Sabtu, 28 Mei 2011

Lelaki dengan Bara Api di Tangan [2-habis]

Dua sosok itu adalah dua sisi dalam satu keping koin mata uang. Kehadirannya saling melengkapi. Antara kebaikan dan kejahatan selalu berjalan seiring.

Dan lahirnya beberapa cabang dan perwakilan di seluruh Indonesia tidak terlepas dari peran aktif jasa ‘kejahatan’ para fitnator yang men-switch on-kan kejahatan nya (baca: kebencian yang membabi-buat itu) menjadi kebaikan. Profesi fitnator (Fitnator berasal dari kata fitnah ditambah akhiran or, yang kurang lebih artinya: orang atau kumpulan orang yang berprofesi sebagai tukang fitnah. Penambahan dua digit/huruf –or pada fitnator bukan bermaksud sok ilmiah, tapi hanya sekedar gagah-gagahan saja, biar keren dan lebay (berlebihan). Fakta ini, bisa dilihat pada kata-kata, misalnya, proklamator, motivator, provokator, gladiator dll)
tentu saja tidak merugikan, justru malah semakin menguntungkan posisi MTA dalam mengambil hati umat Islam. Kenapa bisa demikian? Apa pasal?
Pasalnya. Menurut Al-Ustadz Drs. Ahmad Sukino, pimpinan pusat MTA, seperti dikutip dari kumpulan tanya jawab yang dipancarkan oleh Radio MTA-FM, yang kemudian sudah direkam dalam bentuk CD dan menjadi salah satu menu wajib santapan rohani seluruh warga MTA seluruh Indonesia, bahkan di luar MTA sendiri.

Para fitnator itu bolehlah sebagai freelance marketer (pemasar lepas). Para fitnator itu telah dengan sengaja merelakan dirinya sebagai volunteer (relawan) atau semacam marketer garda depan dalam mempromosikan, mengiklankan, dan memasarkan produk dakwah MTA di tengah masyarakatnya.

Kemasan produk dakwah negatif — mulai bunyi fitnah: MTA antek Yahudi, MTA sesat, MTA menghalalkan daging anjing, MTA didanai gerakan Wahabi, dan lain-lain. Sejumlah fitnah itu, dalam banyak melahirkan sejumlah sikap penasaran. Pada skala tertentu, kemudian membuka pintu kesadaran banyak orang untuk mengambil sikap. Sikap inilah, untuk kemudian bernama sebuah keputusan kecil untuk membuktikan dengan pembuktian terbalik: Benarkah MTA sesat? Benarkah MTA antek Yahudi? Benarkah MTA menghalalkan daging anjing? Dan tanya-tanya ‘kepenasaran’ kebenaran yang lainya menyangkut MTA.

Di antara sekian banyak warga MTA yang saat ini selalu aktif ‘ngaji’ MTA binaan Blonotan, sebagian diantaranya mengaku dengan bahasanya sendiri dengan kata-kata ini: ‘Islamnya setelah kumisan.’ Mungkin kurang lebih artinya, mengaku benar-benar berislam (beragama Islam), ya setelah ngaji di MTA ini.
Kisah perjuangan para ‘single fighter’ di tengah kampungnya sendiri ini, pada sisi paling ekstrim adalah sebuah upaya mempertahankan fundamentalisme dalam sikap keimanannya, yakni berupa pelurusan iman. Pada sisi gelap masa lalu, mereka adalah aktifis garda depan dalam berbagai kegiatan berbasis tradisi. Basis tradisi itu, sebut saja dengan istilah pengetan (peringatan) hari pertama, hari ketujuh, hari ke empat puluh, hari ke seratus, diteruskan sampai dengan hari ke seribu. (untuk mempermudah penyebutan, untuk yang selanjutnya saya singkat dengan istilah Satu,Tujuh, Empatpuluh, Seratus, Seribu = STESS)

Lahirnya kisah-kisah inspiratif pada bab “Kisah Para Peluru” adalah dari interaksi yang intensif, melalui serangkaian brainstorming penulis dengan para pemberani dalam ajang “kajian kelompok” yang diadakan tiap hari Sabtu.

Serpihan-serpihan duka, lara, dan nestapa mereka akan terbuang percuma dan mubadzir, bila tidak ada sebuah upaya merekam jejak mereka dalam sekeping tekad berbentuk tulisan ini.
Penelusuran jejak mereka, penulis berharap akan menjadi cermin bagi yang belum mengenal, lalu berusaha mengacungkan jari telunjuknya dan bertanya: siapa dan apa itu MTA.

Dari titik kesadaran ini, “Kisah Para Peluru.” yang akan pembaca temui pada bab beriktunya, tidak lain adalah sebentuk sedekah jihad bi hal. Sebuah ritus yang teramat pedih, dengan cara merelakan dirinya, dengan hati dan ikhlas; menyediakan dirinya sebagai martir, sebagai sansak hidup untuk digebuki, dijotos, dan dibokem mentah di forum-forum informal meeting non-MTA. Informal meeting non-MTA itu bisa berlangung real time (siaran langsung) di gardu ronda, di pojok warung, di rumah penduduk, atau di forum puji tahlil, atau bisa juga di masjid dan musholla. Setelah puas, mereka pun mengecap dan melabeli jidat para mujahid kelas kampung ini, sebagai orang yang NGOWAH-NGOWAI ADAT, ORA UMUME WONG dan seterusnya (tamat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar