Selasa, 31 Mei 2011

Ada Geert Wilders di Purworejo (1)

Dalam sebuah wawancara dengan harian De Pers pertengahan Februari 2007, Geert Wilders mengatakan: ”Jika orang muslim hidup di Negeri Belanda, mereka harus menyobek dan membuang setengah dari isi Quran.” Katanya pula: “Jika Muhammad hidup di sini sekarang, saya akan usul agar dia diolesi ter dan ditempelai bulu ayam sebagai ekstrimis, lalu diusir…” (Catatan Pinggir, Goenawan Muhamad, Tempo 13/4/2008)

Siapakah Geert Wilders? Geert Wilders adalah pemimpin Partai Kebebasan (Partij voor de Vriheid — PVV) dari Negeri Kincir Angin, Belanda. Melalui tangan dingin Geert Wilders lahirlah Fitna. Sebuah film yang berdurasi 17 menit dan diisi lima kali pembacaan ayat Al-Qur’an kemudian ditutup dengan kesimpulan yang merupakan seruan: “stop Islamisasi, bela kebebasan kita.”

Geert Wilders bukan nama orang per orang, tapi bisa jadi ia adalah sistem berpikir (mindset) orang per orang berbasis kekuatan masa ditengah masyarakatnya. Warga MTA yang terkenal santun, suka budaya tertib, suka mengalah, tidak merokok, dan tidak pernah aeng-aeng (macam-macam) di depan mata mindset ala Geert Wilders akan berbalik seratus delapan puluh derajat menjadi begini: warga MTA adalah provokator dan teroris yang secara militan menghadang jamaah pengajian yang akan mengadakan yasinan dan tahlilan.
Masih dengan mindset yang sama, dengan karakter Geert Wilders, politisi muda Belanda ini juga hadir mengobok-obok warga MTA Blora. Di Blora, ada sekitar 57 warga MTA yang diusir dari rumah mereka. Tidak hanya diusir, warga MTA Blora juga dianiaya kelompok tertentu. Siapakah kelompok tertentu itu? Tak lain adalah personifikasi karakter Geert Wilders.

Sosok Geert Wilders dengan wajah yang berbeda tapi memiliki kesamaan karakter yang nyaris sama telah menjadi the trouble maker di tengah warga MTA Blora. Dia datang tidak hanya di Blora, tapi juga mampir ke Purworejo. Tidak hanya di Purworejo tapi juga mungkin akan mampir ke daerah-daerah lain atau ke manapun sampai ke ujung langit sekalipun. Si bugil (bule gila) itu akan senantiasa hadir di tengah-tengah kita, kita yang punya identitas dan status ktp MTA.
Dua puluh tahun yang lalu, Tempo edisi 25 Februari 1989, menulis: Belum pernah terjadi dalam sejarah, sebuah buku menimbulkan onar sedunia seperti The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan) yang ditulis Salman Rushdie. Orang Islam yang sudah membacanya tersinggung. Juga orang Islam yang belum membacanya. Menurut orang yang sudah membacanya: novel itu menghina Nabi Muhammad.
Maka murkalah Ayatullah Khomeini, pemimpin besar revolusi Iran. “Pembikin cerita seperti itu harus dihukum mati,” katanya. Dan ia menjanjikan hadiah US$ 2,6 juta kepada siapa saja yang bisa membunuh Salman Rushdie Sejak itu dia jadi pengarang yang harga kepalanya sangat mahal. Seorang warga Iran menaikkan hadiah menjadi US$ 5,2 juta.

Atas nama kebebasan bereskpresi, para intelektual, politikus, dan agamawan membakar amarah umat. Geert Wilders bukan orang pertama yang memancing kemarahan umat Islam. Sebelumnya ada sederet nama yang berhasil mengguncang dunia karena kartun, film, atau fiksi ciptaan mereka. Disamping Salman Rushdie dengan Ayat-ayat Setan, ada Kurt Westergaard dengan 12 kartun Nabi Muhammad yang di pajang di koran Denmark Jylland –Posten. Ada Theo van Gogh dengan Submission. Sebuah film yang berisi tentang kekerasan seksual yang dialami perempuan dalam masyarakat muslim dengan menunjukkan adegan menorehkan ayat Quran pada tubuh perempuan setengah telanjang.

Empat belas abad yang lalu, seorang lelaki yang pandai berbahasa Arab, seorang elit kafir Makkah dari trah darah biru keturunan ayah kandung nabi Muhammad SAW. Abu Lahab plus Abu Jahal namanya. Dia dengan terang-terangan melarang seorang hamba Allah, yang tak lain adalah keponakannya sendiri, Muhammad SAW, untuk bermunajat kepada Rabb-nya.(BERSAMBUNG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar