Rabu, 25 Mei 2011

MTA: Yang Saya Tahu (5)

“Kowe ngaji neng Blonotan iku, entuk apa to le-le, neng Blonotan (maksudnya MTA binaan Blonnotan) iku apa ana kyai-ne?” rayu ibunda Pak Zunaidan, mencoba mengindoktrinasi putra kesayangannya ini, dengan harapan sang putra tidak ngaji lagi di Blonotan. Kemudian ibundanya meneruskan “Ngaji iku sing bener ora ning Blonotan, tapi sing luwih bener ya neng Wonokromo, sing akeh kyai-ne”
Pak Zunaidan adalah satu contoh, contoh lainnya adalah Doni. Doni adalah anak muda bernama ABG, yang saat ini duduk di bangku SMU. Doni bagi saya adalah mukjizat awal abad dua puluh satu. Jarang — untuk tidak mengatakan tidak ada — anak muda seusia Doni ini mau meluangkan waktu untuk sesuatu yang tidak ada passion khas anak muda. Gaya rambutnya biasa-biasa saja. Tidak dicat warna-warni apalagi dengan gaya rambut sedikit nyentrik ala David Beckam atau Kika, vokalis Slang lengkap dengan celana jins belel yang robek sana-sini. Tampilannya, juga biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Sesekali dia juga bicara tentang timnas dengan logo Garuda di dada yang menyulut kontroversi itu. Tentang Gonzales yang masuk Islam, pemain asing yang telah menjadi warga negara Indonesia. Dan obrolan khas anak muda lainnya.
Adalah Pak Parjan — ini satu contoh lagi, lelaki dengan bara api di tangan. Bapak satu anak ini adalah contoh kongkret paling ekstrem di ‘ajang uji nyali’ MTA Blonotan. Saya katakan paling esktrim, karena bapak yang paling banyak bertanya di forum pengajian MTA ini tidak tinggal (sekali lagi: tidak tinggal) di zona aman (the comfort zone) di sebuah kampung bernama Muhammadiyah 3-K. Muhammadiyah 3-K adalah 3 tempat legendaris yang terdiri dari Kauman, Karangkajen, dan Kotagede. 3-K ini merupakan basis kekuatan utama pergerakan Muhammadiyah. (Ahmad Adaby Darban, 2000). Dengan kata lain, kampung 3-K ini sudah bersih dari berbagai praktek keagamaan dan kegiatan budaya yang oleh Muhammadiyah dikategorikan sebagai perbuatan tahayul, bid’ah dan churafat (TBC movement, pen).
Pak Parjan tidak hidup di wilayah 3-K itu, akan tetapi dia hidup di tengah-tengah sebuah kampung dengan ‘bau anyir darah’ Tahayul, Bid’ah dan Churafat (TBC) yang sangat kental. Konsekuensi logis sekaligus resiko hidup di kampung yang letaknya hanya 3 kilometer arah selatan Kecamatan Piyungan ini. Pak Parjan — juga Pak Zunaidan, Doni, dan warga MTA lainnya, adalah seperti teks terbuka yang terbaca pada bunyi sebuah hadist, “Akan datang suatu masa, orang-orang yang berpegang teguh pada agamanya pada zaman tersebut laksana memegang bara api.” (HR. Tirmidzi)

Bersambung ke bag (6)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar