Selasa, 24 Mei 2011

MENGEMIS PADA PENGEMIS

Di sudut pasar Madinah Al-Munawaroh ada seorang pengemis Yahudi. Karena pengemis itu buta dan sudah tua maka ia hanya duduk saja menanti uluran tangan orang. Setiap hari apabila ada orang yang mendekati ia selalu menjelek-jelekan Nabi Muhammad. Ia memang benci dengan Rasulullah, sebab ia mengira Islam adalah agama yang salah.

“Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad. Dia orang gila, pembohong dan tukang sihir. Apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya.” Katanya setiap kali ada orang yang mendekatinya.
Walaupun Rasulullah tahu kejadian itu, Rasulullah tetap berlaku baik padanya. Setiap pagi Rasulullah SAW mendekatinya dengan membawa makanan. Tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu. Pengemis itu mengira Rasulullah adalah orang lain. Oleh sebab itu, setiap hari pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad.
Rasulullah SAW melakukan kebiasaan menyuapi pengemis itu setiap hari sepanjang hidupnya. Setelah kewafatan Rasulullah tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari Abubakar ra berkunjung ke rumah Aisyah rha. Abubakar ra adalah sahabat Rasulullah. Selain menjadi khalifah, beliau juga menjadi mertua Rasulullah. Sebab, Aisyah rha, putri Abubakar.
“Anakku adakah sunnah Rasulullah yang belum aku kerjakan” Abubakar bertanya kepada anaknya.

“Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah. Hampir tidak ada satu pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja.” Aisyah rha menjawab.

“Apa itu?”, Tanya Abubakar ra.

“Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana,” kata Aisyah rha.

Keesokan harinya, Abubakar ra pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abubakar ra mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar ra mulai menyuapi, si pengemis marah sambil berteriak.

“Siapa kamu?”

“Aku orang yang biasa,” Abubakar ra menjawab.

“Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku” jawab si pengemis buta itu.

“Apabila ia datang kepadaku tidak susah mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya setelah itu ia berikan padaku dengan dengan mulutnya sendiri,” pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abubakar ra tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu.
“Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya. Orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW.”

Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya. Ia tidak pernah memarahiku sedikitpun. Ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi. Ia begitu mulia.” Pengemis itu pun menangis. Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat dihadapan Abubakar ra.

****************************************

Judul cerita asli di atas adalah ‘Rasulullah dan Pengemis’, yang terdapat pada halaman 85 buku “Cerita Islami for Kids”, karangan KH Saifudin Mujtaba, Pustaka Marwa, Yogyakarta 2007.
Sengaja, saya tulis ulang cerita anak-anak tersebut. Ini, semata-mata, ada hikmah, iktibar dan kemiripan geneologis masalah, antara nasib Rasulullah SAW empat belas abad yang lalu dengan garis nasib para peluru (baca: warga MTA) hari-hari ini.

Saya menganalogikan pengemis buta dan tua itu sebagai masyarakat awam atau kelompok tertentu yang begitu membenci, antipati, dan sengit memusuhi warga MTA. Tapi, dengan penuh kesabaran, penuh kesetiaan, dan sikap mengalah untuk kebaikan, para pewaris nabi ini (baca:warga MTA) tetap duduk menemani masyarakatnya dan mendengarkan omelan, caci makian, dan umpatan mereka dengan tetap santun dan senyum sebagaimana pernah dilakoni Sang Nabi.

Setiap hari, ya setiap hari, sosok-sosok aneh yang di kampungnya sendiri dianggap sebagai kelompok minoritas ini, mulai saat ini dan itu dianggap pula sebagai tidak lumrah dalam hal srawung (bergaul).
“Srawung model apa itu” bisik tetangganya.
“Lha wong ana sripah, ora gelem kumpul melu tahlilan” bisik tetangga yang lain
“Wis ngowah-ngowahi adat, ora lumrahe wong, wong edan,” bisik tetangga yang lainnya lagi
Dialog interaktif seperti itu biasanya disiarkan langsung (real time) di channel-channel televisi lokal tak-bayar alias gratis. Channel-channnel itu terkoneksi secara otomatis dan live, dengan sistematis dan terencana, yang kemudian dinamakan dengan istilah dari mulut ke mulut (mouth to mouth) itu.

Acara itu biasa dipandu oleh seorang sukarelawan (volunteer) yang telah dituakan. Pengertian dituakan di sini bukan karena umurnya. Juga bukan karena ilmunya. Tapi karena hukum: asu gede menang kerahe. Siapa yang kuat dan keras suaranya, itulah pemenangnya.

Soal tempat, jangan pernah tanya. Di manapun tempat, asal ada tikar, segalanya bisa dimulai. Tempat acara siaran live bisa di gardu-gardu ronda, warung-warung, perempatan kampung, atau di manapun tempatnya. Asal masih layak memenuhi kriteria syarat dan syahnya sebuah tempat untuk menggelar sidang wakil rakyat ala parlemen jalanan itu.

Coba simak lagi penuturan, atau lebih tepatnya ‘dialog interaktif’ antara pengemis tua dan buta dengan sang Nabi kita berikut ini.

“Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad. Dia orang gila, pembohong dan tukang sihir. Apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya.”

Dengan kalimat yang sama tapi dengan sedikit improvisasi ala provokator menjadi begini kalimatnya:
“Wahai saudaraku jangan ‘ngaji’ di MTA. MTA itu kumpulan orang gila, kumpulan para pembohong dan kumpulan para pengamal ajaran sesat. Apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar