Sabtu, 30 Juli 2011

NEO-KEJAWAN [4-TAMAT]

Suparno. Nama lengkapnya DR.Abdullah Suparno. Beliau adalah ketua MTA Perwakilan Yogyakarta sekaligus dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Jogjakarta. Menyebut namanya, saya sebenarnya lebih sreg dan lebih ngeh kalau di depan nama Abdullah itu ditambahkan dengan Umar. Maka akan menjadi : Umar Abdullah Suparno. Umar adalah seorang presiden (baca: khalifah) ke-2 yang sangat dihormati baik kawan maupun lawan. Ia mewakili kekerasan dan ketegasan dalam menegakkan panji-panji Islam di tengah gurun pasir Sahara.

Dengan ustadz Abdullah Suparno, secara pribadi, saya belum pernah bertatap muka dengan beliau. Tapi saya sering dengar suaranya yang menggelegak dan menggelegar lewat radio. Gelegak dan gelegar suaranya itu, mungkin akibat magma yang keluar dari kawah hatinya. Beliau sering mengungkapkan fakta dengan bahasa ketelanjangan. Sebuah ekspresi keimanan yang tegas dan keras dalam membuka sisi gelap sebuah kesyirikan di tengah masyarakatnya.

Sutarto. Nama lengkapnya…,ya Sutarto saja. Tepatnya Sutarto MA (atau MPd, ya). Sejauh yang saya tahu, tidak ada embel-embel Ahmad atau Muhammad di belakang atau di depan namanya. Ya, Sutarto saja. Tidak xlebih. Saya tidak tahu, apa arti dan makna dari kata Sutarto itu. What’s in a name, apalah arti sebuah nama, mungkin begitu kira-kira protes pak Ustadz meminjam kata-kata William Shakepeare. Tapi yang jelas, nama yang sederhana itu seolah mewakili kesederhanaan beliau dalam menjelaskan tausiah atau kajian yang diadakan setiap Sabtu di Cabang Piyungan.

Suharno. Nama lengkapnya ya Suharno aja. Sama seperti ustadz Sutarto. Tidak ada embel-embel Ahmad atau Muhammad di belakang atau di depan namanya. Sejauh yang saya tahu, beliau ini adalah salah satu warga MTA Cabang Piyungan yang paling aktif dan tentu saja paling militan. Pak Har, demikian sering disapa, tidak saja aktif ngaji di Blonotan, tapi juga sering nongol di tempat lain, yakni di kajian Cabang Kota Yogyakarta. Padahal, letak dua lokasi – Blonotan dan Yogyakarta – adalah cukup melelahkan untuk ukuran seorang pak Har. Melelahkan untuk satu liter bensin, juga melelahkan dari sisi fisik setelah sebuah kerja seharian membanting tulang.

Melelahkan, kata ini, jelas sudah di-delete dalam kamus ibadah pak Har sudah ratusan tahun yang lalu. Kata ratusan yang lalu itu lebih menunjukkan pada past tense, yakni masa lalu. Sebuah masa yang boleh diartikan sebagai masa jahiliyah.

Keempat nama yang saya sebutkan di atas; Sukino, Suparno Sutarto, dan Suharno adalah nama lain dari apa yang saya sebut dengan Neo-Kejawan itu. Sebuah frase, yang mengindikasikan sikap dan laku spiritual baru yang mengedepankan logika berpikir rasional, sekaligus kritis terhadap apa yang tidak ada tuntunanya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Demikian juga dengan warga MTA dari garis keturunan Hawa. Nama itu selalu diawali dengan huruf S kemudian di akhiri dengan huruf I. Contoh yang seiring saya pakai sebagai model dalam tulisan saya adalah nama Ibu Sri Partini. Ibu Sri adalah satu contoh. Sebenarnya masih banyak sederet nama yang mungkin kapasitas magma letusan semangat jihadnya jauh lebih dahsyat dari ibu Sri.

Untuk menyebut daftar nama dari ibu-ibu, saya mengalami kesulitan dalam hal inventarisasi namanya. Ini masalah faktor interaksi saja. Di MTA sudah sangat jelas ada batas berupa sintru atau partisi yang memisahkan antara jamaah laki-laki dan perempuan, seperti halnya kita sholat. Lain perkara kalau nonton bareng dangdutan, misalnya. Laki-laki perempuan campur jadi satu. Asyikkan 

Jadi harap maklum. Yang saya kenal selama ini hanya Ibu Sri saja. Maunya kenal lebih banyak dengan ibu-ibu yang jumlahnya mungkin ratusan sampai ribuan yang senantiasa berdiri dibelakang sang suami dalam menegakkan kebenaran Al-Islam itu.

TAMAT

Jumat, 29 Juli 2011

NEO-KEJAWAN [3]

Dua rasa yang paradok itu, beritanya oleh Allah telah dikemas dan disajikan sedemikian rupa dengan cara mudah dipahami dan enak dikunyah untuk diamalkan. Dengan fasilitas kemudahan demi kemudahan itu, tinggal kitanya mau enggak. Kalau eggak, ya silakah mencicipi jilatan api neraka-Nya.

Sebaliknya, jika kita rela dengan merelakan diri untuk ikut ngaji. Itu artinya, kita telah membuka diri untuk akses hidayah, tidak hanya diri kita tapi juga untuk generasi berikutnya, pemegang tongkat estafet hidayah selanjutnya. Itu artinya, surga sudah ada didepan mata kita

The art of understanding ini, pada kasus tertentu, menjadikan trend pemahaman baru terhadap apa yang disebut ibda’ bi nafsik. akhirnya berpulang pada apa yang dinamakan dengan dari beberapa kasus yang saya jumpai, pemahaman yang banyak kasus pada tiap warga yang telah menjadi ikon dakwah pada level ini, menjadikan Al-Qur’an tidak sebagai benda keramat. Yang nilai kehadirannya hanya dibaca di saat bulan Ramadhan tiba, pada saat ajal menjemput, pada saat malam jumat kliwon, dan pada moment ketika bercumbu dengan problematika hidup yang menghimpit. Kalau sudah demikian Al-Qur’an bukan menjadi asy-Syifa’, obat yang menyembuhkan seribu satu macam penyakit, tapi berbalik arah menjadi laknat karena dijadikan jimat.

Pemahaman lain dari Neo-Kejawan ala MTA ini, adalah perkawinan local wisdom (kearifan local) antara MTA sebagai lembaga dakwah berkelindan dengan ‘Spirit of Java’ Kota Solo. Perkawinan silang antar budaya ini bisa dilihat pada nama-nama Jawa yang tetap dipakai sebagai sesuatu yang nJawani. Salan satu contoh bisa dilihat pada nama Ahmad Sukino. Ahmad adalah nama Arab, Sukino adalah nama Jawa. Persandingan dua nama ini, seperti menjelaskan bahwa keindahan dua budaya itu sama sekali tidak menjadikan MTA kehilangan roh kewibawaannya.

Dari kasus ini, saya ingin menjelaskan betapa indahnya perkawinan silang antara budaya Jawa dan budaya Islam ini. Dalam perkawinan silang ini, tak ada yang dirugikan. Keduanya tidak saling mencederai, melukai, bahkan membunuh satu sama lain.

Neo-Kejawan ala MTA bisa juga dilihat pada deretan nama-nama figur sentral gerakan dakwah yang menggawangi Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) ini. Mayoritas orang-orang penting adalah nama dengan aroma dan aksen Jawa yang sangat kental dan kuat. Demikian juga dengan sebagian besar warganya yang selama pengamatan saya di beberapa pertemuan, baik di pertemuan majlis Pengajian Akbar peresmian di perwakilan atau cabang, pengajian rutin mingguan, kajian kelompok, maupun pengajian Ahad Pagi. Atau saat absensi beberapa menit menjelang pengajian ustadz.

Daftar nama absensi mereka lebih didominasi oleh huruf-huruf aksen Jawa dengan awalan huruf SU dilanjutkan dengan akhiran huruf O. Sekedar contoh saja, misalnya, Sukino, Suparno Sutarto, dan Suharno. Perpaduan antara huruf awal SU dengan akhiran huruf O ini, menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah berjenis kelamin laki-laki.

Baiklah, mari kita telusiri keempat nama tersebut dengan metode pendekatan dari beberapa interaksi baik via radio, tatap muka, maupun dari sumber yang lain.

Sukino. Nama lengkapnya Al-Ustadz Drs.Ahmad Sukino. Nama beliau, bagi warga MTA pastinya sudah banyak yang faham dan tahu. Beliau adalah figure sentral gerakan dakwah yang mengusung tema kembali ke Al-Qur’an dan As- Sunnah. Saya tidak tahu persis, kapan penambahan kata “Ahmad” pada kata berikutnya: Sukino. Boleh jadi penambahan kata itu berasal dari bapak-e anak-anak, simbahnya, atau dari al-Ustadz sendiri. Saya juga tidak tahu, apa motivasi penambahan kata Ahmad itu. Mungkin, ya mungkin saja, biar terkesan lebih religious atau lebih islami atau biar lebih keren dan kece. Enggak tahulah, ini ‘kan baru analisa ‘kemungkinan’ saja menurut versi saya. Ojo dikandakke pak Ustadz lho ya. Nanti, saya dimarahi

BERSAMBUNG..

NEO-KEJAWAN [2]

Di luar kesadaran kita, ya warga MTA, secara vertikal Allah sengaja membenturkan kita dengan fakta dan realita, sebagaimana dalam film Cast Away — yang pernah saya singgung pada artikel sebelumnya. Tidak ada golok, batu pun jadi untuk alat membelah kelapa.

Dari titik kesadaran inilah kemudian, muncul sebuah energy yang membuat seseorang berani berkata ‘NO’ di tengah mayoritas orang berkata YES. Berani berkata ‘NO’ ketika didepannya ada lampu merah menyala bertuliskan tradisi nenek moyang, yang akan nyrempet-nyrempet bahaya syirik. Berani berkata ‘YES’ kepada apa saja amalan sunnah yang nyata di perintahkan Allah dan Rasul-Nya.

Dua energi YES + NO inilah yang dirasakan sangat pahit oleh saudara-saudara kita di lahan kritis MTA Purworejo, MTA Blora beberapa tahun yang lalu, dan MTA-MTA lainnya. Lewat energy lompatan quantum ini, getaran frekuensi itu merambat pelan namun pasti, yang menggetarkan sekaligus memanaskan urat syaraf sekujur tubuh bangsa ini seperti meriang, semacam penyakit panas dingin tanpa suatu sebab.

Dalam artian khusus, lompatan quantum yang saya maksud, sebut saja seperti seseorang yang dulu sangat aktif hidup di ‘inner circle’ (lingkaran dalam) suatu majlis dzikir bernama puji tahlil. Tidak menunggu hitungan hari, seketika itu, mendadak ‘sak dek sak nyet’, lompatan quantum bernama ‘hijrah’ itu, menjadikannya manusia super-[man/women] - aneh di tengah kampungnya sendiri.

Pertanyaannya adalah, mengapa kenekatan ‘lompatan quantum’ dengan segala resiko berbahaya itu ditempuh?

Pitutur Jawa 'witing tresno jalaran saka kulino’ adalah salah satu jawabannya. Satu trisno (cinta) sama dengan satu interaksi (sambung rasa rohani). Satu interaksi sama dengan sepuluh hasanah (kebaikan bernuansa silaturahmi). Ketika intensitasnsya semakin tinggi, semakin tinggi pula energi spiritual yang terpancar dari Sang Yang Maha Tinggi. Dari titik inilah, sebuah guidance, hudan, petunjuk yang senantiasa mengiringi dan membersamai akan menujukakan kemana arah menuju jalan tol bebas hambatan itu. Jalan tol bebas hambatan itu disebut ‘ihdinash shirathal mustaqim’.

Meminjam ungkapan Prof. Sayyed Hossein Nasr adalah jawaban yang lainnya (seperti sudah pernah saya singgung pada artikel sebelumnya): “Seseorang yang belum pernah bergetar hatinya oleh ke-Agung-an ayat-ayat suci Al-Qur’an dan Teladan Suci Nabi Muhammad SAW, tak akan pernah mampu menggetarkan dunia...!” 

Interaksi aktif, positif, dan intensif yang sering dilakukan warga MTA dalam kajian bersama, bukanlah sekedar the art of reading Al-Qur’an. Sebuah interaksi pasif yang hanya sebatas pada membaca teks huruf hijaiyah yang tertata rapi, seperti yang biasa terjadi pada ajang lomba Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), misalnya. Sebuah event perlombaan untuk mengejar juara dalam hal menjadi yang terbaik dan terindah untuk satu hal saja: the art of reading itu sendiri, seni indah membaca Al-Qur’an. Ya, sebatas membaca saja. Tidak ada, semacam follow-up untuk sebuah ikhtiar atau upaya mengendus aroma surga yang luas kaplingnya, seluas langit dan bumi itu.

Atau dengan kapasitas yang lain, akan muncul sebuah tanya: pernahkah kita mencoba merasai asap api neraka itu? Sekedar pembanding saja, pernahkan kita membayangkan betapa panasnya wedhus gembel yang menewaskan Mbah Marijan, sang juru Kunci Merapi itu. Andai api neraka itu bocor sebesar lubang ujung jarum saja, bumi dengan segala isinya akan meleleh.

BERSAMBUNG...

Kamis, 28 Juli 2011

NEO-KEJAWAN [1]

Istilah Neo-Kejawan, saya peroleh dari sebuah buku karya Ayu Utami [1]. Menurut Ayu, Neo-Kejawan atau Kejawan Baru tidak mirip dengan Kejawen. Sebab kejawen itu terlalu melekat pada aliran kebatinan orang Jawa yang dikuasai orang-orang tua. Ia lebih identik dengan kemenyan dan klenik.

Perbedaan antara kejawan lama dan kejawan baru terletak pada daya kritisnya. Spiritualitas Kejawan lama tidak memuculkan daya kritis. Spiritualitas lama tersedot pada rasa dan cipta tapi mengabaikan logika. Menekankan pada inspirasi tapi tidak analisa sama sekali. Spiritualitas baru ini milik orang-orang rasional namun sekaligus kritis pada rasionya.

Mereka adalah orang-orang yang telah mengenal modernisme tapi tidak tertelan dalam modernisme. Milik orang-orang postmodernisme. Spiritualime baru ini percaya bahwa sangkan paraning dumadi, yakni kritis pada asal dan tujuan hidup.

Neo-Kejawan atau Kejawan Baru dalam konteks Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA), saya maknai sebagai spiritualisme dengan logika kritis warga MTA dalam berinteraksi secara horizontal (baca: srawung hidup bertetangga dengan masyarakat sosialnya, hablumminnas) di satu sisi. Dan di sisi lain, berinteraksi secara vertikal (baca: hablumminallah) dengan basic kebenaran fundamental, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Secara horizantal, yang hablumminnas tadi, warga MTA harus mulai belajar menjaga jarak dengan tradisi Islam rasa Hindu. Frase ‘Islam rasa Hindu’ ini saya dapatkan dari ustadz Abdul Aziz (mantan Pendeta Hindu) pada acara ‘Tablig Akbar’ di Masjid Nurul Iman, Kaliajir, Berbah, Sleman, Kamis 10 Maret 2011. Sebagai mantan pendeta Hindu, beliau 100 persen faham akan lekuk-liku, tekstur, dan aroma rasa Hindu yang sesungguhnya.

Tidak jarang, ketika warga MTA mulai melakukan ijtihad dalam hal menjaga jarak dengan Islam rasa Hindu tadi, banyak mengalami benturan. Tidak hanya benturan, tapi juga ancaman pengusiran dari kampung halamannya sendiri, bahkan ancaman fisik berupa menghadirkan Izrail sang pencabut nyawa. Pada konteks ini, silakan baca kembali artikel sebelumnya berjudul the clash of civilization.

“Rasanya kok nyaris sama, ya, antara agama yang baru saya peluk (Islam) dengan agama lama saya”, sindir sang ustadz kepada para jamaah. Dari sini, ia lebih intensif dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Hasilnya?

Beliau merasakan rasa pedas yang sesungguh-sungguh pedas sebagaiman rasa pedas Islam yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pedas yang saya maksud adalah tegas yang mendekati keras dalam memilih dan memilah ajaran yang betul-betul al-haqqu mir rabikum, bahwa kebenaran itu datang dari Allah. Dan kebenaran dari Allah itu adanya, ya di Al-Qur’an.

Inilah yang saya maksud Neo-Kejawan atau Kejawan Baru bila dikaitkan dengan Islam rasa Hindu-nya ustadz Abdul Aziz. Rasa Hindu ini lebih mirip dengan apa yang dimaksud Ayu di atas sebagai spiritualitas Kejawan lama yang tidak memuculkan daya kritis, tersedot pada rasa dan cipta tapi mengabaikan logika dalam memaknai sebuah upacara atau pesta tradisi, yang dengan itu sering disebut berdasar katanya. Katanya siapa? Katanya ajaran nenek moyang.

“Dan apabila dikatakan kepada mereka , “Ikutilah apa yang diturunkan Allah!” Mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami (hanya mengikuti) kebiasaan yang kami dapat dari nenek moyang kami.” Apakah mereka (akan mengikuti nenek moyang mereka) walaupun sebenarnya setan menyeru mereka ke dalam azab api yang menyala (neraka)? 
(QS-31:21)

Catatan:
[1] Ayu Utami, Bilangan Fu, KP Gramedia, Jakarta, 2008, hal-383

Rabu, 27 Juli 2011

ITULAH INDONESIA.... [2-TAMAT]

Pada titik kehangatan itulah, pada akhirnya, kita telah lebur dan masuk ke dalam apa yang dinamakan dengan kawah candradimuka (bulan training mental). Sebuah wadah yang membuat kita kepingin senantiasa dalam dekapan dan kehangatan Yang Ilahi nan Suci. Ujung dari itu semua, akan mengantarkan kita untuk kepingin juga meningkatkan amalan kita menuju tercapainya manusia paripurna “la’allakum tattaqun” (QS-2:183).

Ketertundaan peresmian MTA Bojonegoro berujung pada kesedihan. Itu pasti. Dan diujung kesedihan yang lain, sudah berdiri kokoh sebuah kenenglongsoan. Keduanya saling bersitatap, bermuwajjahah, ber-face to face untuk beradu pandang. Menyampaikan pesan cinta lewat mata. Dari mana datangnya cinta dari mata turun ke hati. Posisi ini mempertegas kesedihan masing-masing untuk saling menguatkan kebersamaan yang alamatnya tidak lain dan tidak bukan, ada di dalam hati. Dari sini lahirlah sebuah wisdom: HATI-HATI ya.
Sebuah kata yang besentuhan dengan rasa sakit, yang itu letaknya di hati. Dan hati orang beriman itu adalah rumahnya Allah. Qolbun muslimin baitullah.

Langkah terkecil dengan ke-HATI-HATI–an itu pun, akan punya nilai tersendiri di haribaan sang pemilik HATI. Bahwa, sekecil apapun rintihan itu, kepedihan itu, kenelongsoan itu, adalah pahala di sisi Allah. Di sisi Allah, apapun itu akan dikonversikan ke dalam mata uang dollar milik-Nya. Pelipat gandaan itu semula 700 (tujuh ratus) kali, ada kemungkinan besar akan dinaikkan berlipat ganda menjadi 1.500 (seribu lima ratus) kali lipat. Dan itu terserah Allah, watarzuqu mantasya’u bighoiri hisab. 

Di alamat HATI itulah, yang pada hari-hari ini sedang mendera, menusuk-nusuk sekian ribu keping hati komunitas warga MTA yang teraniaya itu, yang tak lain adalah saudara kandung satu iman, satu hati, satu perjuangan dalam mengibarkan panji-panji kalimat tauhid LA ILA HA ILLALLAH, MUHAMMADUR RASULULLAH .

Kalau bukan kita dan segera dimulai hari ini, siapa lagi yang akan memulai? Teriak sekeping hati yang lemah ini, sembari berdendang sebait puisi hati diiringi dentingan musik instrumentalia kalimat tauhid LA ILA HA ILLALLAH, MUHAMMADUR RASULULLAH.

Ya, warisan terbaik untuk hari ini adalah memutus mata rantai warisan yang tidak satu nada dengan LA ILA HA ILLALLAH, MUHAMMADUR RASULULLAH, yang harus kita lakukan. Ya hari ini, ketika detak waktu masih bergulir, ketia air mata masih menetes di sudut malam, ketika masih mengalir dan bergejolak memompakan nutrisi semangat untuk hidup seribu tahun lagi.

Itulah Indonesia....,

Begitulah ujar Al-Ustadz menirukan penggalan bait lagu kebangsaan Indonesia di akhir acara Jihad Ahad Pagi itu, 24 Juli 2011 itu. Di saat itu warga MTA yang pada hari-hari ini hidup dibawah desing peluru caci maki, juga hidup di sebuah negeri yang disebut .. itulah Indonesia …yang sama. Pada saat itu juga, anak tiri di negeri sendiri ini, juga sedang bertaruh nyawa menyelamatkan anak-anak bangsa dari beragam penyakit TBC (Tahayul, Bid;ah, Churofat) yang sedang beranak pinak di rumahnya sendiri

Itulah Indonesia....,


TAMAT

Selasa, 26 Juli 2011

ITULAH INDONESIA.... [1]

Itulan ucapan Al-Ustadz Drs. Ahmad Sukino,jelang penutupan acara Jihad Pagi pada hari Ahad, 24 Juli 2011. Ucapan dengan nada guruan dan gojekan itu disampaikan Al-Ustadz menanggapi ditundanya pengajian akbar peresmian Majlis Tafsir Al-Quran (MTA) Bojonegoro.

Tertundanya peresmian Majlis Tafsir Al-Quran (MTA) Bojonegoro, bagi saya pribadi, adalah sebuah 'kado terindah, untuk ‘sangu urip lan ngurip-nguripi’ bulan suci penuh berkah, puasa Ramadhan 1432 H.

Tertundanya sebuah acara peresmian MTA di berbagai tempat, di mana pun di delapan penjuru mata angin sebuah negeri bernama Indonesia, adalah seperti menyaksikan sekumpulan pegawai negeri yang wajib mengikuti upaca bendera 17-an. Dengan logika ‘wajib’ itu, penundaan demi penundaaan peresmian MTA adalah sebuah keniscayaan yang wajib diamini sebagai bagian dari sami’na wato’na, sebuah jeda ketaatan kepada sang imam. Atau bagian dari Yes Sir, sebuah kewajib anak buan kepada juragan. Atau ‘Siap Jenderal’, sebuah kesiapan melaksakan perintah seorang kopral atas sanga Jendral.

Siapa yang mewajibkan? Yang wajibkan, ya Sang Pemberi Wajib, yakni Allah Azza Wa Jalla. Dengan itu, kita ditunutun, lalu dibiasakan untuk menerima kepahitan demi kepahitan yang insya Allah akan berujung kepada kebaikan.

Masih segar dalam ingatan kita, betapa indahnya kewajiban sebuah “tragedy Purworejo” itu. Inilah yang sering saya sebut dengan ‘blessing in disguise’, selalu ada hikmah di balik bencana itu. Sama sekali tidak ada yang menyangka, bahwa dari rahm penundaan MTA Purworejo itu akan lahir bayi kembar 6 secara bersamaan. Keenam bayi kembar itu adalah [1] MTA Perwakilan Purworejo, [2] MTA Cabang Pituruh, Purworejo, [3] MTA Cabang Kasihan Kabupaten Bantul, [4] MTA Cabang Piyungan Kabupaten Bantul, [5] MTA Cabang Rongkop Kabupaten Gunungkidul, [6] MTA Cabang Nanggulan Kabupaten Kulon Progo.

Pertanyaanya adalah, apa hikmah dibalik penundaan MTA Bojonegoro? Sebaiknya kita wait and see saja. Yang jelas, penundaan itu memiliki nuansa keindahan tersendiri bila dikaitkan dengan fenomena jelang bulan suci Romadhan.

Pada hari Sabtu, 30 Juli 2011 nanti, ada dua kebahagiaan yang akan dirayakan oleh keluarga besar warga MTA di seluruh Indonesia. [1] Berbahagia karena akan merayakan kebahagiaan atas kelahiran sekaligus peresmian MTA Bojonegoro. [2] Berbahagia karena akan bertemu dengan kedatangan bulan suci Ramadhan.

Akan tetapi kebahagian nomor [1], untuk sementara harus ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan. Kebahagiaan itu, untuk selanjutnya dimasukkan di didalam kehangatan bernama Ramadhan. Ia, kebahagiaan itu, marilah kita hangatkan menjadi satu dengan titik-titik adonan kehangatan yang lain.

Titik kehangatan itu kita lebur menjadi sebuah adonan yang satu padu dengan [1] titik adonan sebuah bulan penuh berkah itu. Titik adonan [2] berupa sebuah bulan penuh ampunan itu. Titik adonan [3], berupa sebuah keterhindaran dari nyala api neraka.

BERSAMBUNG....

Senin, 18 Juli 2011

SIN LAUNDRY [4-HABIS]

Untuk mengurangi atau meminimalisir resiko ‘FATAL ATTRACTION’ itu, ada tiga (3) langkah yang mesti kita persiapkan. Langkah ini pula yang pernah digunakan baginda Nabi Muhammad SAW. [1] dengan tangan, [2] dengan lisan, dan [3] dengan hati. Yang terakhir ini — dengan hati — disebut dengan selemah-lemah iman.
Kalau ke-MTA-an kita masih balita, langkah paling aman yang harus ditempuh, saran saya, gunakan saja langkah terakhir. DIAM.

Dengan diam, itu artinya kita tahu diri. Tahu kapasitas keilmuwan dan keimanan kita. Bondo nekat (BONEK) tidak ada di kamus besar warga MTA. Bisa-bisa mati konyol.
KEEP SILENT : DIAM, TAU! adalah langkah yang saya sebut sebagai langkah para pemula atau BEGINNER. 

Apabila grafik keimanan kita sudah naik satu tingkat lebih tinggi, gunakan langkah ke-2, yakni dengan lisan. Langkah ini, selanjutnya saya sebut dengan langkah INTERMEDIATE. Persyaratan pertama dan utama yang harus dipersiapkan adalah, jenis orang ini harus punya energy lebih cukup. Minimal pernah diabsen sebanyak sepuluh kali untuk selalu hadir dalam majlis. Dijamin 100 persen, energy yang disebut dengan inner power itu, akan akan muncul sendiri secara tidak terduga. Jadilah Anda atau siapapun orangnya yang pernah bersentuhan dengan energy ini akan seperti orang kesurupan.

Dalam kondisi kesurupan (trance) itu, Anda tampak seperti orang asing, aneh atau ghuroba—istilah baginda Nabi Muhammad SAW. Atau “aeng-aeng” yang ngowah-ngowahi adat, istilah orang kampung.
Namanya juga kesurupan, maka yang muncul dari bibir Anda juga kata-kata aneh yang sulit dimengerti oleh orang kebanyakan. Lebih dari itu, Anda akan dicap sebagai tukang sihir. Bentuk keanehan itu seperti kutipan ayat berikut ini.

Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang terang, mereka berkata,
“Orang-orang ini tidak lain hanya ingin menghalang-halangi kami 
dari apa yang disembah oleh nenek moyangmu,” 
dan mereka berkata, “(Al-Qur’an) ini tidak lain 
hanyalah kebohongan yang diada-adakan saja.”
Dan orang-orang kafir berkata terhadap kebenaran 
ketika kebenaran (Al-Qur’an) itu datang kepada mereka,
“Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.” 
(QS-34:43)

Energi kutipan ayat diatas, mau tidak mau akan merasuk ke tulang sumsum Anda. Menjadi bagian yang tiba-tiba tidak bisa dipisahkan dalam tiap langkah-langkah menuju self-improvement Anda.

Wujud kongkret dari tahap kerasukan inner beauty-nya ayat-ayat dari langit, yang tak lain adalah souvenir teragung dari Yang Maha Agung itu, selanjutnya akan membimbing kemana pun Anda pergi.

Ya, kemana pun Anda pergi. Mau masuk ke kamar mandi/WC, misalnya, tiba-tiba saja seperti ada yang mengingatkan Anda untuk melantunkan doa masuk kamar mandi. Karena di kamar mandi itu, syetan sudah menunggu dengan dua tim intelejen berkelamin ganda, laki-laki dan perempuan.

Siapa sih yang tadi mengingatkan itu? Itulah Allah.


Demikian seterusnya. Termasuk di dalamnya ketika energy negatif Gayus bin Nazarudin menyelinap masuk ke kantor Anda. Buru-buru Allah dengan energy yang tidak terlihat tapi bisa dirasakan itu mengingatkan Anda untuk tidak melakukan hal yang sama, sebagaimana DUA MANUSIA LANGKA INDONESIA ITU.

Kemanapun Anda pergi yang Maha Agung itu akan bersama Anda. Mengawal, membimbing, bahkan menjadi body guard pada setiap jengkal langkah Anda. Itulah tahap akhir dari apa yang saya sebut dengan langkah ADVANCE.

Pada posisi atau tahap ADVANCE ini, power itu benar-benar nyata. Sabda Nabi, seperti bunyi kutipan hadist di atas, yakni dengan tangan atau kekuasaan adalah pilihan orang pinilih dan terpilih yang merupakan seleksi alam dan Allah sendiri yang memilihnya.

Hari ini, Anda terpilih dan pinilih menjadi manusia dengan predikat sebagai: the limited edition man,

Tamat

Sabtu, 16 Juli 2011

SIN LAUNDRY [3]

Fakta sekulerisme, setuju tidak setuju adalah wajah perayaan paling mewah atas nama sebuah pesta. Dan pesta super mewah itu bernama ‘RITUAL RUWAHAN’. Lazimnya sebuah pesta, selalu melibat kan banyak hal. Bisa orang. Bisa uang. Bisa waktu. Bisa tempat.

Untuk menjelaskan bagaimana pesta itu perlu diadakan, maaf — maaf sekali lagi maaf — like or dislike, saya akan menggunakan pendekatan hukum 4W+1H = WHY, WHAT, WHERE, WHEN, dan HOW.

WHY ?

Mengapa ‘RITUAL RUWAHAN’ perlu diadakan? Alasan faktual dan aktualnya bisa saya jelaskan dengan tiga hal berikut:

Pertama:
Bila perhelatan akbar ‘RITUAL RUWAHAN’ tidak diadakan, maka akan terjadi kiamat kecil bernama KUALAT. Kualat ini berkaitan dengan figur sentral seorang sesepuh desa atau kampung,sebut saja dengan pak Kaum. Posisi terhormat, posisi comfort zone, dan posisi sentral sebagai kasepuhan, pada detik berikutnya menjadi tidak fungsional lagi.

Itu artinya, dia dilengserkan secara inkonstitusional, secara tidak terhormat. Dalam bahasa lain sudah tidak diwongke, tidak dimanusiakan lagi oleh komunitasnya.

Bila demikian, maka yoni — biasanya built-in pada lekuk sebuah keris, atau tuah— biasanya ada pada sebuah mangkok berisi soto atau bakso (eh.. salah ya, itu kuah namanya), yang senantiasa melekat pada diri pak Kaum, akan secara berdiri pada posisi diametral, lalu menjadikannya sebagai noktah kecil bernama ‘black-list’ pada selembar harga diri sebuah kewibawaan.

Segera sesudah itu, posisi terhormat yang acap kali melekat pada pundak pemimpin spiritual sebagai pelantun do’a di setiap acara puji tahlil, selesai sudah. Selesai juga insentif dadakan yang biasa terselip pada “amplop wajibe” itu. Pada posisi ini, ia benar-benar miskin: miskin wibawa, miskin amplop, juga miskin puja-puji.

Kedua:
Demi alasan nguri-nguri kabudayaan. Dengan itu, apa yang dinamakan ujaran “mangan ora mangan sing penting kumpul” menjadi sesuatu yang sangat bermakna’. Pada kandungan ajaran ini, ada maksud luhur : memupuk tali & nilai silaturrahmi yang disebut nglumpukke balung pisah. Dua ajaran ini akan saling melengkapi dan mengokohkan peseduluran (persaudaran). Dari dua kombinasi hukum ini, bagi orang lain — bisa saya sebagai tetangga, bisa pak Lik sebagai sedulur cilik, bisa pak De sebagai yang disepuhkan — akan
berpikir seribu satu kali lebih kritis dari biasanya.

Frase “don’t say no for Ruwahan”, untuk sebuah justifikasi atas sebuah ‘merah jambu’ keimanan (baca: iman yang lagi kasmaran) bukan pada tempatnya. Akan menjadi lebih baik jika ada semacam ‘bargaining position’ yang lebih mendekati win-win solution. Taruhlah, misalnya, memakai model PDKT yang lebih manusiawi, atau lebih tepatnya semranak dengan tutur kata bahasa Jawa kromo inggil yang sudah dipermak sedemikian halus. Misalnya seperti dibawah ini

 “Nyuwun sewu lan nyuwun pangapunten, kulo mboten saged nderek ruwahan amargi wonten acara.” 

Tapi ingat, jangan sekali-kali menggunakan kata-kata atau ajian pamungkas seperti ini: NYUWUN PANGAPUNTEN, RUWAHAN MENIKO… MBOTEN WONTEN TUNTUNANE. Bila kata-kata ini masih nekat digunakan, silakan resikonya tanggung sendiri . Itu namanya FATAL ATTRACTION. 

Bersambung

Jumat, 15 Juli 2011

SIN LAUNDRY [2]

‘RITUAL RUWAHAN’ dan ‘SIN LAUNDRY’ adalah satu paket . Kalau boleh saya analogikan secara sederhana, anggap saja ‘RITUAL RUWAHAN’ sebagai the washing machine-nya. Sementara, uba rampe mulai dari snack, aneka minuman, rokok, sampai kemewahan prasmanan yang menelan banyak biaya itu anggap saja sebagai ‘detergent’-nya (maaf tidak boleh menyebut merek, karena itu bid’ah ekonomi).

The washing machine bisa berjalan dengan lancar kalau tombol atau knop itu sudah ditekan dengan komat-kamit ratusan bibir–bibir jamaah majlis Ruwahan mulai melantunkan beberapa bait doa. Satu paket doa berjumpalitan membentuk satu kesatuan paduan suara orchestra bernama puja-puji Tahlil.

Sampai di sini, kira-kira ada pertanyaan. Any Question ? 

Sebuah koor yang sama dan serentak membunyikan satu kata: AMIN.

Itulah detik terakhir pengesahan SIN LAUNDRY, pencucian dosa, berakhir sudah. Agar lebih syah dan benar menurut kaidah dan hukum ‘RITUAL RUWAHAN’, maka sebuah amplop berisi sejumlah uang — minimal Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah) atau boleh lebih — haruslah dipersiapkan.

Seorang utusan dari sang tuan rumah dengan lampah ndodok — kurang lebih formasinya seperti suster ngesot , mendekati sang imam. Amplop ditangan sang utusan berpindah tangan ke tangan sang imam. Perpindahan amplop dari dua orang berbeda kepentingan dan berbeda profesi itu bergerak begitu cepat. Seperti tangan Dedy Corbuiser yang sangat lihai bermain sulap.

Sang iman mengangguk pelan. Sebuah body language yang mengisyaratkan bahwa sebuah perhelatan dan perjamuan agung atas nama SIN LAUNDRY, pencucian dosa itu segera akan berakhir.

The Closing Address segera disampaikan sang imam, yang kurang lebih bunyinya seperti ini.

Mugi-mugi kanti sedekahan, nyuwun inggih, wontenipun acara Ruwahan menika, 
pahala lan ganjaranipun dipun kentun lan ditujukaken 
dateng para arwah leluhur ingkang sampun sumare ing alam kelanggengan.
Amin


Translate into bahasa Indoneisa, kira-kira bunyinya menjadi seperti ini:

Semoga dengan sedekah yang ada dalam cara Ruwahan ini,
pahala dan ganjaran-nya ditujukan kepada arwah 
para leluhur yang sudah mendahului kita.
Amin

Menonton acara ‘RITUAL RUWAHAN’ yang ultimate goal-nya tidak lain dan tidak bukan adalah SIN LAUNDRY, sebentuk pencucian dosa terhadap nenek, kakek, buyut, dan para leluhur yang sudah berkalang tanah itu, mengingatkan saya akan sebuah ayat berikut ini:

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. 
Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, 
semua itu akan dimintai pertanggungjawaban” (QS-17:36)

Bersambung....

Kamis, 14 Juli 2011

SIN LAUNDRY [1]

‘MAWAR LAUNDRY”.
Menerima Cucian Antar Jemput.
Bersih, Harum, dan Wangi Sepanjang Hari.
Satu Hari Jadi.
Harga: Rp.2.500 per kilogram

Demikian salah satu bunyi promosi, iklan, woro-woro atau entah apa namanya, yang terpampang di baliho, pamphlet, atau brosur yang berserak atau juga berjajar rapi, menyesaki mulut-mulut gang di sudut kampung, di pinggir kota dekat sebuah perguruan tinggi atau universitas ‘X’.

Biar tampak menarik, canggih dan berkelas, biasanya pada brosur itu disisipkan gambar atau foto wanita cantik dengan kriteria berikut ini: PUTIH, KINCLONG, RAMBUT PANJANG HITAM TERUARAI SEBAHU, DAN PADA BIBIR WANITA ITU DIMONYONGKAN SEKIAN MILI DENGAN GINCU TEBAL MERAH MENANTANG. 

Jangan lupa, di luar kriteria itu, pembaca harap maklum, bahwa ada satu hal yang tidak boleh ketinggalan. Apaan tuh! Pada tubuh perempuan itu senantiasa ada sebuah hukum yang nyaris mendekati ‘fardu kifayah’ alias ekstra wajib dengan penonjolan ikon-ikon terpenting pada organ tubuh anak cucu eyang putri Siti Hawa ini.

Apa alasannya? Mau laku nggak? Kalau nggak mau laku, yaa... resiko tanggung sendiri.
Ikon-ikon penting itu sebut saja dengan SEKWILDA atawa sekitar wilayah dada.BUPATI atawa buka paha tinggi-tinggi. Dengan dua sihir itu, konon para artis dijamin masuk surga ‘audisi’ untuk menjadi artis dengan merek dagang (trademark) artis papan atas. Dengan dua sihir itu pula, sebuah jasa tukang cuci (laundry), diharapkan bisa meraup keuntungan financial yang super besar: SEBESAR-BESARNYA.

Itulah dakwah teknologi kapitalisme, yang mengemas segala sesuatu, apapun segala sesuatu itu — termasuk tubuh perempuan — harus memiliki nilai uang (capital) yang ujung-ujungnya abai terhadap hakekat fitrah kemanusiaan. Abai akan fitrah itu, yang di dalamnya — sekali lagi — meng-eksploitasi organ tubuh perempuan sebagai pusat jajanan murah mata-mata liar tadi. Semuanya berhenti pada titik nadir terakhir yang disebut dengan pelecahan terhadap nilai-nilai agama. Maka sebut saja, abai terhadap nilai-nilai agama itu dengan La Diniyah, suatu pandangan hidup yang “serba dunia” atau sekularisme.

Faham sekulerisme membawa ajaran, agama (baca: Islam) tidak perlu dibawa-bawa mengatur masyarakat. Agama adalah soal pribadi dan ukhrawi, persoalan dunia dan negara, persoalan masyarakat dan kehidupan manusia seluruhnya, terserah kepada pikiran, otak dan rasio manusia. Tangan Tuhan tidak boleh ikut campur mengatur urusan manusia. (KH. Mohamad Isa Anshory, Eramuslim, 20/05/2011)

Bersambung…

Rabu, 13 Juli 2011

TAHLILAN YES, SALAT NO [2-Tamat]

Itu pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Tidak penting itu. Masa bodoh.

Tidak ada hubungan antara MAKAN dengan BID’AH. Makan... yaa... Makan. Bid’ah ...Ya.... Bid’ah. Bid’ah itu nomor keseratus sekian. Yang penting adalah perut kenyang. Dari perut kenyang menghasilkan resonansi bacaan puji tahlil itu semakin kencang, semakin membahana memenuhi ruangan tempat puji tahlil dilakasanakan.

Dengan demikian, reproduksi pahala yang ditransfer kepada para leluhur, para nenek moyang, para sesepuh sing babat desa, dalam hitungan per sekian detik, sesegera mungkin, as soon as possible (ASAP, bahasa SMS-nya) masuk ke kotak inbox yang disebut kuburan itu.

Di lokasi yang disebut kuburan itu, para pocong-pocong yang arwahnya sedang gentayangan, dengan as soon as possible juga, kembali ke liang lahatnya masing-masing untuk menyambut kiriman doa dari para sanak kadang plus sedulurnya.

Apakah reproduksi doa dari prosesi “RITUAL RUWAHAN” itu betul-betul sampai ke kuburan? Yang ini, terus terang, saya tidak bisa menjawab dengan tingkat akurasi data yang pasti. Yang pasti, saya belum pernah menerima pengaduan berupa complain sms dari para pocong-pocong yang diam seribu bahasa di alam bawah tanah itu. Dan pastinya, saya juga belum pernah merasakan bagaimana nikmatnya orang mati itu . Lha wong saya belum pernah mati.

MAKANYA NGAJI DONG DI KLINIK-KLINIK QURA’NIC TERDEKAT. (BACA: MTA TERDEKAT) 

Itulah, kenapa saya katakan “TAHLILAN itu YES”. Yes-nya adalah karena bisa ‘njagakne endoke blorok’ dengan mengenyangkan perut plus bisa transfer do’a bagi para pocong-pocong di kuburan itu. Bagaimana dengan “SALAT NO?”

Baiklah kalau begitu. 

Coba ajukan pertanyaan ini: “APAKAH BAPAK SHALAT?”, kepada beberapa orang yang hadir pada acara“RITUAL RUWAHAN” itu. Kemungkinan jawaban yang akan diberikan ada tiga.

PERTAMA: saya shalat. 

KEDUA: saya shalat bila perlu, yang disingkat dengan BERLING, Kober lan Eling. 

KETIGA: saya tidak sholat kecuali shalat pada dua hari raya: Idul Fitri dan Idul Adha.

Dari ketiga jawaban yang diberikan, kira-kira jawaban mana yang menduduki ranking ke-1

RANKING PERTAMA adalah salat idul Fitri dan Solat idul Adha.

RANGKING KEDUA adalah shalat BERLING.

RANKING KETIGA betul-betul Salat.

Yang betul-betul shalat itu bisa dihitung dengan jari. Mungkin tidak sampai lima orang. Dan yang lima orang itu pun, salatnya tidak mengikuti sunnah Nabi, sak karepe dhewe. Artinya, sholatnya belum masuk kriteria berikut ini:

SHALAT TEPAT WAKTU, 

ON TIME, 

ASH-SHOLATU ‘ALA WAKTIHA, 

SHALAT DI MASJID, 

LALU BERJAMAAH.

Ironis dan tragis-nya, mayoritas yang hadir pada acara ‘RITUAL RUWAHAN’ itu tidak ada yang sholat. Apalagi berjamaah di masjid dan muhsolla. Dengan ngikut acara itu, seolah ada sebuah klausul hukum yang mengatakan, ‘ORA SHOLAT ORA OPO-OPO, POKOKE MELOK TAHLILAN RUWAHAN (tidak sholat tidak apa-apa, yang penting ikut tahlilan Ruwahan). TITIK.

Tamat

Selasa, 12 Juli 2011

TAHLILAN YES, SALAT NO [1]

“Allahumma bariklana fii rajaba wa sya’bana wa balighna Ramadhana.”
“Ya Allah berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban,
dan sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan.”
(HR Ahmad dan Thabrani)

Dalam skala realitas, “RITUAL RUWAHAN” yang digelar satu bulan penuh oleh masyarakat yang mayoritas menganut ajaran nenek moyang, maka tahlil Tahlil merupakan varian wajib yang tidak bisa dipisahkan. Dari sini, kemudian saya punya definisi slangekan dengan frase ‘TAHLILAN YES, SALAT NO’. Frase ini adalah plesetan dari “ISLAM YES. PARPOL ISLAM NO”, yang pernah dipopulerkan oleh almarhum Intelektual Muslim Indonesia terkemuka, Nurkholis Madjid. Gagasan “Islam Yes, Parpol No” artinya dakwah Islam oke, kalau pilih partai Islam, tunggu dulu!

Dengan logika yang sama, ‘TAHLILAN YES, SALAT NO’, antithesis sekaligus ironi,bahwa betapa sebuah tahlilan itu, bisa dimaknai sebagai sebuah kewajiban yang super wajib. Sehingga tidak mengherankan, jumlah peserta yang hadir pada setiap acara “RITUAL RUWAHAN” itu pesertanya membludak sampai meluber ke emperan rumah, bahkan sampai ke badan jalan.

Acara ini semakin heboh, bila tuan rumah (shahibul bait) adalah tokoh masyarakat atau golongan the have. Jangan tanya jenis makanan apa yang akan disajikan. Prasmanan adalah menu wajib yang harus disediakan. Yang namanya prasmanan itu, tentu saja akan mengundang decak lidah ini menetes perlahan. Dari radius sekian meter dari arena berpuji tahlil ria, aneka aroma kuliner meruap masuk memenuhi indra penciuman masing-masing jamaah.

Acara belum dimulai, terkadang para jamaah sudah KLENGER duluan. Sehingga niatan awal untuk berpuji tahlil pun berubah haluan 180 derajat menjadi pesta kuliner. Sebenarnya dengan itu, sebuah prosesi kemubaziran sedang didemonstrasikan.

Sebuah kemubaziran itu, boleh jadi akan menjadi akses syetan dalam mengintervensi sebuah acara, yang semula acara diniatkan untuk mengagungkan asma Allah berubah menjadi acara rendah yang menjijikkan, yang hanya memuja syahwat, nafsu makan semata.

“Monggo-monggo dirahabi dahar-e” (mari-mari mulai –dikenyangkan- perutnya)

Begitu, kata-kata selanjutnya yang biasa diucapkan oleh seorang imam puji tahlil benama pak Kaum atau pak Rois. Biasanya, ucapan itu disampaikan oleh pak Kaum sebelum atau sesudah acara tahlilan dimulai. Tergantung mood dari masing-masing tuan rumah berdasarkan kesepakatan bersama (semacam MoU) antara pak kaum dan si tuan rumah itu sendiri.

Apakah menyegerakan atau mengakhirkan acara pesta kuliner itu sebelum atau sesudah berpuji tahlil, tidak menyalahi aturan main yang kemudian disebut dengan BID’AH?

Minggu, 10 Juli 2011

Ritual Ruwahan [4-Tamat]

Kedua: ia tipe seorang wanita atau ibu atau nenek yang loman, mudah memberi. Ketika ia memiliki satu permen, maka si mamak akan membaginya menjadi dua, dengan diameter yang sama ukuran dan sama rasanya. Hal itu biasa ia lakukan, bila dihadapannya ada dua kurcaci. Satu keping permin yang sudah terbagi — mungkin demi keadilan sosial sesuai sila ke-5 dari Pancasila — untuk kurcaci bernama Abi, anak saya yang berusia 3,5 tahun. Selebihnya, untuk si kurcaci lain bernama Alil, cucu si mamak sendiri yang berusia 2,5 tahun. Justice for all dalam skala mikro ini menciptakan sebuah harmoni kehidupan sekaligus keharuan spiritual.

Ketiga: perkawinan dua karakater antara semranak dan loman itu menghasilkan keutuhan pribadi seorang perempuan Jawa yang sangat menjujung tinggi nilai-nilai budaya ketimuran, sebuah nilai budaya warisan nenek moyang yang konon sangat adi luhur. Dari rahim perkawinan itu lahir-lah, apa yang disebut dengan istilah “menjaga tradisi”. Dan menjaga tradisi itu — sekali lagi —sebut saja dengan istilah “RITUAL RUWAHAN”.

****

Setahun yang lalu, ketika saya belum tertular virus mematikan yang kemudian saya sebut dengan virus MTA (Majlis Tafsir Al-Qur’an), saya adalah jamaah aktif di majlis dzikir Ruwahan itu. Pada saat itu, saya adalah kerbau dicocok hidungnya. Rhok-rhok asem, rubuh gedang, anut grubyuk, dan entah apa lagi istilahnya.
Pada konteks itu, saya juga tuhu marang guru (baca: sami’na wa atho’na) atas ocehan sang imam — kosa kata versi kampung disebut Pak Kaum. Dalam “RITUAL RUWAHAN” ini, kata pak Kaum, ada tiga manfaat (pahala) yang diraih. Pertama, pahala silaturahim. Kedua, pahala kirim do’a atau transfer pahala atas orang tua atau para leluhur. Ketiga, pahala membaca bacaan tahlil, tahmid, takbir yang terangkum dalam bingkai tahlilan atau puji tahlil.

Di luar tiga pahala yang saya sebut di atas, ada satu manfaat/pahala langsung (baca: bonus instant) yakni dapat satu paket snak dan satu gelas teh hangat. Yang ini tambahan versi saya, lho. Di luar itu juga, bila dewi fortuna sedang berbaik hati, ada bonus tambahan dari tuan rumah, yakni berupa makam malam gratis dengan segala kemewahannya.

Kemewahan yang sedang saya sebut itu, minimal ada lauk pauk berupa sebuah paha ayam goreng utuh menemani gundukan nasi putih yang masih hangat binti kebul-kebul itu. Krupuk udang, yang apabila digigit menimbulkan sensasi rasa kriuk-kriuk. Yang dengan cita rasa itu, ada semacam sensasi lain yang disebut dengan numani.

Apa itu NUNAMI?

NUNAMI adalah kata benda atau tepatnya kata sifat yang mirip-miriplah dengan apa yang saya sebut zat adiktif. Zat adiktif ini, yang konon hanya ada pada sebatang rokok, sabu-sabu, pil ekstasi, minuman beralkohol, dan lainnya. Di luar zat adiktif itu, ada zat adiktif lain yang satu tingkat lebih berbahaya. Triple-TA nama zat berbahaya itu. Triple-TA bisa saya sebut juga dengan trilogy godaan duniawi. TA pertama adalah HARTA. TA kedua adalah WANITA. TA ketiga adalah TAHTA. Penyebutan Triple-TA boleh acak (random) tidak mesti urut. Tergantung selera, minat dan niat.



Tamat

Sabtu, 09 Juli 2011

Ritual Ruwahan [3]

Honestly, saya akui bahwa saya sedang melarikan diri dari hajatan “RITUAL RUWAHAN”. Tapi, yang ini demi sekeping hati, tempat bersemayamnya iman itu. Pada saat bersamaan, saya memang pada tiap malam Rabu, ada acara ngajar privat Iqro’ dengan seorang warga MTA yang punya militansi belajar sangat tinggi. Rasanya saya sangat berdosa bila semangat yang sedang membuncah itu redup oleh ulah saya yang tidak disiplin dalam mengajar. Maka, jadilah sekali dayung dua tiga pulau terlampau.

Berada pada radius satu kilometer pada zona nyaman (comfort zone) event “RITUAL RUWAHAN”, kedamaian itu tiba-tiba menelup masuk ke relung-relung hati ini. Sebuah sapaan lembut keluar dari bibir Pak Prapto, warga MTA yang akan belajar Iqro’.

Tetes peluh kelelahan akibat dari casting dadakan yang barusan saya perankan dalam adegan penyelematan iman, mendadak sirna, ketika mulai baca surat Al-Fatihah. Aura mistis getaran tujuh ayat yang diulang-ulang, minimal tujuh belas kali dalam setiap salat ini, betul-betul setetes air di tengah padang gurun Sahara.

Sementara pada saat yang sama, di suatu majlis dzikir puji tahlil bernama “RITUAL RUWAHAN”, nama saya menjadi topic pembicaraan hangat di antara bibir-bibir para jamaah. Di antara mulut-mulut mengunyah gorengan dan denting-denting gelas teh disruput itu, nama saya adalah nama wajib yang dimakan berasama-sama. Nama saya menjadi kacang goreng untuk dikuliti sebgai abahan rerasan yang sangat euunak banget menemani kehangatan kumpul bareng warga itu.

Alhamdulillah, saya ucap kalimat pujian ini berkali-kali sebagai wujud syukur. Upaya penyelamatan sebuah benda tak terlihat tapi sangat bisa dirasakan ini (baca: IMAN) untuk tahap pertama berhasil dengan gemilang saya lakukan. Apalah artinya ban bocor, dua lubang lagi, dibandingkan dengan nilai kebocoran iman yang suatu saat akan berakibat lebih fatal.

****

Kembali kepada bunyi sms dari istri saya di atas. “Hari ini Ruwahan di rumah Mamak.” Ada kata Mamak di situ. Sebutan kata ini lebih dititik beratkan kepada hubungan emosional hubungan bertetangga. Ia, Mamak itu, sama sekali tidak hubungan darah antara keluarga saya dengan orang yang saya sebut dengan Mamak tadi.

Baiklah kalau begitu, sedikit akan saya jelaskan apa itu arti Mamak, kata lain dari hidup bertentangga dalam sebuah komunitas di sebuah kampung.

Mamak adalah tetangga depan rumah saya, yang saya anggap seperti orang tua saya sendiri. Usianya, mungkin di atas 50 tahunan. Penganggapan seperti orang tua sendiri, ini berdasarkan tiga kriteria. Pertama: ia semranak kepada siapa saja, termasuk keluarga saya. Dalam kata semranak itu, ada satu suku kata yang yang fundamental: ketulusan. Kata lain dari ikhlas, yang dengan itu, ikatan emosional itu bisa terjalin erat, seperti prangko dan amplopnya.

Bersambung ...

Jumat, 08 Juli 2011

Ritual Ruwahan [2]

Pada detik selanjutnya, saya bisa membayangkan, betapa jamaah “RITUAL RUWAHAN” dengan prosentase 90% beragama Islam itu akan saling bersitatap, dan dari ber-face to face antara jamaah itu, timbul-lah sebuah tanya lalu menghukumi dan menghakimi saya: mana si Zam kok nggak nongol. Masak dekat rumah, kok nggak datang. Ora duwe rasa pakewuh babar pisan. Wong Edan, Ora duwe Isin. De El El.

Konspirasi kebaikan yang saya rancang khusus dengan istri, rupanya tidak berjalan mulus, tidak semulus yang saya bayangkan. Game is not over yet. Permainan belum selesai. Motor buntut saya ternyata mencium bau bersekongkolan itu. Kuda besi made in Japan yang begitu berjasa menemani kemana saya pergi ini, ternyata mewakili konspirasi lain yang ujug-ujug saja berkhianat. Peran pengkhiatan ini semakin nyata dengan bocornya ban belakang, yang kayaknya baru dua hari yang lalu saya tambalkan.

Waduh… alamat apa ini!

Setengah jam sebelum bedug magrib bertalu-talu, saya mencoba berkompromi dengan cara memompanya. Sambil berbisik dalam hati, Ooo…, inilah harga keimanan yang harus saya bayar mahal. Lima belas menit kemudian, ban kempes lagi. Ini artinya, ban motor saya benar-benar bocor, dan itu bermakna harus ditambal. Merasa sudah kalah, dan tidak ada kata kompromi lagi, ban saya pompa lagi. Detik berikutnya, motor saya larikan seperti mengejar setan.

Ditengah mengejar setan itu, ada rasa puas di sana. Karena saya sudah keluar dari radius berbahaya titik nol kilometer pusat “RITUAL RUWAHAN”, di mana shahibul bait atawa tuan rumah ritual itu lokasinya persis di depan rumah saya. Keluar dari ikatan jerat jaring laba-laba episode penyelamatan iman, sungguh suatu peristiwa yang mendebarkan. Sebuah peristiwa langka, di mana setahun yang lalu, tidak termaktub dalam teks skenario otak kiri dan otak kanan kepala ini.

Sebuah pelarian memang selalu memakan korban. Setan yang saya kejar itu, ternyata membawa dampak buruk. Sangat boleh jadi saya tadi lupa bahwa di tengah kesetanan saya melarikan motor itu, saya tidak tahu kalau motor saya lagi bocor. Boleh jadi di tengah asyik-asyiknya bermain dengan setan itu, ban yang mestinya bocor satu, sekarang menjadi dua.

Benar, apa kata pepatah (atau sabda nabi, ya), bahwa grusa-grusu atawa kemrungsung atawa tidak sabaran itu bagian terpenting dakwah setan dalam rangka menyetankan manusia. Maka jadilah saya setan saat itu, dengan mengorbankan ban motor saya yang seharusnya bocor satu, tapi Alhamdulillah jadi dua. Lubang terakhir inilah, bonus dari Allah — sebuah upaya berkhusnudhon, berbaik sangka, ber-positive thinking terhadap apa saja ketentuan (takdir) Sang Penguasa 7 lapis langit 7 lapis bumi itu.

Bersambung....

Kamis, 07 Juli 2011

Ritual Ruwahan [1]

Hari ini Ruwahan di rumah Mamak.
SMS dari istri saya.

Dalam teori konspirasi, saya sebut sms istri saya di atas sebagai sebuah kata sandi atau pass word dari apa yang saya sebut sebagai pengingkaran hukum gravitasi di tengah kampung yang lagi super sibuk dengan acara “RITUAL RUWAHAN”. Sebuah acara yang digelar setahun sekali untuk menghadapi bulan suci Ramadhan. Ruwahan berasal dari kata Ruwah — yang dalam kalender Hijriah disebut dengan bulan Sya’ban.
“RITUAL RUWAHAN” diadakan door to door, keliling dari rumah ke rumah. Maksud dan tujuan acara ini adalah sebagai ajang birul walidain, ngebekti dumeteng roh orang tua atau leluhur, dengan mengirim do’a berupa puji tahlil.

Dengan membaca sms itu, artinya saya jadi paham. Seratus persen paham. Bahwa saya sedang merencankan sebuah konspirasi, yang dengan istilah konspirasi itu sendiri sebenarnya mengandung makna lebih kepada makna jahat. Taruhlah semacam persekongkolan kejahatan atau kebusukan. Tapi, kali ini konteksnya menjadi berbalik 180%. Demi sebuah kebaikan akan hakekat iman yang barusan beranjak naik ke pelaminan: pengantin baru.

Dengan itu, saya punya seribu satu alasan untuk tidak ‘go home’ tidak tepat waktu waktu, on time, pada pukul empat lebih tiga puluh menit sore. Saya perlu menunda kepulangan untuk beberapa jam agar kelihatan sok sibuk. Di luar itu, agar saya tidak terantuk pada sebuah batu bernama “RITUAL RUWAHAN”

Saya betul-betul harus menghindari acara tahunan menyambut bulan Suci Ramadhan itu, dan memastikan betul-betul acara itu rampung. Betul-betul sepi nyenyet, tidak ada satu ekor manusia pun di depan rumah itu. Minimal di atas jam 9-an, saya baru boleh pulang. Upaya ini sepertinya lebih mirip sebagai upaya agen spionase yang menyelinap masuk ke benteng pertahanan lawan.

Tapi grand design itu lenyap seketika. Upaya wanti-wanti kepada istri untuk mencuri informasi: di rumah siapa “RITUAL RUWAHAN” malam ini digelar, hancur sudah. Karena apa? Karena sms dari istri itu baru terbaca setelah pulang lalu duduk manis menemani anak-anak bermain di rumah. Dan tragisnya, terlihat jelas, begitu ceto welo-welo, betapa sepasang mata saya ini menyaksikan detik-detik sebuah prosesi evakuasi seperangkat mebel milik sang Mamak, si tetangga depan rumah itu, seperti menyaksikan sebuah prosesi penggusuran rumah atas sengketa tanah yang disiarkan stasiun TV secara langsung (live), benar-benar real time.

Meja, kursi, rak TV, lengkap dengan segala barang-barang yang menjadi penduduk tetap di rumah itu, sudah benar-benar hijrah dari satu tempat ke tempat lain. Dan tempat lain itu adalah samping teras rumah. Itu artinya, rumah itu sudah benar benar kosong. Dua jam dari sekarang, maksudnya setelah jam delapan malam habis Isya, rumah itu benar-benar akan digunakan untuk sebuah tempat acara “RITUAL RUWAHAN”.

Bersambung ....

Rabu, 06 Juli 2011

MENDEKATI PUSAT GEMPA [2-tamat]

Kalau Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, namanya identik dengan wajah fundamentalis Islam Indonesia. Sosok bersurban dengan jenggot dibiarkan memanjang ini dalam beberapa bulan terakhir ini, kembali menjadi sorotan media, yang dianggap memiliki keterkaitan dengan jaringan organisasi Jamaah Islamiyah. Sebuah organisasi Islam ‘garis keras’ atau tepatnya teroris yang didakwa berada di balik peristiwa-peristiwa peledakan bom di sejumlah wilayah di tanah air dan kawasan Asia Tenggara.

Benarkah sosok yang selalu lekat dengan terorisme ini mau meledakkan Kota Solo?

Kalau Joko Widodo? Dia-Iah Walikota Solo yang berhasil memindahkan pedagang kaki lima (PKL) di pinggir jalan ke kompleks kios modern tanpa menimbulkan konflik. Di bawah kepemimpian Jokowi, panggilan akrab orang nomor satu di Kota Solo yang dilantik pada tahun 2005 ini telah membuat satu gebrakan, yang sulit disamai bahkan oleh kota semaju Jakarta sekalipun.

Benarkah Jokowi, si juragan mebel ini berani meledakkan Kota Solo?

Ahmad Sukino. Sosok yang lebih sering di panggil Al-Ustadz ini, hampir dapat dipastikan sangat jarang orang mengenalnya. Andai mau membanding dengan keempat sosok di atas, namanya hampir tenggelam dan tak diperhitungkan. Kalau toh ada yang mengenalnya, pasti sebagian dari mereka akan mencibirnya dengan sinis, seperti seorang anonim yang saya kutip melalui http://www.thmoyo.com, sebuah situs milik warga MTA yang saya unduh per tanggal 17 Desember 2010.

 “Sukino kok jenengan padakne jeng nabi. 
Jeng nabi itu menyampaikan kebenaran 
sedang Sukino menyampaikan ketidakjelasan.”

Tak berbeda dengan sosok almarhum Gesang, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir atau Didi Kempot, Joko Widodo, dan Al-Ustadz Drs. Ahmad Sukino adalah sama-sama lahir dari rahim kota Solo dengan julukan kota suhu pendek itu. Akan tetapi bagi warga Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA), sosok sederhana yang memiliki gaya bicara santun dan runut saat memaparkan ide-ide ‘Indonesia Go Qur’anic’ dalam kehidupan sehari-hari ini adalah sosok “the most wanted” untuk setiap butir ledakan tausiyahnya.

Al-Ustadz Drs. Ahmad Sukino adalah nama lain dari sosok yang fenomenal sekaligus Kontroversial. Lewat ajakan yang mengusung ‘Guide You Back To The Right Track’ ini, MTA melaju dan berkembang pesat mewarnai langgam dakwah ke seluruh pelosok tanah air.

Melalui kebersamaan dan kesatuan hati (one heart) dalam menguatkan dan mengupayakan usaha dakwah tanpa mengenal lelah, sampai saat ini, MTA telah memiliki lebih dari 51 perwakilan dan lebih dari 230 cabang yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

Pendekatan dakwah yang dilakukan adalah pendekatan dari hati ke hati. Perkembangan MTA betul-betul dimulai dari bawah. Atas permintaan warga masyarakat untuk mengadakan pengajian rutin. Dari situ lalu berkembang dan merasa mantap akan kebenaran ajaran yang dikaji. Pada tahap berikutnya, mereka mengajukan permohonan untuk menjadi bagian dari keluarga besar MTA. Permohonan ini baru dikabulkan kalau para warga atau siswa setempat telah dinilai oleh Pimpinan Pusat membuktikan kesungguhan mereka dalam mengamalkan Al Qur'an dan As Sunnah dalam kehidupan sehari-hari.

Mau lihat bagaimana ledakan demi ledakan bom yang mengguncang itu, yang ngowah-ngowahi adat itu, yang ora umume wong itu?

Datang dan nikmati suara ledakan bom itu dalam acara JIHAD PAGI, di jalan Serayu No. 12, Semanggi 06/15 Pasar Kliwon, Solo.

Tamat

Selasa, 05 Juli 2011

MENDEKATI PUSAT GEMPA [1]

Pada hari Selasa, 4 April 2011 lalu, pukul 03:06 WIB, gempa berkekuatan 7,1 SR kembali mengguncang bumi Mataram. Pusat gempa di kedalaman 10 km ini, berada 293 km Barat Daya Cilacap atau 10.01 LS dan 107.69 BT. Getaran gempa dapat dirasakan pula di Jakarta, Kebumen, Purworejo, Denpasar, Bandung dan Bogor [1] .

Sebuah gempa dengan kekuatan yang nyaris sama, juga sedang terjadi setiap hari Ahad,  di sebuah jantung Kota Solo. Tepatnya di lantai 2 sebuah gedung bernama Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA), di jalan Serayu No. 12, Semanggi 06/15 Pasar Kliwon, Solo.

Dari gedung berlantai empat inilah, resonansi gempa merambat pelan tapi pasti melalui gempa susulan yang disiarkan secara langsung oleh dua radio, MTA-FM dan Persada-FM. Tingkat guncangan melaui dua radio ini, bisa menjangkau wilayah-wilayah eks karisedenan Surakarta seperti Kabupaten Boyolali, Sragen, Karanganyar, Klaten, Wonogiri, Sukoharjo dan Kodya Surakarta sampai sebagian wilayah Semarang selatan, Gunung kidul, Pacitan, Bojonegoro, Ponorogo, Ngawi, Blora, Purwadadi, Cepu, Rembang dan Tuban.

Bahkan sekarang, gempa itu juga mengguncang dan mengalir sampai jauh ke luar negeri. Guncangan itu bisa terendus, tentu saja, pencapaian itu bisa ditembus melalui teknologi internet: “live streaming”.

Gempa yang biasanya dimulai tepat pukul 08:00 itu, tidak membuat banyak orang takut, untuk berlari menghindarinya atau menjauhi lokasi gempa itu. Ini ajaib, lebih dari enam ribu pengunjung atau jamaah setiap pekannya dengan antusiasme yang tinggi, dengan rela hati, mendekati titik nol di mana lokasi gempa itu digetarkan.

Anehnya, gempa yang meledak di tengah siang hari bolong itu, tidak menimbulkan korban luka-luka atau pun meninggal. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya. Mereka yang menghadiri lokasi gempa itu semakin khusuk dan nyaman di tengah guncangan gempa itu, sampai frekuensi getaran gempa itu selesai bergolak dengan durasi waktu kurang lebih 3 jam kemudian.Ya, tepat jam 11.00 wib jelang salat Dhuhur..

Tahukah Anda, apakah nama BOM yang mengguncang  Kota Solo itu?

Mari saya bantu menelusuri jejak BOM itu. Sebelumnya, mari kita ngobrol-ngobrol tentang Kota Solo. Berbicara tentang kota ini, artinya berbicara juga tentang nama-nama besar berikut ini: Gesang, Didi Kempot, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir atau Joko Widodo. Keempat sosok ini, pasti semua orang tahu di luar kepala.

Almarhum Gesang adalah pencipta lagu Bengawan Solo. Lewat lirik lagunya yang mengalun lembut, mengalir sampai jauh. Tidak hanya mengaliri tanah tumpah darahnya sendiri: INDONESIA, yang kemudian mengharumkannya. Akan tetapi, mengalir sampai jauh ke negeri Sakura, Jepang bahkan sampai jauh nun di sana, di negeri Paman Sam, Amerika Serikat.

Benarkah Gesang hidup kembali, lantas gentayangan ‘tuk meledakkan Kota Solo?

Didi Kempot, bagi yang “gila” campursari pasti mengenalnya. Adik kandung pelawak beken Mamik Prakosa ini, lewat lagu “Stasiun Balapan” yang menjadi hit di negeri ini sekaligus menjadi lagu wajib di sebuah negeri seberang, Suriname.

Benarkah Didi Kempot, si gondrong ini  yang meledakkan Kota Solo?

[1] Kedaulatan Rakyat, Selasa Pon, 5 April 2011. (Hal-1)

[Bersambung....]

Senin, 04 Juli 2011

Beda Itu Nikmat [2-tamat]

Semua orang pasti pernah merasakan masakan khas Indonesia yang satu ini. Gado-gado merupakan masakan berbumbu kuah kacang yang terbuat dari berbagai macam sayuran, ditambahkan kentang dan ketupat, kemudian dicampur menjadi satu. Masakan ini banyak digandrungi oleh berbagai kalangan karena rasanya yang unik.

Rasanya yang unik, merupakan kekhasan Gado-gado. Bayangkan dari sekian banyak bahan yang dicampurkan ke dalamnya, tidak ada satupun bahan yang bisa mempertahankan rasanya masing-masing. Rasa kentang sudah berubah, rasa sayuran sudah berubah, rasa tomat sudah berubah, dan rasa ketupat pun ikut berubah. Semua menjadi satu rasa, yaitu rasa gado-gado.
Rasa boleh berubah, namun wujud makanan tetap sama. Itulah satu-satunya cara membedakan antara bahan makanan satu dengan bahan makanan lainnya. Sehingga, kita masih bisa menyebutnya “Kita makan kentang!”,”Kita makan tomat!”,”Aku pesan bakwannya dua!”, walaupun tanpa menyadarinya, kita sudah tidak lagi makan kentang dengan rasa kentang, atau makan tomat dengan rasa tomat, apalagi bakwan dengan rasa bakwan. Semua bahan seolah-olah menyatu menjadi satu.

Seharusnya, negara Indonesia perlu mencontoh masakan Gado-gado, Walaupun berbeda-beda, namun tetap satu. Tidak seharusnya tiap budaya ingin menonjolkan “rasa-nya” masing-masing, sebab semua “bahan” apabila sudah dicampurkan dalam sebuah piring negara kesatuan, harus mau merelakan “rasa” masing-masing, agar mampu membentuk rasa baru yang jauh lebih mantap.
Ironisnya, negara yang juga di kenal sebagai negara ‘Bhineka Tunggal Eka’, di era reformasi ini polemik atau lebih tepatnya gesekan kepentingan atas nama ideologi, agama, politik dan lain-lain, bukan lagi dianggap sebagai makanan gado-gado yang memperlezat sebuah hidangan makanan, tapi sebaliknya justru menjadikan makanan bernama Indonesia sebagai negara penuh prahara, koflik, dan amuk masa yang tiada ada ujung pangkalnya, terutama elit politik kita.

Feonomena ini juga terjadi pada lembaga dakwah Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA), tidak hanya ada ranah hukum rimba off-line (alam nyata), tapi juga di ranah hukum rimba on-line (alam gaib). Untuk mengetahui polemik atau kontroversi MTA di tengah masyarakat, pada tulisan berikutnya akan saya sajikan cuplikan perkelahian online antara netizen yang pro dan kontra seputar polemik MTA.

Polemik yang terjadi di dunia maya (online), sangat boleh jadi mewakili keresahan masing-masing pihak. Dari aspirasi-aspirasi warga MTA maupun warga non MTA, kita bisa belajar dan mengambil hikmah bahwa perbedaan itu adalah rahmat.

Di tengah kontroversi itu, tentu di dalamnya tidak hanya ada amarah dan kecewa, tapi ada juga canda yang membuat kita betah untuk menyimak, lalu mengambil sekeping hikmah (blessing in disguise) yang tercecer di dalamnya.

Dari kepingan hikmah, saya berharap ada semacam insight (pencerahan) dari benturan peradaban itu. Pada titik ini, mari kita renungkan akan realitas lain dari perbedaan pendapat dari para netizen ini dengan logika sunnatulah dari sang Nabi kita, Muhammad SAW bahwa perbedaan diantara umatku adalah rahmat. Di dalam rahmat ada berkat (biasanya diperoleh setelah dari tahlilan/slametan, yang asal katanya dari berkah). Dan di dalam berkat ada nikmat. (Tamat)

Minggu, 03 Juli 2011

Beda Itu Nikmat [1]

Di tengah masyarakat kita, kebiasaan online barangkali belum jadi budaya yang populer. Hanya kalangan terbatas yang sudah akrab dengan media online, terutama kalangan muda yang dinamis dan lahir di era yang mengharuskan mereka bermain-main di internet.

Di media online ada sebuah istilah netizen-[1]. Makhluk apa itu? Secara harfiah netizen adalah penduduk atau pengguna internet aktif yang merupakan warga dunia lintas batas, baik teritori maupun budaya. Netizen adalah penduduk di dunia virtual, layaknya penduduk dunia physical, punya identitas kependudukan sipil (avatar, usename) punya rumah (hompage), punya kotak pos untuk surat menyurat (alamat e-mail) punya telepon (VoIp:Voice over Internet Protocol), bisa bepergiaan dari satu tempat ke tempat yang lain (pakai browser, apakah Firefox, Internet Explorer, Opera dan lain sebagainya)-[2].

Yang terjadi pada komunitas (atau lebih akrab disebut dengan warga) Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA), angka penetrasi penggunaan internet ternyata cukup tinggi. Dalam tulisan ini, untuk sekedar menyebut dua contoh homepage (situs pribadi) warga MTA, yakni warokkini.blogspot dan www.thmoyo.com.

Secara umum, dari pengamatan penulis, tingkat apresiasi terhadap suatu perbedaan dalam mengungkap isi hati para blogger itu, terlihat jelas bagaimana mereka mengekspresikan nilai dirinya, dan keberanian menyodorkan tafsir lain atas ekspresi subyektifnya di tengah realitas perbedaan itu sendiri. Simak penuturan para komentator berikut ini yang berdiri pada posisi netral: tidak ke MTA maupun yang kelompok lain, yang dicuplik dari situs www.thmoyo.com

“Musuh orang Islam itu hanya ada 2, yaitu kebodohan dan kemiskinan. Sayang sampai hari ini, masih ada kyai dan ustadz yang umatnya dikondisikan tetap bodoh, biar mereka mudah untuk diperdaya.”

Sebagai gambaran, betapa perbedaan itu adalah rahmat, penulis akan menggambarkan sebuah cerita kecil tentang negara kecil tapi indah (small is beautiful). Singapura. Sebuah negara yang menjadi tempat berlindung atau suaka politik paling aman bagi para koruptor, politikus busuk dari jerat hukum. Dari cerita ini, mudah-mudahan kita bisa melihat perbedaan itu dari kaca mata hikmah, bahwa sekali lagi perbedaan itu adalah rahmat bukan laknat.

Setiap kali makan gado-gado saya selalu teringat akan negara Singapura, negara tetangga kita, sebagai salah satu negara maju di Asia Tenggara dan di dunia. Negara tersebut merupakan negara yang terdiri dari berbagai macam etnis dunia, baik etnis Cina, India, Indonesia, Amerika, Australia, bahkan Negro. Keberadaan berbagai etnis tersebut tidak membuat Singapura kehilangan “rasa”. Namun, justru mampu menambah kekhasan “rasa” Singapura.

Keberagamana etnis tersebut hanya mampu dibedakan berdasarkan bentuk, bahasa dan warna yang mewakili kekhasan tiap etnis. Seperti gado-gado, keberagaman etnis tidak menjadi alasan bagi Singapura untuk berselisih, justru mampu menjadi suatu kesatuan “masakan” dengan citra “rasa’ yang unik. Bayangkan apabila semua “bahan” yang membentuk negara Singapura ingin menampilkan “rasa-nya” masing-masing, tentu akan terjadi perselisihan antar etnis tiada henti.

Catatan:
[1] Majalah Markeeter, Januari 2011
[2] Majalah Markeeter, November 2010

Besambung...

Sabtu, 02 Juli 2011

The Clash of Civilization [4-tamat]

Pada saat tertentu, bila keimanan sudah menguat — tidak fluktuatif lagi, the secret weapon itu akan dipertontonkan secara lebih menyolok mata. ‘No Smoking’ di tangan kiri dan ‘No Tahlil’ di tangan kanan. Alhasil, dari situ terbentuklah suatu garis merah menyala. Semacam ‘police line’, yang menandai suatu wilayah dengan garis batas yang sangat-sangat jelas. Tidak abu-abu. Mana halal mana haram. Mana daerah yang tidak boleh dikunjungi, mana daerah yang betul-betul terlarang untuk diamini.

Garis itu adalah harga mati bagi keimanan yang sudah lama ngaji di MTA. Garis itu jauh lebih sebagai sebuah upaya defensive atas serangan dari pihak lawan yang dengan sombong, dengan ketinggian ilmunya dan bangga mengusung ajaran lama, yang sering dilagukan dan dikumandangkan dengan istilah nyewu itu sebagai tradisi baik, sebagai bid’ah hasanah. (nyewu untuk menyebut salah satu contoh saja).

Ditengan laga premium pertarungan tidak seimbang itu, warga MTA adalah korban bulan-bulanan, kambing hitam, dan pecundang. Ibarat pertandingan sepak bola, satu lawan seratus. Satu untuk warga MTA, seratus untuk warga kampung dengan aksesori persenjataan lengkap dengan pak Kaum sebagai kapten kesebelasannya.

Saya katakan aksesori persenjataan lengkap, karena mereka adalah kaum mayoritas, duduk pada posisi yang sudah nyaman (comfort zone) di tengah masyarakatnya. Mereka adalah pak kapten bernama Den Kaum-e itu. Di dalamnya juga termasuk aparat desa dengan pelenggah dan pelungguh yang dikenal sakti dengan fasilitas kemudahan, berupa kekayaan dan uba rampe kekuasaannya. Di dalamnya juga ada, tentu saja, seorang ustadz dengan level kyai, dan jangan lupa dengan segala tumpukan kitab kuningnya sebagai hujjah/argumentasi.

Nur Kholik Ridwan dalam bukunya ‘Islam Borjuis dan Islam Protelar’, Konstruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia, membagi masyarakat Islam menjadi dua kelompok. Kelompok pertama Islam Borjuis atau Islam Modern, yang diwakili ormas Muhammadiyah dengan basis kekuatan massanya ada di perkotaan. Kelompok kedua adalah Islam Proletar atau Islam tradisional, yang diwakili ormas Nahdlatul Ulama (NU) dengan basis kekuatan pengikutnya mayoritas ada di pedesaan.

Lalu dimankah posisi MTA berada? Saya menganalogikan atau tepatnya mengandaikan warga MTA cabang Blonotan ini lebih mirip apa yang disebut oleh Nur Kholik Ridwan diatas dengan kaum proletar. Penyebutan kaum proletar untuk warga MTA binaan Blonotan sama sekali bukan bermaksud untuk melecehkan, apalagi menghinakan warga minoritas yang sebagian besar berasal dari kalangan ‘wong ndeso’ ini. Sama sekali bukan.

Warga MTA yang mayoritas dari kalangan papa atau kaum proletar, secara logika semakin memarjinalkannya ke sudut-sudut kehidupan yang terasing. Tapi apakah dengan demikian, kondisi ini menyurutkan langkah-langkah para buruh tani, kuli bangunan, pegawai rendahan di sebuah instansi pemerintah maupun swasta ini menyerah?

Tidak! Sekali lagi tidak.

Mereka tetap berdiri kokoh. Ya, mereka yang disebut kaum proletar itu, kaum miskin itu tetap mempertahankah diri mereka dengan posisi kuda-kuda semampunya. Kadang sesekali mereka memberikan perlawanan. Tapi sia-sia. Meskipun serangan demi serangan dilancarkan sang lawan dengan segala atribut kesombongan dan ketinggian ilmunya.

Hitungan diatas kertas, warga MTA kalah sebelum berperang. Peperangan ini sepertinya sangat mirip dengan perang Badar. Lalu, di tengah keputusaasaan kaum muslimin menghadapi kaum Quraisy itu, berharap kepada siapakah orang kecil yang minoritas ini?

Ucapan kekasih Allah lima belas abad yang lalu berikut ini adalah satu-satu hiburan kaum proletar, ya warga MTA ini.
Dari Malik, Rasulullah SAW bersabda:
“Telah aku tinggalkan untukmu dua perkara,
kalian tidak akan tersesat selama
kamu berpegang kepada keduanya,
yaitu kitab Allah dan Sunnah nabinya.”
(Imam Malik Al-Muwaththa, 1395)

Tamat

Jumat, 01 Juli 2011

The Clash of Civilization [3]

Andai betul pertempuran itu terjadi, maka di tangan para warga kampung, boleh jadi sudah siap beragam senjata ditangan. Senjata itu bisa berupa, arit, linggis, pacul, palu, dan senjata apa adanya. Yang penting bisa untuk memukul orang yang dicap sebagai MTA. Dan yang lebih penting lagi, di dalam mulut-mulut para warga kampung itu sudah tertanam beberapa butir bom. Bom-bom itu siap diledakkan dari jarak yang sangat dekat dalam hitungan detik.

Bom-bom siap meledak dengan sejumlah caci makian, umpatan, dan sumpah serapah. Serpihan-serpihan bom itu beterbangan ke sana-kemari hingga membentuk dan mengkristal menjadi fakta dan fatwa baru bernama: MTA itu sesat, MTA itu....silakan tambahkan sendiri bentuk caci makian sesuka hatimu....karena aku tahu yang kau mau (ah..itu ‘kan iklan soft drink).

Di tempat lain, telah berdiri seorang diri di tengah kerumunan masa itu. Sosok itu berdiri gagah mematung. Dadanya bergetar, berdetak satu-satu, seperti menyembunyikan dan menahan ‘inner power’ berujud bara api kemarahan yang meletup-letup. Tidak ada senjata di tangan. Di dadanya hanya satu yang tertanam. Innallaha ma’ash shobirin, sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang sabar.

Sabar untuk apa?

Sabar untuk suatu maksud yang Akbar. Yang Akbar itu adalah meng-Akbar-kan yang Maha Akbar. Akbar itu sendiri adalah milik sang pemilik tunggal. Allahu Akbar.

Yang Akbar itu adalah jihad Akbar melawan hawa nafsunya sendiri. Dan “Jihad Akbar” tidak lain adalah sebuah istilah yang berasal dari sabda Nabi yang sangat fenomenal itu. Yang fenomenal itu adalah tatkala beliau hendak kembali ke Madinah sehabis memimpin sebuah pertempuran: “Aku baru saja kembali dari jihad kecil menuju Jihad akbar.”

Perlu dicatat di sini bahwa istilah-istilah berikut ini berasal dari satu akar kata yang sama: jihad (perang suci), mujahadah (pertempuran rohani), jahd (upaya sungguh-sungguh”) dan ijtihad (kerja keras). Secara bahasa, istilah kedua mengandung arti yang sama dengan yang pertama, hanya keadaan merupakan dua bentuk yang berbeda dari sebuah kata benda verbal.

Dalam istilah teknik Sufisme (William C. Chttick, 2001) mujahadah diartikan sebagai ‘praktik asketis” (riyadhah), yang menunjuk pada semua amalan yang dilakukan oleh seorang murid dalam rangka penyucian diri dan realisasi rohani. Sedangkan “jihad” menunjukkan pada perang suci melawan orang-orang kafir maupun adalah rohani dalam pengertian secara umum.

Dalam konteks MTA, jihad Akbar ini tentunya bukan perkelahian fisik, melainkan perang dingin yang memperebutkan sebuan lahan yang kemudian disebut ‘the right track’ itu. Sebuah doa yang sering dibaca dalam setiap solat: ihdinash shirathal mustaqim, tunjuki kami jalanyang lurus. Jalan yang lurus itu dengan kata lain adalah “The Right Track” yang senantiasa satu nada dan satu frekuensi dengan Al-Quran dan As-Sunnah.

Secara tidak terlihat mata, sebenarnya di tangan warga MTA ada dua senjata sekaligus perisai yang sering dipakai tameng dalam mempertahakan diri. Dua senjata itu adalah ‘No Smoking dan No Tahlil [NT+NS]’ yang berkobaran secara samar-samar (sirr) di tengah masyarakatnya. Akan tetapi di sudut hatinya yang paling dalam, the secret weapon (senjata rahasia = NT+NS) ini menjadi pembeda (furqon) di antara masyarakat pada umumnya.

Bersambung ....