Senin, 30 Mei 2011

KENALKAN: NAMANYA IBU SRI [1]

Sebuah kecantikan tidak hadir dengan sendirinya. Ia tidak berdiri sendiri sebagai “cantik” itu sendiri. Ia tidak tunggal. Ia memerlukan campur tangan orang lain. Sebuah cantik memerlukan bedak, gincu, sampo, sabun dan seperangkat alat kecantikan lainnya. Itu sebatas cantik fisik.

Tengok saja, misalnya, pada setiap ajang atau hajatan ratu-ratuan atau wajah sampul majalah wanita. Di sana, pada setiap kecantikan dan keanggunan yang terpancar pada wajah ratu-ratuan itu, pasti melibatkan banyak orang yang merupakan hasil kerja keras tim yang sibuk berkarya dibalik layar. Mereka adalah para tim penata rambut dan make up artist. Berkat mereka, seorang wanita yang sebelumnya terlihat biasa-biasa saja, akan menjelma menjadi seorang wanita yang hampir nyaris sempurna, dengan sentuhan artistik dari tangan-tangan kreatif itu.

Seorang Alexandra Gottardo, model dan presenter menyadari arti sebuah kecantikannya. Dengan predikat cantik itu, dia merelakan harga sebuah kecantiknya untuk sebuah nilai yang jauh dari arti cantik itu sendiri.
Harga cantik seorang Alex – demikian ia sering disapa – disandingkan secara horizontal, secara sama rata dan sama rendahnya, dengan anak-anak pengungsian di Atambua, Nusa Tengggara Timur. Ia, dalam derajat tertentu, memiliki sebuah ‘inner beauty’, yang bagi sebagian orang, termasuk di mata sutradara, juga saya, hanya melihat cantik secara fisik semata. Bahwa definsi cantik itu: putih kulitnya, mancung hidungnya, tinggi semampai, dan hitam lurus rambutnya.

Inner beauty dengan kata lain tidak egois, tidak mementingkan dirinya sendiri. Seorang Alexandra merelakan dirinya untuk menjadi seorang guru bagi anak-anak gembel itu dalam film Tanah Air Beta. Ia merelakan sebagian tubuh cantiknya untuk ditonton, menjadi santapan liar puluhan pasang mata anak-anak itu – juga guru-guru yang lain - untuk sebuah arti kata ‘senang’ sekaligus menyenangkan.

Aktualisasi kecantikan perempan ini tidak hanya berhenti sampai di situ, ya di film itu tentunya. Di luar film yang didapuk menjadi seorang guru, ia juga merelakan sebagian waktu untuk menjadi relawan — asal kata dari rela — bagi anak yang kurang beruntung dalam hal pendidikan. Ia rela meminjamkan waktu terbaiknya untuk sesuatu yang boleh jadi justru akan mengurangi bobot kecantikannya. Ditengah kepadatatan aktivitasnya, pastilah ia bergumul dengan anak-anak pengungsian itu. Seberkas titik sinar terik mentari akan melukai kulit putihnya. Dengan itu, satu sel kecantikannya akan berkurang. Tapi ia tak pedulikan itu.

Di belahan bumi yang lain, Hollywood, Amerika Serikat. Seorang aktris, Catherine Zeta-Jones, tak menduga akan mendapat vonis bipolar ketika memeriksakan diri ke Rumah Sakit Silver Hill Connecticut, Amerika Serikat. Penyakit mental ini ditandai dengan periode depsresi panjang bergantian dengan depresi ringan.

Perempuan yang masih terlihat cantik di usia 41 tahun ini tabah menerima kenyataan tersebut. Sebenarnya, menurut dia, ada jutaan penderita gangguan mental ini, tapi kebanyakan malu mengungkapkannya. “Semoga pengalaman saya mengahadapi bipolar akan meneguhkan orang yang menderita penyakit yang sama dan membuat mereka mencari bantuan,” ujarnya, seperti dikutip Tempo, 1/5/11.

Depresi Zeta-Jones disebabkan oleh kondisi suaminya, aktor Michael Douglas yang terkena penyakit kanker tenggorokan. Namun saat Douglas mulai pulih, Zeta-Jones tidak menyadari dirinya butuh bantuan untuk menghadapi depresi.

Ibu Sri, demikian saya sering menuliskan namanya pada secarik layar segi empat hp saya. Sembari menyebut namannya — Bu Sri — saya tidak berani membayangkan, apakah ibu kita ini secantik atau seanggun Alexandra Gottardo atau Catherine Zeta-Jones yang saya ceritakan di atas?

Ah, terlalu berlebihan (lebay) saya merekonstruksi pikiran telanjang ini untuk sebuah kata ‘cantik’ secara jasadiah. Kecantikan seorang ibu Sri mungkin tidak seangkatan, untuk tidak mengatakan (maaf ya bu!) selevel dengan dua selebritas itu. Akan tetapi saya menemukan cantik pada diri Ibu ini dengan definisi yang lain. Ia adalah ‘inner beauty’ dengan tingkat presisi (ketepatan) sebuah kecantikan dari sudut hati. Sebuah aura mistis yang lahir dari kedalaman hatinya, nun jauh di kedalaman samudera hatinya yang tak seorang pun yang tahu, kecuali Allah azza wa jalla.

Secara harfiah ‘inner beauty’ yang dimiliki Alexandra Gottardo dan Catherine Zeta-Jones, ternyata juga dimiliki oleh Ibu Sri. Kalau Alexandra Gottardo merelakan sebagian tubuh cantiknya dan waktunya untuk anak-anak gembel di pengungsian, ibu Sri juga punya ‘inner beauty’ yang sama, meski tidak sama persis. Ia juga merelakan sebagian waktunya untuk sebuah acara yang sama sekali tidak ada unsur ‘benefit’, sebuah sisi keuntungan finansial. Boleh jadi malah ia rugi. Berapa liter bensin-kah untuk sepeda motor sang bunda ini, yang dihabiskan untuk lima belas kilometer dalam perjalanan mencari ‘inner beauty’ di salon kajian kelompok itu?

Kalau Catherine Zeta-Jones menerima dengan tabah vonis dokter yang menyatakan dirinya mengidap penyakit bipolar. Ibu Sri juga memiliki ‘inner beauty’ yang sama. Ibu Sri dengan tabah juga menghadapi vonis dari dokter dengan karakter yang berbeda. Dokter itu bernama kebencian oleh mulut-mulut anggota masyarakat yang begitu benci dengan eksistensi Majlis Tafsir Al-Qura’n [MTA]. Ibu Sri sendirian menghadapi mulut-mulut itu. Kesendirian itu lah yang mempertegas ‘inner beauty’–nya semakin terlihat jelas. Semakin terlihat cantik, tidak oleh mata-mata telanjang, tapi oleh mata-mata yang difahamkan Allah dengan agama-Nya yang lurus, ihdinas sirathal mustaqim (QS-1:6).
Meluangkan waktu untuk orang lain seperti yang dilakukan Alexandra atau juga yang dilakukan Bu Sri, bisa terbaca dengan sangat jelas pada rumus ini: “Barangsiapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. (QS-2:245).

Pada kutipan rumus ini, yang dimaksud dengan ‘qordon hasana’ atau pinjaman yang baik, tidak lain adalah sebuah pinjaman yang kalau dikonversikan tidak harus berupa materi atau uang. Akan tetapi, bisa juga berwujud waktu yang dikorbankan untuk kepentingan orang lain. Lebih dari itu, untuk kepentingan agama, yang kemudian disebut jihad fisabilillah itu. Yang dengan itu, ‘inner beauty’ itu sendiri telah bekerja secara aktif. Mengeluarkan aura negatif sebagai pembakaran atas sel-sel aus yang akan merusak kecantikan “hati” itu sendiri. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar