Muhammadiyah 3-K, iman warisan itu tidak berbenturan dengan sebuah tanda tanya besar: [?], maka keimanannya itu patut dipertanyakan (QS-29:2-3).
Untuk memandu apakah barang paling mewah berupa IMAN itu, baterainya pada posisi empty, low, middle, atau bahkan full. “Test case” nukilan kisah seorang cewek genit, usil and bandel berikut ini patut disimak. Sebab boleh jadi kisah ini menjadi alat bantu (barometer) untuk kemudian angkat tangan trus bertanya dengan dada penasaran: kenapa setiap kali memasak sang Bunda selalu memotong ekor dan kepala ikan? Ia — cewek bandel bin usil — meneruskan rasa penasarannya itu dengan tidak hanya bertanya pada ibunya, tapi juga kepada neneknya bahkan buyutnya. Untuk apa? Untuk arti sebuah adrenalin berupa penasaran itu sendiri.

Adrenalin penasaran yang diyakini cewek itu sebut saja dengan “challenge what we know”. Semacam menelisik apa yang selama ini menjadi hantu atau roh gentayangan dan kepenasaran itu. Yuuk kita simak aja kisahnya berikut ini.

Konon ada seorang cewek yang penasaran bukan alang kepalang. (Perhatian: alang kepalang bukan nama binatang lho, tapi kembaran dari pusing tujuh keliling) kenapa setiap memasak ikan, sang bunda selalu memotong ekor dan kepala ikan. Bukankah memotong ekor dan kepala ikan yang dibuang percuma itu tindakan mubazir?

Si cewek bertanya kepada ibunya,” Bu, kok kepala dan ekor ikan dibuang sih? Kan Sayang? Ibunya tersenyum, “pertanyaan bagus nduk. Karena ibu juga tidak tahu jawabannya. Loh kok bisa? Ternyata ibunya melakukan itu hanya karena kebiasaan turun temurun dari leluhurnya.

Karena penasaran, si cewek datang ke rumah neneknya. Dengan cara yang sama, sang nenek melakukan hal yang sama seperti sang bunda. Sudah bisa ditebak, nenek buyut pun tak tahu alasannya kenapa ekor dan kepala ikan mesti dipotong. Jawabanya sama: Itu hanya kebisaan turun-temurun dari leluhurnya. Al-hasil rasa kepenasaran si cewek semakin besar

Si Cewek tak patah arang. Ia terus mencari jawaban atas pertanyaan: kenapa ekor dan kepala ikan harus dipotong ketika dimasak. Akhirnya, dia mendatangi sang nenek buyut. Masih dengan cara yang sama, sang nenek buyut melakukan hal yang sama pula seperti sang nenek. Sudah bisa ditebak, nenek buyut pun tak tahu alasannya kenapa ekor dan kepala ikan mesti dipotong.

Apakah adrenalin kepenasaran cewek itu berhenti sampai di sini atau di situ?

Ternyata tidak!

(bersambung...)

Kamis, 16 Juni 2011

Harga Setetes IMan (5)

Antara Iman Perjuangan dan Iman Warisan

Kisah tentang ustadz H. Abdul Aziz di atas adalah kisah tentang seorang muallaf yang lahir dari pergulatan batin bernama ‘Iman Perjuangan’. Sisi lain dari kisah muallaf ini, juga bisa dilacak dan dibaca pada sosok Dr. M.Syafii Antonio. Beliau adalah seorang tokoh yang sudah tidak asing bagi dunia Islam khususnya di Indonesia yang sangat dikenal dengan pelopor atau tokoh dunia ekonomi syariah atau perbankan syariah. Sebagai seorang mualaf, beliau juga yang sangat fasih berbahasa Arab dan memiliki segudang kesibukan di kancah dunia perbankan syariah.

Kisah muallaf adalah kisah tentang orang-orang terpilih dan sengaja dipilih Allah, yang dikehendaki-Nya untuk meneruskan sebuah dogma prerogatif Allah bahwa hidayah itu kehendak Allah. Tak seorang pun boleh ikut campur. Hatta seorang sekaliber Rasulullah SAW pun tidak berhak memilikinya. Hatta untuk membimbing, memberikan pencerahan kepada pamanda Nabi sendiri.

Iman adalah kado terindah dari Allah SWT. Satu-satunya yang paling berharga yang dipunyai oleh makhluk bernama manusia. Makluk lainnya, tidak ada yang berhak. Kecuali atas izin Allah. Seekor burung Hud-hud, misalnya, menjadi akses hidayah bagi seoranga ratu yang cantik nan jelita: Ratu Bilqis.

Tetes-tetes hidayah adalah tetes embum pagi. Ia menetes dan menyusup di sela-sela kesibukan orang bekerja. Atau juga di sela orang lagi mabuk. Atau menyusup ke dalam pelukan seorang pelacur sekaliupn. Tentang yang terakhir ini, adalah kisah anjing di kasih minum sama sang pelacur itu. Gara-gara ini, ia dapat tiket masuk surga.

Ternyata masuk surga itu gampang ya..

Apakah karena begitu gampang, kemudian kita melacurkan diri lantas cari anjing ‘tuk dikasih minum, detik berikutnya kita dapat tiket surga?

Ya enggak lah. Dan tidak sesederhana itu.

Maka, jangan lihat sebelah mata dan anggap hina seorang pelacur. Boleh jadi ia menyodorkan cermin untuk kita mengaca diri. (ngaca-ngaca dong!) Cermin itu juga memantul ke istana presiden, yang pada detik-detik ini dikudang banyak orang. Cermin yang sama juga memantul ke senayan, tempat para anggota Dewan yang terhormat itu, pada detik-detik ini, pada derajat tertentu juga sedang melacurkan dirinya. Bukan tubuhnya, sih. Tapi, melacurkan organ tubuh bernama otaknya untuk kepentingan dirinya sendiri, golongannya, partainya. Bukan untuk memikirkan kepentingan rakyatnya, sebagaimana kontrak moral politik yang mereka ikrarkan dan janjikan ketika pemilu berlangsung. Sebuah entitas yang hanya disebut dan diabsen kala pemilu datang menjemput.

Pelacur masuk surga itu atas kehendah Allah. Dan suka-suka Allah-lah ngasih hadiah terindah itu kepada siapa yang dikehendaki.

Itulah teknologi hidayah. Sebuah teknologi yang belum pernah diajarkan kepada seorang nabipun. Tapi para nabi itupun tidak bosen-bosennya menjadi marketer Allah. Menjadi ‘brand ambassador’ bagi poduk hidayah itu sendiri. Para Nabi itu terus dan terus memburu untuk mencari muka bernama ibadah ‘tuk mendapatkan credit point serupa 10001 wajah bidadari, yang kelak akan di panen di kampung akhirat.

Tidak masalah berapa liter air mata yang telah tumpah, berapa gallon darah merah yang tercecer, dan berapa tarikan nafas yang hilang sia-sia pada diri Nabi-nabi itu. Tujuannya hanya satu: persembahan untuk to do the best. Selebihnya , hanya untuk mengais sebutir debu ridho-Nya.

Setelah setetes iman masuk ke dalam dada diri-diri mereka — dada para muallaf itu — sebuah perjuangan berat itu baru dimulai. Untuk mendapatkan restu dari orang-orang yang dicintainya — baik dari orang tuanya, saudara-saudaranya, lingkungan yang membesarkannya — butuh waktu tidak satu dua hari. Mereka butuh waktu berbulan-bulan untuk mendapatkan semacam legitimasi, baik secara mental, fisik, dan intelektual di wisma keimanannya yang baru.

(bersambung..)

Rabu, 15 Juni 2011

Harga Setetes IMan (4)

Dengan melihat fakta & realitas “mengajak orang Islam masuk Islam” inilah yang memicu adrenalin amarah sejumlah ormas Islam ― terutama mereka yang masih menggangap tradisi Hindu sebagai bid’ah hasanah) ― merasa punya kepentingan untuk berupaya melakukan aksi pencekalan atas sang ustadz (ah kayak orde baru saja). Upaya ini dilakukan, agar sosok ustadz kontroversial ini tak lagi ‘kurang ajar’ tampil di panggung, mengobok-obok nilai-nilai hidup berupa kearifan lokal (local wisdom) di tengah masyarakat yang sudah tertata rapi dan baik. Jika masih ngotot tampil untuk menyampaikan tausiyahnya, resiko tanggung sendiri : MATI.

Upaya menghabisi nyawa sang ustadz, rupanya tidak hanya melibatkan oknum kacangan, misalnya melibatkan preman kelas teri. Upaya yang dilakukan ternyata tidak main-main, sebuah upaya sistematis dengan melibatkan piranti hukum keagamaan yang ada (dalam hal ini MUI setempat) bekerjasama dengan aparat kemanan setempat (dalam hal ini Polres).

Konspirasi jahat yang dilakukan salah satu ormas Islam ini, mengingatkan saya akan pertuah salah satu sahabat sekaligus menantu nabi Muhammad SWA, Ali bin Abu Tholib ra. Sahabat berjuluk pintu gerbang ilmu ini berkata: “Kejahatan yang terorganisir dengan baik bisa mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir.”

Dalam kesempatan ‘Tabliq Akbar’ di Kaliajir Lor itu, Ust. Abdul Aziz menggungkapkan sejumlah bukti. Diantaranya dengan memperlihatkan satu slide berupa surat yang ditandatangani oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI) bekerja sama dengan Polisi Resort (Polres) setempat. Sayangnya, nama daerah dan tempat pelarangan dan pencekalan itu di samarkan oleh sang ustadz. Boleh jadi ini trick sebagai upaya preventif untuk mencegah terjadinya fitnah yang lebih besar.

Apa isi surat itu?


Isi surat itu tidak lain dan tidak bukan bisa ditebak. Sebuah skenario ‘sinetron opera sabun’ berupa adegan pencekalan sang ustadz. Inilah pemegang syah dan meyakinkan dari apa yang dinakaman sisa-sisa peninggalan warisan purba ‘orde baru’. Sebuah upaya pembodohan ditengah masyarakat pintar yang sudah mulai beranjak sadar pentingya melek hukum, melek teknologi dan melek kesadaran politik. Di tengah dunia yang borderless ini (dunia tidak berjarak), sebuah dunia di mana adegan perselingkuhan (baca: perzinaan) yang terjadi di belahan dunia Amerika, bisa disaksikan secara real time (langsung) saat ini juga di sini (di Kaliajir, misalnya) melalui teknologi citra satelit.

Upaya bodoh itu (ma’af, saya katakan demikian), tidak lebih bodoh dari usaha seorang ayah yang melarang anaknya − masih duduk di bangku SD kelas 4 − untuk tidak merokok. Sementara pada saat yang sama, sang ayah sendiri dengan sebatang rokok siap dinyalakan di tangan, menyalakkan atau menggonggongkan larangan itu, yang sama sekali tidak dimengerti oleh anaknya.

Apakah ustadz Abdul Aziz surut mundur ke belakang, kemudian, mengurungkan niat mulianya itu setelah mendapatakn ancaman itu?

Teknologi Ilahi itu bernama hidayah. Bila yang satu ini (QS-5:105) yang sudah terpatri kuat di dada seseorang, termasuk Al-Ustadz, tidak akan yang bisa menghalangi apalagi mengendurkan adrenalin niat dakwah bil haq. Pada point ini, Al-Ustadz yang dalam ‘tabliq akbar’-nya selalu menenteng laptop dengan fasilitas kemewahan sajian aneka olah data foto-foto sejumlah kemaksiatan aqidah ter-update di setiap perjalanan road-shownya keliling Indonesia ini, mengutip garis besar surat Al‘Araf ayat 16-17.

Pesan khusus atau semacam executive summary dari surat Al-A’raf itu diantaranya adalah:

Pertama,
Sebagai kompensasi atas keterlaknat nya syetan dengan segala cara dan upaya, dan menghalalkan segal acara, si terlaknat ini mencari pengikut sebanyak-banyaknya untuk masuk ke neraka, menemani si terkutuk ini.

Kedua,
Sebagai calon tunggal atas keterkutukanya, si laknat ini punya visi dan misi (layaknya pilkada atau pilpres) yang akan menjadikan program-prrogramnya mudah diterima audiennya, yang bertujuan untuk menghalangi manusia dari jalan kebenaran (Al-Qu’ran dan As-Sunnah).

Ketiga :
Tujuan akhirnya adalah agar manusia tidak bersyukur.
(Bersambung ……)

Selasa, 14 Juni 2011

Harga Setetes IMan (3)

“Ayah!” teriak sang anak yang nyaris saja meregang nyawa andai sang ayah tak segera datang.
Itulah detik-detik penuh tragedi, penuh ketegangan, sebuah aksi pembunuhan yang gagal atas seorang muallaf bernama Ida Bagus Sulinggih Winarno, yang dikemudian hari berganti nama menjadi Abdul Aziz.

Bagi yang pernah nonton CD kisah perjalanan seorang muallaf bernama Ustadz Abdul Aziz versi cerita tertulis di atas, tentu saja tidak akan pernah Anda ditemukan di CD itu. Benar. Memang, cerita tersebut hanya fiktif belaka, tapi masih tetap berpijak pada fakta sejarah dengan aktor tunggal sang Ustadz itu sendiri, dengan sedikit eksploitasi imajinatif penulis, untuk menggambarkan betapa sebuah horror pembunuhan sangat mengerikan.

Begitulah fakta yang banyak dijumpai, ketika akses hidayah masuk dalam kalbu seseorang muallaf − tentu saja hidayah itu atas intervensi sang Khaliq − selalu diiringi dengan terror hantu yang jauh lebih mengerikan dari hantu itu sendiri, seperti kisah Ustadz Abdul Aziz di atas.

Jadilah ustadz Abdul Aziz − khususnya hari-hari ini − sebagai a man of paradox. Ia, di mata sebagian umat Islam yang masih mengkultuskan apa yang dinamakan tradisi Hindu yang diangga tradisi baik dari nenek moyang, adalah sejenis manusia most wanted, untuk segera dihabisi.

Rencana percobaan pembunuhan ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ. Ketika sang Ustadz, untuk pertama kalinya mengucapkan dua kalimat syahadat, aktor intelektualnya adalah pamannya sendiri, segaris sedarah dalam kasta Brahmana.Tapi sekarang, serangkaian upaya pembunuhan itu dilakukan oleh orang-orang yang tak lain adalah saudara kandung dalam rahim keimanan Islam. Mereka yang benci itu, menginginkan agar sang ustadz tidak mengobrak-abrik nilai-nilai dan tatanan di masyarakat yang sudah ada, yang sudah mapan.


Tradisi nenek moyang yang dikultuskan oleh sebagian umat Islam sekarang ini, menurut sang ustadz dalam acara ‘Tablig Akbar’ bersama Ustadz Abdul Aziz, di Masjid Nurul Iman, Kaliajir, Berbah, Sleman, pada hari Kamis 10 Maret 2011, tidak lain adalah ajaran agama Hindu yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menyerupai Islam.

“Islam rasa Hindu atau Hindu rasa Islam”, demikian sang Ustadz mengistilahkan. Sang Ustadz mengatakan demikian, karena sejak mulai bayi cenger (maksudnya bayi merah) dia hidup berkubang dengan acara-acara yang saat ini masih merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam tubuh umat Islam ini sendiri.

Pada titik ini, masih menurut sang Ustadz sambil mengajukan pertanyaan, mengapa aroma keimanan Hindu yang dulu pernah dikecapnya, kok masih sangat terasa sama, sama rasa sama nikmat, dengan aroma keimanan Islam yang baru dianutnya ini? Didorong oleh penasaran “ Islam rasa Hindu atau Hindu rasa Islam”, inilah sang Ustadz berkeliling ke sejumlah daerah untuk mengadakan road show bertema ‘Tablig Akbar’ bersama mantan Pendeta Hindu, Ustadz Abdul Aziz.

Dari serangkian road show yang pernah dilakukannya, setidaknya dalam lima tahun terakhir, ada sejumlah fakta yang mengejutkan sekaligus menggembirakan. Menurut data yang sudah dikumpulkan oleh Ust. Abdul Aziz sendiri, ada sekitar 400-an orang yang sudah masuk Islam. Mereka ini berasal dari kantong-kantong agama Hindu di Jawa Timur, terutama di daerah Lumajang. Bahkan pada awal tahun 2011 saja, tepatnya bulan Februari lalu, di daerah Bengkulu dan Lampung, ada sekitar 19 orang telah masuk Islam, yang dulunya beragama Hindu.

Dari data dan fakta sejarah terkini inilah, kemudian ustadz menarik sebuah garis merah kesimpulan bahwa mengajak orang Hindu masuk Islam itu mudah, karena latar belakang keyakinan mereka yang sama dengan sang ustadz. Tapi sebaliknya, ironisnya dan tragisnya, mengajak orang Islam masuk Islam yang kaffah, dengan meninggalkan segala aksesoris plus pernak-pernik ke-Hindu-annya (baca: warisan nenek moyang), jauh lebih susah.
(Bersambung ……)

Senin, 13 Juni 2011

Harga Setetes IMan (2)

Penasaran?simak kisahnya berikut ini.

Sebenarnya, pembunuhan itu yang sudah direncanakan dengan rapi terhadap seorang lelaki dari kasta Brahmana. Otak pembunuhan, atau lebih tepatnya aktor intelektual dibalik rencana busuk itu, ternyata bukan sembarang orang, the extraordinary-man. Lelaki bertangan dingin itu tak lain adalah pamannya sendiri. Sang paman menginginkan, ‘akulah sang algojo’ demikian sang paman berkata kepada dirinya sendiri, yang akan mengeksekusi untuk memenggal leher keponakan yang telah murtad dari ajaran agama nenek moyangnya itu. Hindu.

Hanya satu hal yang diinginkan sang paman. Sang paman membayangkan, betapa darah merah yang masih hangat dan segar itu muncrat dari leher keponakannya, lalu membasahi wajah, merambat pelan memandikannya. Sang paman bermandikan darah. Darah itu laksana parfum kasturi perlambang diterimanya ‘aksi pembunuhan sadis’ dihadapan para dewa-dewinya seligus tuhannya.

“Inilah persembahanku yang paling agung wahai dewa-dewiku”, teriak sang paman puas.

Di balik kalbu yang paling dalam, nun jauh disana, hati sang paman berbisik “Inilah pembalasan atas pengkhiatan yang telah kau lakukan cah bagus. Dasar pengkhianat”

Blue print rencana pembunuhann itu sudah meletup-letup di otak sang paman. Maka dibawalah sang keponakan itu masuk ke dalam sebuah kamar gelap. Detik-detik menegangkan berlalu. Si keponakan diikat pada sebuah kursi. Sebelum akhirnya, sang paman memberikan satu permintaan terakhir, siapa tahu si keponakannya mau bertobat dan kembali kepada keyakinan asalnya, agama Hindu.

Rupanya tak ada kata menyerah pada diri keponakannya. Yang justru terjadi adalah dia semakin kukuh untuk tidak mau kembali ke ajaran nenek moyangnya. Sebersit keraguan muncul di sana, sebelum memutuskan untuk mengeksekusi sang keponakan. Sekali lagi ia pandangi sosok lelaki dihadapannya ini. Dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Dengan sangat hati-hati, ditutupilah sepasang mata keponakannya dengan secarik kain. Cara ini ditempuh untuk menyembunyikan kegugupannya sebagai bentuk penghormatan terakhir terhadap sang keponakan, sekaligus sebagai sebentuk kasih sayang. Bagaimanapun juga si anak durhaka yang ada dihadapannya dan yang akan dibunuh ini adalah darah dagingnya sendiri, sama-sama memiliki darah biru dari garis keturunan kasta tertinggi dan terhormat: Kasta Brahmana.

Dengan penuh perhitungan dan sangat hati-hati, dengan harapan sakaratul maut keponaknnya ini berakhr dengan happy ending (baca: khusnul khotimah). Dengan harapan yang sama, dia juga tidak ingin, sakaratul maut ini dintip oleh orang lain termasuk keponakannya sendiri, bahkan malaikat maut sendiri pun kalau bisa jangan mengintip dan ikut campur.

Sepersekian detik kemudian, seberkas cahaya masuk dari celah daun pintu. Aksi pembunuhan itu gagal dilakukan. Sesosok tubuh berkelebat dibalik keremangan malam muncul secara misterius, seiring daun pintu didobrak. (bersambung...)

Minggu, 12 Juni 2011

Harga Setetes IMan (1)

Dalam olah disiplin rohani, ada garis merah yang sangat tegas — mungkin semacam police line (garis polisi) yang biasanya dipasang di tempat kejadian perkara (TKP), bahwa iman adalah bagian yang tak terpisahkan dari amal. Dalam bahasa Arab, kata “iman” memiliki arti “menjadi aman.” Dalam alam kesadaran umat Islam, iman selalu berhubungnan dengan ilmu.

Dengan demikian, ketika iman sudah tertanam lalu tertancap kuat di dada, itu artinya kita menjadi aman. Aman dalam hal apa? Aman dalam hal apapun, karena dalam iman itu, Allah SWT selalu membersamai orang beriman itu sendiri. Karena, seperti kita tahu, “qolbun muslimin baitullah”, hati orang beriman itu adalah rumahnya Allah. Dan, kalau mau merujuk kepada satuan tempat, maka tempat yang paling aman bagi manusia di dunia ini adalah Ka’bah (QS-2:125)

Tidak heran, bila iman sudah berguncang di dada, maka cita-cita tertinggi berikutnya adalah membuat appointment dengan Allah untuk mendekati titik paling aman di dunia: bersegera memenui undangan-Nya untuk menunaikan ibadah haji.

Iman itu harganya mahal, Bung. Maka kisah tentang sukses akses hidayah seorang Pendeta Hindu dari kasta Brahmana ini mudah-mudahan jadi buah bibir. Menjadi bibir yang menginspirasi banyak orang Islam untuk mulai menyadari. Sebuah kesadaran yang merupakan entry point untuk sesekali keluar dari rumah kita. Oh… ternyata kita perlu juga lo ..sesekali saja keluar dari rumah kita. Keluar rumah kita untuk mengambil jarak. Oh ternyata dari luar atap rumah kita ada yang bocor. Di tempat lain, tembok di belakang rumah kita ada yang mulai mengelupas.

Dari pemahaman ini, kita dapat menarik benang merah kesimpulan, bahwa apa yang selama ini kita anggap benar ternyata belum dan tidak benar menurut sumber aslinya. Kita kurang dapat informasi dari pihak luar yang lebih tahu, lebih kompeten dan lebih mengerti. Untuk itu kita perlu second opinion, semacam pendapat orang lain yang tahu duduk permasalahan yang sesungguhnya. Taruhlah dalam hal ini Ustadz H. Abdul Aziz, yang nota benenya adalah orang luar di rumah kita. Dia-lah yang tahu: ternyata rumah kita itu bocor, rumah
kita itu mengelupas temboknya, dan perlu segera diperbaiki.

Dari kisah ini pula, seorang saya yang lahir dan besar di lingkungan keluarga super fanatik nahdliyin (baca: warga NU) pada akhirnya harus menyadari, bahwa apa yang selama ini saya anggap sebagai bid’ah hasanah — mulai pendake, nyatuse, nyewune dan kawan-kawan — itu ternyata bagian dari agama Hindu.

Menyadari kekeliruan seperti itu, seolah saya menjadi manusia yang paling malu, tersinggung sekaligus marah. Komposisi ketika perasaan itu campur aduk seperti gado-gado rasa balado. Sangat boleh jadi, dengan komposisi yang sama tapi dengan tingkat kepedasan yang berbeda, perasaan seperti itu juga dialami dan dikunyah dengan perasaan berbeda pula oleh kebanyakan warga MTA di seluruh Indonesia.

Sepersekian menit sehabis nonton VCD ini — yang kisahnya saya format ulang menjadi ‘read a story’ di bawah ini — saya langsung tertunduk diam. Dalam diam itu, saya menyatakan sekaligus memproklamasikan sebuah negeri atas koloni diri saya sendiri dengan status MERDEKA. Merdeka artinya ‘putus hubungan’ dengan “pendake bin nyatuse bin nyewune beserta anak cucu dan cicitnya.

Pada saat yang sama, ketika saya berstatus sebagai ‘muallaf’ dalam hal menjauhi agama nenek moyang itu, sebuah mulut harimau sudah siap menghadang dan menerkam saya bulat-bulat dan mentah-mentah, persis di depan saya. Selang beberapa hari kemudian, ada tetangga meninggal dunia. Ini artinya, nyala iman ini harus saya pertanggungjwabkan. Dengan kata lain, seekor harimau dengan mulut menganga lebar bernama caci makian dari masyarakat dengan cakar-cakar kuku yang tajam itu siap mencabik-cabik saya Jadilah saya pesakitan di tengah kampung saya sendiri.

Inilah harga keimanan yang harus saya bayar mahal.

Acara tujuh hari, yang biasanya dimulai hari geblak-e (meninggalnya si mayit), yang diisi dengan bacaan tahlil dan yasinan, secara resmi tidak saya ikuti. Dengan demikian, saya menjadi alien, makhluk aneh di kampungnya sendiri.
(bersambung ...)

Sabtu, 11 Juni 2011

Ritus Persalinan yang Mendebarkan (3)

Hikmah Di Balik Tragedi Purworejo

Dokter : “Selamat Ya. Bayi Anda telah lahir. Sehat dan Lengkap. Bayi Anda Kembar Enam.”

Warga MTA :“Terima kasih dok, Dokter telah membantu persalinan yang mendebarkan ini dengan lancar.

Dokter yang baik itu menulisakan beberapa kalimat pendek pada secarik kertas, yang bunyinya kurang lebih begini: Pada hari ini, Ahad, 5 Juni 2011, atas nama Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA), bertempat di Gedung Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), telah lahir enam bayi mungil dengan nama-nama sebagai berikut:

1. MTA Perwakilan Purworejo,
2. MTA Cabang Pituruh, Purworejo.
3. MTA Cabang Kasihan Kabupaten Bantul,
4. MTA Cabang Piyungan Kabupaten Bantul.
5. MTA Cabang Rongkop Kabupaten Gunungkidul.
6. MTA Cabang Nanggulan Kabupaten Kulon Progo.

Gedung Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu berdiri gagah dan angkuh. Keangkuhan dan kegagahan gedung dengan daya tambung 10 ribu-an lebih pengunjung ini, bisa terlihat sangat jelas pada beberapa batang pilar-pilar raksasa yang menghunjam ke bumi, dengan ketinggian menjulang. Seolah pilar-pilar itu adalah kaki-kaki raksasa yang mengambil sikap seorang pendekar Shaolin dengan formasi pasang kuda-kuda, yang siap mengawal saudara kandungnya (baca: warga MTA) dalam frekuensi yang sama, sama-sama dalam hal pelurusan aqidah. Sama-sama sebagai anak kandung Wahabi itu.

Dengan posisi sikap “welcome” — yang tak lain senyum adalah sedekah itu — kegagahan gedung berbiaya ± 13 milyar ini terasa nyaman ketika terik matahari semakin panas menggoreng tiap kepala warga MTA, yang tak kebagian duduk di dalam gedung. (Salah sendiri kenapa tidak datang sebelum Subuh?)

Inilah gedung “Sang Kakak” — silakan baca artikel Sang Adik itu bernama MTA — tempat persalinan agung itu terjadi. Gedung inilah, suatu saat, apabila bayi-bayi ini sudah besar akan senantias bertasbih: “wa tawasaw bil haqqi wa tawasaw bis sabr” (QS-103:3). Dengan tasbih itu, bayi-bayi ini akan tumbuh besar dan semakin besar.

After that, akan mampu mengguncang dunia dengan cara yang sudah dipakemkan Sang Dalang: “Wa qul jaa al haqqu wa zahaqal baatati(lu) innal baatila kaana zahuuqa(n)” (QS-17:81). Dengan mantap dan yakin, langkah-langkah kecil nan mungil sang bayi kembar ini, pasti dan pasti, akan banyak yang mengikutinya untuk dijadikan panutan bagi generasasi berikutnya (next generation). Inilah generasi yang akan digadang-gadang menggantikan generasi Gayusiana (tokoh paling licik dan licin pada awal abad 21 ini). Sebuah generasi yang pada hari-hari ini telah mencoreng wajah ibu pertiwi menjadi bopeng-bopeng.

(Bersambung...)

Jumat, 10 Juni 2011

Ritus Persalinan yang Mendebarkan (2)

Hikmah Di Balik Tragedi Purworejo
 
Sebuah rekomendasi dokter, sebuah resep yang tertulis tidak beraturan itu datang. Hanya orang-orang tertentu yang bisa membaca tulisan sebuah resep itu. Dan resep itu, menurut mata telanjang kita seperti tulisan tangan anak SD yang baru belajar menulis: ini budi, ini bapak budi, ini ibu budi. Kating penthalit, jungkir balik. Huruf A seharusnya terbaca A, tapi tertulis Z. Huruf Z bentuknya tidak lagi seperti Z, tapi seperti huruf U, dan lain sebagainya.

Rekomendasi atau resep itu memang membingungkan bagi siapa saja yang membaca. Tapi, tidak! Ya, tidak bagi orang yang sudah faham. Faham akan kebiasaan sang dokter menulis dengan tulisan tangan seperti itu. Orang yang sudah faham itu namanya apoteker. Dengan cekatan, tidak menunggu lama, sang apoteker segera berlari ke belakang. Sepersekian detik, obat sudah ada di tangan.

Sang Dokter tahu dan faham betul bahwa sang jabang, memang belum saatnya lahir. Dan yang lebih penting lagi, kelahiran sang jabang bayi itu, memang tidak harus di tanah tumpah darah kelahirannya sendiri, Purworejo. Tapi harus di tempat lain.

Sebuah rekomendasi yang tak lain adalah resep dari langit itu berbunyi: “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Al-Bagarah [2]:216).

Orang-orang ramai itu bernama Keluarga besar warga Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA). Menjelang detik-detik kelahiran, keluarga besar ini dengan dada berguncang, menunggu dengan harap-harap cemas ritus persalinan yang mendebarkan itu. Rekomendasi Sang Dokter memutuskan bahwa Sang Jabang Bayi tidak jadi lahir pada hari Selasa Kliwon, 17 Mei 2011.

Segenap keluarga besar MTA seluru Indonseia, luruh, tertunduk lesu. Diam. Seperti mengheningkan cipta dalam ritual tahunan upacara tujuh belas Agutusan. Dalam keterdiaman itu, resep berupa pil pahit itu atas rekomendasi itu, memang harus di telan mentah-mentah (dalam bahasa kasar Jawa Timuran dikenal dengan istilah menguntal = menelan). Karena itulah satu-satu resep paling mujarab yang harus ditelan.

Pahit memang. Tapi itulah rasa obat. Tidak ada obat yang manis. Kalau itu obat manis: ada rasa jeruk, rasa peppermint, rasa strawberry, rasa mangga dan lain-lain, itu mah cocok untuk anak-anak. PENGUMUMAN! Keluarga besar warga Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) itu bukan anak-anak lagi. Persisnya tidak punya mental anak-anak. Cengeng, mudah nangisan, mudah menyerah, dan mudah marah.

Atas rekomendasi Sang Dokter Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana, yang tidak pernah dzolim terhadap pasien-pasien-Nya, Sang Dokter menyarankan: setelah minum pil pahit itu, sebaiknya bersegeralah untuk meminum segelas air putih yang automatically, akan segera menetralisir, meredekan dan sekaligus menghilangkan rasa pahit obat tersebut. Obat penetralisir itu adalah …” Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu,dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang telah diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri. (Al-Hadid [57]:23).
(Bersambung ..)

Kamis, 09 Juni 2011

Ritus Persalinan yang Mendebarkan (1)

Hikmah Di Balik Tragedi Purworejo

Melalui teknologi uji klinis ultrasonografi atau lebih sering dikenal dengan istilah USG — sebuah teknik diagnostik untuk pengujian struktur badan bagian dalam yang melibatkan formasi bayangan dua dimensi dengan gelombang ultrasonik (KBBI, Edisi Ketiga, 2003) — sebuah (atau seorang, ya?) janin yang masih dalam kandungan/rahim seorang ibu bisa diketahui dan didetekti sejak dini: apakah jenis kelamin si bayi itu perempuan atau laki-laki. Dengan teknologi itu pula, hari perkiraan lahir (HPL) bisa diketahui dengan tingkat presisi yang nyaris tepat.

Menurut hitungan weton berdasarkan primbon HPL itu, usia kandungan Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) Purworejo itu, seharus lahir pada hari Selasa Kliwon, 17 Mei 2011. Namanya juga HPL, maka hari perkiraan lahir itu bisa maju bisa mundur, bisa juga tepat. Maju kena mundur kena, kata Warkop.

Dari hasil teknologi uji klinis USG juga, jabang bayi yang akan lahir nanti, ternyata tidak hanya MTA Perwakilan Purworejo saja, tapi ada kembaran lainnya, yaitu MTA Cabang Pitutuh, Kab. Purworejo. Artinya ada bayi kembar yang akan lahir dari rahim MTA Purworejo ini.
Kabar akan lahirnya bayi kembar bernama MTA Perwakilan dan Cabang di Purworejo ini, tersebar luas. Sebaran good news, kabar baik, tentu saja membuat sanak kadang MTA di penjuru Tanah Air, disambut dengan perasaan suka cita: sumringah, bungah, dan deg-deg sar.

Siapa sih, yang tidak happy, mendengar ada saudaranya akan menerima momongan?

Man proposes but God disposes, manusia merencanakan tapi Tuhan yang menentukan.

Detik-detik penantian kelahiran sang jabang bayi sudah di depan mata. Segala uba rampe dengan segala tetek bengeknya mesti dipersiapkan dengan matang. Ada kebahagiaan yang tak bisa ditulis dengan kata-kata, selagi tangis jabang bayi merah itu terdengar di sana. Seorang ibu adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Seorang ibu adalah nyawa itu sendiri. Seorang ibu adalah ‘toh nyowo toh pati’, merelakan seutas nyawanya sendiri untuk sang buah hati.

Darah merah pasti mengalir mengiringi prosesi agung itu. Darah itu merah, Jendral. Warna darah dan aroma darah yang tercecer di antara lengkingan tangis jabang bayi adalah alunan irama music super cadas, music heavy metal, dan music trash metal. Orkestra nan agung itu memecah kesunyian untuk menandai detik-detik yang menegangkan itu telah berakhir.

Seorang ayah, yang sejak beberapa detik berdiri mematung disudut ruang, menyeret kakinya mendekati sang istri tercinta. Ia pegang tangan sigaraning nyawa itu penuh kelembutan. Mengelus rambutnya yang kusut tak beraturan. Mengecup keningnya. Mengusap dua anak sungai yang mengaliri pipinya yang berbedak itu.
Fasilitas super mewah yang sejak beberap bulan lalu, sudah ready for use, digelar layaknya karpet merah untuk menyambut tamu agung. Fasilitas mewah itu terdari dari sabun, bedak, minyak telon, ember tempat mandi bayi, grito, popok, pempes, dan boks bayi.

Sepersekian menit menjelang proses kelahiran sang jabang bayi pun telah tiba. Komposisi perasaan suka-cita: sumringah, bungah, dan deg-deg sar atas kabar kelahiran itu, hancur berkeping-keping. Tidak ada mendung tidak ada hujan. Kabar itu seperti disambar geledek di siang hari bolong. Dunia seperti runtuh. Kiamat seolah dipercepat sekian menit dari sekarang. (bersambung…)

Rabu, 08 Juni 2011

Kisah Para Peluru (tamat)

5. Bapak Zunaidan

Di artikel “MTA, Yang Saya Tatahu” pertengahan Mei 2011 yang lalu, secara sekilas profil Bapak Zunaidan sudah saya tampilkan. Tak ada salahnya, bila kali ini Bapak yang satu ini saya tampilkan lagi, semata untuk memberikan kontribusi keteladanan bagi warga MTA yang lain

Bapak Zunaidan adalah salah satu warga MTA yang paling aktif. Selama saya bergabung dengan MTA, belum pernah sekalipun dia absen. Yang membedakan antara pak Zunaidan dan jamaah pria lainya adalah pecisnya. Dengan performance berpecis inilah, saya mudah menemukannya yang selalu hadir on time dan on line. On time, karena dia selalu hadir tepat waktu, mendahului teman-teman yang lain. On line, karena posisi duduknya selalu pada posisi yang sama, sebuah posisi duduk yang bisa face to face, menatap langsung wajah sang ustadz. Seolah dengan cara itu, ia ingin mendapatkan semacam berkah ilmu dari sang guru. Atau dengan kata lain, transfer of knowledge-nya lebih mudah masuk dan lebih mudah diamalkan sepulang ‘ngaji’.

Akselerasi keaktifannya, pada skala tertentu adalah sebentuk kompensasi atas ketidaksetujuan keluarganya, atau lebih tepatnya kebencian keluarganya terhadap ajaran baru MTA . Beliau hanya ingin menunjukkan, apa yang selama ini dianggap tradisi baik itu ternyata bukan dari Islam, agama nenek moyang, yang notabenenya adalah perpanjangan tangan ajaran agama Hindu.

Dalam hal menjaga jarak atau menjauhi ajaran nenek moyang, sebut saja acara itu dengan petang puluhe bin nyatus bin nyewu, maka semua warga MTA secara umum pernah mengalami dan merasakan bagaimana rasanya menjadi makhluk alien (aneh) di tengah warga kampungnya sendiri. Tidak hanya dianggap aneh, tapi juga dikucilkan sebagai ora umume wong, ngowah-ngowahi adat, dan olok-olok seru dan saru lainnya.

Demikian juga dengan pak Zunaidan ini. Dia tidak hanya dimusuhi oleh orang kampungnya sendiri. Di tengah keluarganya, dia juga menjadi duri dalam daging. Ayah dan ibunya begitu benci dengan ajaran baru yang ngowah-ngowahi adat itu. Tapi pak Zunaidan tetap kukuh dan kokoh memanjakan ‘inner beauty’ imannya di salon kecantikan rohani bernama ‘ngaji’ di MTA.

Meski kedua orang tuanya membencinya, ia tetap memanjakan orang tuanya dengan metode birul walidain menurut versi dan kapasitas pak Zunaidan sendiri. Tentu saja, dengan metode atau cara yang tidak mengingkari hukum gravitasi sunnah. Menurut bapak … anak ini, bisa saja saya membelikan rokok dua sampai tiga bungkus per hari. Tapi, masih menurut pak Zunaidan, itu namanya inkarus sunnah. Meskipun bapak saya tergolong perokok yang sudah mencapai stadium 3 alias perokok kelas berat. Sebagai kompensasinya, ia membelikan bapaknya itu dengan sebotol susu (ah kayak bayi aja). Selain lebih sehat, kaya gizi, nutrisinya lengkap, dan yang jelas: tidak kena serangan jantung.

Itulah salah satu sisi kecerdikan pak Zunaidan. Dengan cara & strategi khusus itu, pak Zunaidan berharap, mau tidak mau bapaknya dalam kurun waktu tertentu, bapaknya segera berhenti melakukan kebiasaan buruk itu, seperti yang dilakukan oleh KH. A Mustofa Bisri atau Gus Mus.

“Kowe ngaji neng Blonotan iku, entuk apa to le-le, neng Blonotan iku apa ana kyai?” keluh ibundanya, mencoba mengindoktrinasi putra kesayangannya ini, dengan harapan sang putra tidak ngaji lagi di Blonotan. Kemudian ibundanya meneruskan “Ngaji iku sing bener ora ning Blonotan, tapi sing luwih bener ya neng Wonokromo , sing akeh kyaine”

Pertanyaan sang bunda tidak dipungkiri memang benar, dan seratus persen memang benar. Ya, benar, memang benar. Apa arti sebuah kampung bernama Blonotan itu. Dan apa arti sebuah kampung bernama Wonokromo. Seolah dari nama kampung Wonokromo itu, ada lorong pintu yang terbuka lebar, dan di sana ada tulisan yang tidak lain merupakan password: Pintu Masuk Surga. Gratis!

Selidik punya selidik, terus terang, saya belum pernah menemukan satu ayat pun dalam Al-Qur’an atau bunyi satu Hadist pun yang menyatakan, “bagi yang ingin surga, masuklah melalui salah satu pintu kampung. Kampung itu bernama Wonokromo.

Tawa dengan skala berbahak-bahak pun meledak, memenuhi seluruh ruangan, memberikan kesejukan seolah semilir udara yang keluar dari air condition (AC) dari langit, memberikan nuansa kekeluargaan di rumah pak Marsudi, tempat diskusi kelompok Sabtu sore itu diadakan.
Statement ibunda pak Zunaidan itu bisa dikategorikan sebagai sebuah ‘Smart question!

Untuk sementara, kisah para peluru saya akhiri sampai di sini. Sebenarnya masih ada tokoh-tokoh super aneh yang akan mewarnai blantika music pergerakan dakwah pelurusan aqidah ini. Pada kisah berikutnya, saya akan menulis tentang “ritus persalinan” yang mendebarkan itu. Sebuah ritus persalinan yang terjadi pada hari Ahad, 5 Juni 2011, di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Yogyakarta. Saudara tua satu frekuensi keimanan dalam hal me-rebonding aqidah. (tamat)

Selasa, 07 Juni 2011

Kisah Para Peluru (6)

4. Bapak Rusmono

Bapak dua puteri ini adalah seorang guru di sebuah SMA, Gunungkidul. Dari penuturannya, sudah hampir 1 tahun ini dia ikut bergabung dengan MTA.
Dari pak Rus (sapaan akrabnya), saya baru tahu bagaimana strategi atau jurus jitu menyiasati atau menolak undangan puji tahlil itu.

Menurut bapak Guru ini, ada 3 (tiga) tahapan penolakan menghadapi hajatan tradisi yang dianggap baik atau sering juga disebut dengan bid’ah hasanah. Tahap pertama — ini khusus bagi pemula (kelas beginner) atau yang masih malu-malu. Artinya belum punya kesiapan mental atau belum berani menghadapi tantangan di tengah masyarakat — berikan seribu satu alasan (sebenarnya satu saja cukup, nggak usah sampai seribu alasan) bahwa pada hari H acara itu, katakan begini: nyuwun pangapunten, kulo wonten acara.
Tahap kedua — ini khusus bagi yang setengah berani (kelas intermediate). Miliki no hp sesama warga MTA. Setelah itu kirim SMS, yang isinya : mohon miscall saya pada hari … jam …. Maksud sms ini adalah taktik atau cara pengelabuhan dan pengaburan (semacam adegan kamuflase untuk mengelabuhi lawan), agar punya satu alasan (ingat tahap pertama dengan seribu alasan) untuk menghindari acara atau undangan puji tahlil itu.
Tahap ketiga — ini khusus bagi para pemberani (kelas advance) — datangi, atau tepatnya dekati dengan pendekatan silaturahim yang semranak (seperti sowannya seorang anak kepada bapaknya yang lama tidak pernah bertemu) kepada tokoh-tokoh masyarakat yang disepuhkan. Tokoh-tokoh itu bisa pak ketua RT, pak Dukuh, pak Kaum, atau siapa saja yang dianggap punya pengaruh di masyarakat. Selanjutnya, katakan kepada para tokoh itu, bahwa acara puji tahlil itu tidak ada tuntunannya.

Setelah melakukan ketiga tahapan diatas, siap tidak siap, tunggu untuk beberapa hari minimal seminggu. Anda akan menjadi orang terkenal di seantero kampung. Anda akan menjadi celebrity kampungan atau pahlawan kesiangan. Karena pada hari itu juga Anda akan dinobatkan sebagai the man of the day, jadi orang terkenal pada hari itu. Anda akan jadi pusat perhatian. Tidak hanya itu, Anda menjadi bahan olok-olokan, sebagai orang yang NGOWAH-NGOWAI ADAT, ORA UMUME WONG, dll.

Menggambarkan tiga tahapan strategi ini, pak Rus sangat berapi-api, sangat bersemangat, seperti memuntahkan sebuah amarah dari dalam dadanya. Bagi yang pertama kali bertemu dengan pak Rus ini, berbicara dengan beliau layaknya seperti mau ditampar saja. Ini harap dimaklumi, karena passion-nya terhadap hal-hal yang berbau pelurusan akidah sangat besar.

Saya katakan berapi-api, karena saat ini, pak Rus memang sedang hot-hotnya memegang bara api, sebuah bara keimanan yang persis pernah disinyalir Nabi SAW lima belas abad lalu. Karena membawa bara itulah, saat ini – tepatnya sejak pak Rus bergabung dengan MTA - ia menjadi semacam public enemy (musuh bersama) sekaligus target man di tengah-tengah masyarakatnya.

Di tengah mayoritas masyarakat yang mengamalkan ajaran nenek moyang itu, pak Rus berdiri sendiri sebagai ‘single fighter’ (petarung tunggal) menentang arus besar bernama tahlilan, sebuah tradisi Hindu yang dulu diadopsi oleh para wali yang kemudiaan diritualkan layaknya sebuah ajaran Islam. Jangan ditanya berapa kilogram amunisi ‘caci maki’ yang telah ditembakkan ke muka pak Rus.

Asal tahu saja, pak Rus mengaku bahwa dirinya sebelum bergabung dengan MTA, adalah pentolan aktif sebuah majlis dzikir di tengah masyarakat urban (perkotaan) di Yogyakarta. Sebagai ketua majlis dzikir, yang tentu saja disepuhkan oleh komunitasnya, dia sudah menduduki posisi apa yang dinamakan comfort zone, sebuah posisi nyaman yang punya kharisma, dihormati dan punya bargaining position (posisi tawar) yang kuat di tengah jamaahnya.
(bersambung)

Senin, 06 Juni 2011

Kisah Para Peluru (5)

3. Bapak Wandi

Masih ingat isitilah cicak versus buaya. Siapakah yang kali pertama mempopulerkan isitilah kontraversial itu.
Benar. Dialah Susno Duaji. Mantan Kabareskim ini adalah saudara kandung dalam rahim institusi bernama Kepolisian. Apakah Pak Wandi suka menilang orang. (wah saya tidak tahu itu)
Belajar ngaji di MTA Blonotan, Bapak Polisi yang satu ini, termasuk warga MTA yang paling militan. Militannya pak polisi ini, jangan diartikan suka main tilang. Militan disini adalah ghirah, sebuah semangat menyala-nyala, untuk tampil menjaga amanah hati, menjaga iman, agar tidak tergerus, tergores, dan terlindas kejamnya roda dinamika kehidupan dunia, sebuah roda bernama kepolisian

