Selasa, 24 Mei 2011

MTA: Yang Saya Tahu (4)

MTA yang saya tahu pada setiap acara peresmian cabang atau perwakilan MTA baru, adalah atmosfer yang demikian menyejukkan dan menyentuh hati. Sesuatu yang lain dari biasanya. Sesuatu yang sering terjadi sebagaimana jamaknya tablig akbar yang digelar di mana pun di seantero jagat Republik ini, selalu menunjukkan sebaliknya. Rusuh dan amburadul.
MTA yang saya tahu adalah atmosfer yang damai, yang tak lain adalah refleksi dari makna sejati dari majlis dzikir yang sebenar-benar majlis dzikir. Tidak merokok adalah dzikir itu sendiri. Tidak beranjak dari duduknya sebelum acara usai adalah dzikir itu sendiri. Tidak membuang sampah adalah dzikir sebenar-benar dzikir. Tampang para satgas yang tak menggertak itu wajah damai, ramah, dan murah senyum adalah juga untaian tasbih dzikir.Dan tablig akbar itu adalah dzikir itu sendiri dalam arti yang sebenarnya.
MTA adalah untaian butir-butir tasbih dzikir tablig akbar yang tertib itu adalah komposisi musik intrumentalia, dalam alunan nada tunggal mengagungkan asma Allah, melalui keberasamaan menegakkan dan meluruskan logika aqidah yang benar.
MTA yang saya tahu adalah ketika saya bersama lautan manusia yang memadati Gelora Olah Raga (GOR) Kabupaten Sragen, 15 Februari 2011 yang lalu. Langit terlihat mendung, bergulung-gulung, laksana burung-burung Ababil, memayungi tiga puluh ribuan jamaah dari berbagai macam kelas sosial-ekonomi yang berbeda, saat Al-Ustadz Drs. Ahmad Sukino naik mimbar untuk meyampaikan tausyiah. Gulungan itu seolah tangan-tangan raksasa yang memberi kehangatan dan kenyamanan atas berlangsungnya sebuah acara yang menggetarkan itu. Itulah invisible hand yang tak lain adalah nusratullah, pertolongan Allah. Sebuah bentuk intervensi Allah Azza wa Jalla dengan curahan dan cucuran rahmat dan hidayah-Nya atas dengungan lebah-lebah bernama komunitas atau warga Majlis Tafsir Al-Quran (MTA).
MTA yang saya tahu adalah ketika saya bertemu dengan seorang bapak bernama Zunaidan. Bapak satu anak ini adalah representasi salah satu wujud militansi warga MTA Blonotan, Piyungan, Bantul. Dari Pak Zunaidan pula saya tahu bahwa pintu surga itu adanya di Wonokromo. Sebuah kampung yang juga dikenal sebagai ‘kampung kyai’ (KH.Muhamad Fuad Riyadi, 2005), yang terletak di Kecamtan Pleret, Kabupaten Bantul.

Bersambung ke bag (5)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar