Rabu, 01 Juni 2011

Ada Geert Wilders di Purworejo (2-habis)

Zaman berganti, karakter Abu Jahal tak pernah mati. Dia bisa benda hidup atau juga benda mati. Tidakkah kita merasa bahwa selama ini kita ternyata dikelilingi juga oleh benda-benda yang berpotensi untuk menjadi ‘Abu Jahal Modern” yang mengusung spirit syetan. (Mukhammad Fahrudin, Republika, 23/8/2008)

Geert Wilders, Salman Rushdie, Theo van Gogh, Kurt Westergaard atau yang lainnya adalah reinkarnasi dari ‘Abu Jahal abad Modern’ itu. Dengan memakai ayat-ayat setan dengan kapasitas dan proporsi yang nyaris sama, mereka telah menimbulkan amarah sejumlah orang, khususnya umat Islam. Gaung protesnya pun menggema di sudut-sudut masjid dan musholla di belahan dunia Islam.

Hari-hari ini, tepatnya dalam dua pekan terakhir menjelang laga Peresmian MTA Cabang Purworejo, Selasa 17 Mei 2011, Geert Wilders dan kawan-kawan (tanpa sepengetahuan pemerintah) hadir mengunjungi warga Purworejo. Dia datang ke Purworejo didampingi serombongan kebencian dan amunisi kemarahannya dengan misi yang sama: menyobek dan membuang — bukan setengah Al-Qur’an, tapi cukup satu - dua ayat Al-Qur’an yang tidak sesuai dengan ajaran kitab dari nenek moyang mereka.

Warga MTA di Purworejo mengalami goncangan yang dahsyat. Setelah penolakan PC NU Purworejo (Suara Merdeka 01/04/11) Ketua PBNU Prof Said Agel Siradj menulis kolom opini harian Jawa Pos (05/04/11) bahwa jamaah MTA secara militan menghadang jamaah pengajian yang akan mengadakan yasinan dan tahlilan. Tuduhan itu tidak benar dan bahkan mengarah kepada fitnah. Apalagi dia juga menulis bahwa telah terjadi aksi tawuran. Jamaah MTA adalah jamaah yang suka mengalah dan tidak suka keributan. Ketika 57 warga MTA diusir dari rumah mereka dan dianiaya kelompok tertentu di Blora, tidak ada seoranga pun yang membalas. Di Purworejo warga MTA tersebar di 16 kecamatan dan 82 desa, tidak pernah ada diantara mereka yang konflik dengan masyarakat sekitar. Jangan sampai penulisan opini justru memicu konflik. (Uswah Hasanah, Buletin Jum’ah MTA Online No 212/Th VI. Edisi 15/04/11).

Dengan setting politik yang sama, sebagaimana nenek moyangnya, yakni penjajah Belanda, yang mewariskan ajaran “devide et empera” (politik memecah belah) itu. Si Londo Ireng (baca: Belanda Jawa) ini berhasil menyebarkan ketakutan di tengah masyarakat Purworejo. Sebagai akibatnya pengajian binaan MTA Purworejo terpaksa harus pindah dari Wisma Cinde Laras. Jawaban MTA atas pemberitaan di Jawa Pos, Kamis 14 April 2011 ternyata belum cukup mampu meredakan ketegangan. Bahkan muncul penolakan atas kehadiran MTA di Pengen Tengah, Kec. Purworejo, Kab. Purworejo. Sebab kehadiran MTA telah menjadi ancaman serius bagi kehidupan masyarakat Purworejo. Padahal MTA hanyalah sebuah lembaga dakwah yang mengajarkan Al-Qur’an dan Sunnah. (Uswah Hasanah, Buletin Jum’ah MTA Online No 214/Th VI. Edisi 29/04/11).

Titik sasaran tembak yang tidak lain adalah target utama (main target) Geert Wilders van Java ini telah terpenuhi. Titik sasaran tembak itu adalah opini publik telah terbeli meski dengan cara membantai orang lain. Opini public telah terbeli seperti terbelinya seekor kerbau yang dicocok hidungnya. Bahwa MTA seolah seperti monster yang nilai kehadirannya harus dicegah karena akan membawa dampak buruk bagi tata nilai yang sudah tertata baik di masyarakat.

Bagi kelompok Islam garis keras, tindakan Wilder dan kawan-kawannya ini merupakan penistaaan yang harus dibalas. Tapi bagi kelompok moderat mereka dianggap tidak lebih dari opportunis yang mempromosikan ketakutan dan kebencian.

MTA bukan dari kelompok garis keras, juga bukan kelompok moderat. MTA berada ditengah-tengahnya. Karena berada ditengah-tengahnya, maka MTA tidak membalas penistaan itu, pun juga tidak membenci apalagi takut dengan beragam ancaman lengkap dengan fitnah-fitnahnya. Yang dilakukan gerakan dakwah MTA adalah mengalah untuk menang.

Apa itu mengalah untuk menang? Mengalah untuk menang adalah metode seorang baby sister untuk ‘ngemong’ anak asuhnya — meskipun buah hati itu bukan miliknya — dengan mengerahkan segala bujuk rayu plus rayuan gombalnya, dengan satu tujuan: agar si anak tidak menangis. Itulah puncak prestasi sekaligus puncak kebahagiaan seorang baby sister.

Anak senang, ibu senang, bapak senang. Semua senang. Bangun pagi-pagi sarapan jenang. Demikian baby sister bernyanyi sambil mengendong ‘buah hati’ milik orang lain. (habis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar