Sabtu, 21 Mei 2011

MTA: Yang Saya Tahu (2)

MTA yang saya tahu adalah pengajian tanpa ada ‘kitab kuning’ dengan ketebalan dan keangkeran huruf-huruf arab telanjang bulat di sana. Kemudian dikerangkeng dalam keangkuhan tembok dengan ketebalan tertentu bernama pesantren. Kitab kuning yang ada di MTA ternyata bernama brosur, selebaran berisi kutipan ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist sahih Bukhori-Muslim yang disusun secara sistematis. Disamping brosur, hal terpenting yang harus dibawa adalah seperangkat alat tulis: pulpen dan buku tulis beserta Al-Qur’an terjemahan yang disatukan dalam sebuah tas sederhana dalam berbagai bentuk dan ukuran. Ketiga instrument ini umumnya telah lusuh karena kebanyakan dipakai. Bagi yang tidak biasa, pemandangan ini terasa ganjil. Sepintas, mereka (warga MTA) ini, seperti petugas debt collector kelas kampung, yang nagih utang kepada para ibu di gang-gang sempit di pojok sebuah kampung. Isi tas debt collector (baca: bank plecit), jelas, berisikan buku tebal dengan daftar nama ibu-ibu yang ditagih hutangnya. Sementara, isi buku tulis yang sama tebalnya di tangan warga MTA berisi daftar urutan surat dan ayat tematik Al-Qur’an lengkap dengan catatan ustadz.
MTA yang saya tahu adalah seperti sedang membaca buku ‘Muslim Tanpa Masjid’ (Kuntowijoyo, 2001). Dari sini lahirlah generasi muslim baru yang sedang bermekaran dalam memahami Islam tidak dari sumber–sumber konvensional. Tapi, dari sumber-sumber anonim seperti internet, radio, MP3, audio-video, CD, VCD, televisi, kursus, ruang seminar, bulletin dan brosur.
MTA yang saya tahu adalah sebuah sekolah, sebuah madrasah, atau sebuah pesantren tanpa dinding. Semacam ‘school without wall’. Karena tanpa dinding itulah, saya jadi memahami bahwa di majlis pengajian ini, saya bisa duduk sama rata, juga sama rendah dengan pak polisi, pak guru, pak tani, pak buruh tani, pak pedagang, dengan status sosial yang berbeda. Dengan cara seperti itu, saya bisa merasakan betapa indahnya kehangatan emosional di antara jamaah. Tidak seperti sering terlihat di televisi pada acara peringatan hari besar Islam, misalnya, di masjid Istiqlal. Untuk shaf pertama adalah barisan para pejabat tinggi, para elite politik, dan para bangsawan ahli agama.
MTA yang saya tahu adalah sebuah metode bagaimana saya bisa berinteraksi dengan rumus-rumus Tuhan bernama Al-Qur’an itu secara lebih intens dan lebih mesra, layaknya mambaca surat cinta dari sang kekasih yang lagi mabuk asmara. Kemudian, saya menjadi lebih faham dan lebih tahu, surat Yasin itu surat ke berapa dan Ayat Kursi itu ada pada surat apa. Dua hal tadi — surat Yasin dan ayat Kursi — di kalangan tertentu adalah sesuatu yang wajib dibaca pada malam Jum’at — mau Wage, Pon, Kliwon, Legi, dan Pahing, monggo… silakan.

Bersambung ke bag (3)

2 komentar:

  1. bagai baca novel pak, tapi asyik juga, indah bahasanya, sederhana, mudah dipahami, dan mengalir deras.....

    BalasHapus