Wajah polisi pada hari-hari ini adalah wajah polisi yang coreng-moreng. Sebuah fakta membuktikan bahwa polisi selalu identik tilang, korupsi, dan segala macam berbau miring. Padahal ada juga sebuah fakta lain yang sedang berbicara sebaliknya. Fakta itu ada pada sosok pak Wandi. Bahwa tidak semua polisi itu jahat, masih banyak polisi yang baik, termasuk pak Wandi. Dia dengan rela menginfakkan sebagian waktunya atau qordon hasana , itu untuk sebuah kegiatan yang jelas-jelas tidak memberikan credit point — bisa mengerek jabatannya ke posisi lebih tinggi, Kapolda DIY, misalnya

Tak peduli hujan, tak peduli panas. Hujan, kata bapak dua anak ini suatu ketika, kan ada jas hujan. Artinya, jangan karena hujan terus tidak ngaji. Rugi, katanya lagi dengan tanpa ekspresi, seolah pak Wandi sedang berhadapan dengan seorang copet yang tengah diinterogasi.
Penampilan pak Wandi dalam setiap kesempatan ngaji di MTA, sepanjang saya ketahui, selalu memakai baju batik lengkap dengan songkok hitam. Pada kesempatan yang sama, ia sering tampil memimpin qiro’ah sebelum pengajian ustadz dimulai. Inilah barangkali, satu-satu warga MTA Blonotan yang tingkat bacaanya jauh lebih baik.

Terlepas dari itu semua, dalam soal pengamalan hidup bermasyarakat, terutama menyangkut masalah acara ‘puji tahlil’ (demikian acara itu sering disebut orang), pak Wandi punya stategi khusus, yang tidak semua orang bisa memiliki. Sebagai seorang polisi, jam kerjanya tentu tidak beraturan. Kadang dinas malam kadang dinas pagi. Kemewahan inilah yang digunakan pak Wandi untuk mengelabui acara-acara itu. Dan lebih serunya, program kamuflase ala pak Wandi ini dicoba ditularkan kepada teman yang lain. Tentu saja, tidak semua orang bisa menirunya. Karena strategi itu yang punya hanya pak polisi.

Ada amplop tentu ada prangko. Dengan analogi yang sama, Saya melihat kalau ada Pak Wandi selalu ada Pak Rusmono. Kenyataan itu menyulitkan saya untuk tidak mengatakan bahwa kedua orang ini pasti dua polisi yang diutus kesatuannya untuk memata-matai (semacam agen spionase) pada kegiatan MTA.

Tapi saya salah. Pak Wandi adalah seorang polisi, dan pak Rusmono adalah seorang guru. Ternyata dua orang ini bukan saudara, tapi tetap saudara dalam rahim Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA).

Sedemikian lengketnya kisah dua orang sahabat ini, hatta posisi duduknya pun harus bersebelahan dan selalu berdekatan. Akrab sekali. Antara dua sahabat ini, kayaknya ada semacam kongkalikong atau memorandum of understanding (MOU), sebuah kesepakatan bersama bagaimana pak Wandi dan pak Rus ini menyikapi status ke-MTA-an nya dalam bergaul di tengah masyarakatnya. Sebuah masyarakat yang notabenenya masih kental dengan aroma budaya sinkretisme, atau lebih tepatnya budaya TBC (Tahayul, Bid’ah, Churafat).
{bersambung)

Minggu, 05 Juni 2011

Kisah Para Peluru (4)

2. Bapak Sahono

Harus diakui, bahwa sebagian warga MTA, khususnya yang belajar ngaji di MTA binaan Blonotan adalah mereka yang berangkat dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Bukan berarti warga MTA tidak memiliki apa itu bodyguard. Bodyguard yang saya maksud adalah mereka yang biasanya mengawal dan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) agar tetap aman dan nyaman dari serangan musuh.
Serangan musuh ini bisa dari berasal dari laut, udara dan darat. Bodyguard yang saya maksud adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Repubilk Indonesia (POLRI). Dua institusi yang dulu di sebut Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), di MTA Blonotan punya dua nama aparat dengan bedil siap menyalak di tangan.

Dua nama aparat di darat itu adalah Bapak Sahono, yang sehari-hari berdinas di Kodim Piyungan dan Bapak Wandi yang saat ini aktif di Polresta Yogyakarta. Dan yang satu lagi adala Bapak Hadi Santosa, TNI-AU yang saat bertugas di udara Lanud Adi Sucipto. Saat ini, yang belum ada dari TNI AL. Harap maklum, karena letak geografis berada di tengah sawah. Untuk sementara ini, komposisi warga MTA Blonotan ini makin beragam dan sempuran.

Yang pertama, marilah kita berkenalan dengan Bapak Sahono. Bapak satu ini adalah seorang anggota TNI aktif, yang setiap hariya berdinas di Kodim Piyungn. Suatu hari, secara diam-diam, dengan caranya sendiri, dia pernah mengadakan semacam survey kecil-kecilan perihal eksistensi MTA di tengah masyarakat.

Dari hasil jajak pendapat yang dilakukannya, beliau memberi kesimpulan bahwa lima belas orang yang ditanya, hanya lima orang diantaranya yang mengetahui apa itu Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA). MTA di mata mereka adalah baik. Kesan yang muncul setelah ada dialog antara mereka menyimpulkan, bahwa MTA itu organisasinya solid, guyup, rukun dan disiplin. Tentang disiplin ini, satu diantaranya mempertanyakan masalah absensi jamaah. Lha wong ngaji saja kok diabsen. Tidak lumrah. Kayak bocah sekolah, wae, bisik mereka penasaran.

Ketika banyak orang yang mempertanyakan, menghina, dan bahkan menghujat keberadaan lembaga dakwah MTA, Pak Sahono memberikan tip dan strategi jitu dan mujarab.
“Sodorkan kalender MTA tahun 2010” kedua tangan Pak Sahono terangkat, seolah dengan itu ia ingin menunjukkan bahwa ia sedang memegang sebuah kalender, lalu beliau meneruskan ”Nih, foto pak SBY” jari telunjuk pak Sahono mengarah pada wajah sang presiden yang tampil perlente itu. Hanya satu tujuannya: meyakinkan banyak orang bahwa orang nomor satu — RI-1 yang diangkat secara sah dan menyakinkan sebagai pemenang pemilu 2004 ini, telah meresmikan sebuah lembaga dakwah bernama Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA).

Strategi dakwah ala pak Sahono ini boleh juga ditiru oleh warga MTA yang lain. Termasuk saya. Dengan cara itu, orang yang melecehkan dan memandang sebelah mata MTA akan mengalami kekalahan. Kalah 1:0.
Sekedar informasi saja, bisik-bisik dari tetangga, pak tentara kita ini rupanya telah mewakafkan sebagian tanahnya untuk markas kegiatan MTA di Blonotan.

Never ending fastabiqul khairat. (bersambung)