Minggu, 29 Mei 2011

CEREMONIAL PUJI TAHLIL [2-HABIS]

Dari sisi seorang rois, imam atau pimpinan puji tahlil lain lagi ceritanya. Rois yang memimpin acara puji tahlil haruslah orang dengan profesi dengan kompentensi yang sudah diakui keahliannya, ketakwaannya, dan kefasihanya dalam mengucapkan setiap kata yang terangkai dalam acara puji tahlil oleh masyarakatnya. Dia tentu bukan sembarangan orang. Butuh waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan semacam ‘sertifikat halal’ dari masyarakat dalam hal track record pengalaman ber-puji tahlil.

Puji Tahlil atau sering juga disebut dengan tahlilan ini, tak lain adalah modifikasi hasil kreativitas para wali dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Sebelum Islam masuk ke tanah Jawa, agama Hindu adalah agama mayoritas. Dengan metode kreativitas khas wali sanga itu, sebagian masyarakat beranggapan bahwa itu tradisi baik. Dengan alasan tradisi baik itulah, maka ada sebagian yang mempertahankan atau meng-uri-uri (diabadikan) menjadi sebuah kelaziman, yang kemudian dikenal dengan istilah selamatan orang mati atau gendurenan.

Seremoni ‘gendurenan’ ini dimulai pada hari H ‘nggeblak’ (meninggalnya) si mayit. Pada tahap ini, lahirlah istilah pengetan (peringatan) hari pertama, hari ketujuh, hari ke empat puluh, hari ke seratus, diteruskan sampai dengan hari ke seribu. Rangkain upacara hari-hari itu, tak lain adalah adat-istiadat yang sudah mengakar kuat di lubuk hati aktivitas agama Hindu. (baca selengkapnya buku H. Abdul Aziz & H. Fathur Rahman, S.Ag, M.Pd, “Muallaf Menggugat Selamatan, Ajaran Hindu yang Dianggap Tradisi” Lembaga Kajian Islam Intensif (eLKISI), Sidoarjo Jatim, 2010).
Dalam buku tersbut secara ringkas seremonial gunderanan, tahlilan, atau puji tahlil ini dapat dijelaskan berikut ini:

Hari pertama
Rangkaian selamatan meliputi nasi gurih (nasi yang ditambah dengan air santan), nasi golong (nasi yang dibungkus kecil-kecil dengan daun pisang), nasi ambeng, nasi yang ditaruh diencek sebanyak sembilan buah diberi buceng pungkur (buceng yang dibelah tengahnya kemudian diletakkan secara bersebelahan dan ditengah-tengahnya dikasih daun alang-alang dan dadap) dengan tujuan untuk melepaskan kehidupan di dunia dan menghadapi dunia nirwana.
Keterangan:
Nasi gurih dengan ulam sari (ayam ingkung, yaitu ayam yang dipanggang dalam keadaan utuh) dimaksudkan asung dahar ghusti (untuk makan Sang Yang Widi). Nasi ambeng besar diperuntukan dewa penjaga kubur, nasi gurih dengan ayam. Nasi golong dimaksudkan untuk menyatukan dinten pitu pekenan gangsal (satu minggu terdiri dari: pon, kliwon, wage, pahing, dan legi).

Hari Ketujuh, Ke-empat puluh dan Ke-seratus
Rangkaian selamatan hari ke-7, hari ke-40, dan hari ke-100 hampir sama dengan hari pertama. Yang membedakan hanyalah tambahan kue apem, yang diyakini sebagai perlindungan kalau hujan, sebagai tongkat kalau jalannya licin, dan juga sebagai perisai diri bagi si mati.

Hari ke-Seribu
Pada hari keseribu, ada keharusan untuk menyembelih kambing, merpati, bebek (itik). Rangkaian penyembelihan hewan-hewan tersebut dimaksudkan sebagai media (kendaraan). Kambing dimaksudkan sebagai kendaraan roh mayit di belantara hutan. Jika bebek untuk menyeberang di tengah lautan. Bila merpati dilambangkan sebagai kendaraan naik ke nirwana.
Dalam agama Hindu selamatan atau genduri (-ren) dimaksudkan sebagai upaya untuk memberi makanan (persembahan) kepada tuhan idha sang hyang widi. Sedangkan dalam aqidah Islam, Allah itu qiyamuhu binafsihi (berdiri sendiri) tidak butuh bantuan dan pertolongan makhluknya. Dengan demikian selamatan atau genduri yang dianggap oleh sebagian umat Islam sebagai tradisi baik yang harus dilestarikan itu, sudah seharusnya ditinggalkan dan dihapus. Karena bertentangan dengan aqidah Islam, seperti firman Allah berikut: ”Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepadaku” [QS: 51: 57]

Bagi umat Hindu, mengamalkan kenduri atau selamatan adalah merupakan hak mereka, akan tetapi umat Islam tidak boleh mengamalkannya atau meniru dengan alasan hal itu adalah tradisi yang baik. Sabda Rasululllah SAW berikut bisa dijadikan rujukan. Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda: barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk mereka (HR Abu Dawud, kitab Allibas, 3.512). [TAMAT]

4 komentar:

  1. Abdul aziz yg ditangkap polisi itu ya? wah kok itu yg dijadikan referensi?. Ga ada yg lain emangnya? Jadi ga yakin dg pemaparan di atas.

    Betulkah tahlilan itu amalan dr agama hindu? Sudah kroscek belum?

    Betulkah yg ikut tahlilan semata2 hanya demi uang, berkat dll? Sudah tabayun ke yg bersangkutan belum?

    Jangan memberikan info dr katanya-katanya ya.

    BalasHapus
  2. MTA klo bicara : endi dalile?atau ora ono di zaman rosule..padahal muka mereka juga ora ono di zaman rosule..he.he..ojo sok bener mas bro..ni dalile :
    Kedua, riwayat dari Sayyidah Aisyah, istri Nabi SAW ketika ada keluarganya meninggal dunia, beliau menghidangkan makanan. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:
    عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ. رواه مسلم.
    “Dari Urwah, dari Aisyah, istri Nabi SAW, bahwa apabila seseorang dari keluarga Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah berkata: “Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Talbinah dapat menenangkan hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan.” (HR. Muslim [2216]).

    BalasHapus
  3. Dalile meneh ki mas broo

    pendapat Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Dalam konteks ini, Syaikh Abdullah al-Jurdani berkata:
    يَجُوْزُ مِنْهُ مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ عِنْدَ الْإِماَمِ مَالِكٍ كَالْجُمَعِ وَنَحْوِهَا وَفِيْهِ فُسْحَةٌ كَمَا قَالَهُ الْعَلاَّمَةُ الْمُرْصِفِيُّ فِيْ رِسَالَةٍ لَهُ.
    “Hidangan kematian yang telah berlaku menjadi tradisi seperti tradisi Juma’ dan sesamanya adalah boleh menurut Imam Malik. Pandangan ini mengandung keringanan sebagaimana dikatakan oleh al-Allamah al-Murshifi dalam risalahnya.” (Syaikh Abdullah al-Jurdani, Fath al-’Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218).
    Berdasarkan paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa hukum memberi makan orang-orang yang berta’ziyah masih diperselisihkan di kalangan ulama salaf sendiri antara pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan Sunnat. Di kalangan ulama salaf tidak ada yang berpendapat haram. Bahkan untuk selamatan selama tujuh hari, berdasarkan riwayat Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat dan berlangsung di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh Hijriah.

    BalasHapus
  4. ahmad sukina kih sopo sih?ngreti bahasa arab ora endeknee?
    ALlah SWT berfirman dalam Alquran : Fasaluu Ahladzzikri, Ing kuntum Laa Ta'lamuun.. ( Artinya : Maka bertanyalah kepada ahli ilmu Alquran jika kalian tidak mengerti)..Semua ustad-ustad MTA yg aku hadiri ora ono sing bisa bahasa Arab,tdk bs gramatikal arab opo meneh hafal Alquran..ngajinya pake brosur..he.he...dalile itu-itu tho...iku meneh,iku meneh...kok wani nyalahin orang...semprull

    BalasHapus