Selasa, 31 Mei 2011

KENALKAN: NAMANYA IBU SRI [2]

Tadi malam hari terbahagia dalam hidup saya, karena baru tadi malam kami satu keluarga dapat ngaji bersama di cabang tanpa ajakan dari suami ikut. Sekarang saya tidak sendiri lagi di dukuh saya. Itu hikmah dari batalnya ke Purworejo. Lihat CD Habib Yahya dan baca artikel Bapak. Karena Allah telah mudahkan jalan dakwah bagi saya. Walau baru diri dan keluarga kecil saya. Makasih.
SMS Ibu Sri—warga MTA Klaten per 20/05/11|pukul 08:32:22

Rangkaian kalimat SMS di atas, setelah saya baca dengan kebeningan hati, setidaknya ada 5 point penting yang harus saya catat. Kenapa perlu saya catat atau tulis? Karena dari membaca SMS Ibu Sri ada sesuatu yang harus saya tulis, sesuatu itu disebut hikmah. Hikmah itu adalah kebijaksanaan sekaligus kebaikan.

Di luar itu, antara pekerjaan menulis dan membaca adalah ibarat dua sisi dalam satu koin mata uang. Pekerjaan atau perintah membaca, juga, pernah dialami oleh seorang lelaki 40 tahun yang tengah berkontemplasi di sebuah gua batu di atas gunung. “Bacalah! Bacalah!” seru malaikat Jibril, empat belas abad yang lalu.

Apa yang harus dibaca? Tidak harus tulisan memang. Keadaan — kenyataan juga dapat dibaca. Maka banyak orang pun menulis dengan perbuatan. Bukan dengan pena.

Dan saat ini, saya sedang membaca Bu Sri dan menuliskannya menjadi sebentuk secari kertas bernama ibadah. Pada diri ibu Sri-lah saya menemukan frekuensi keprihatinan yang sama sebagaimana yang dialami oleh warga MTA lainnya di seluruh pelosok negeri tercinta ini, Indonesia.

Lima hal pokok yang akan saya tulis dan saya uraikan terkait SMS Ibu Sri di atas adalah sebagai berikut.

1. Tadi malam adalah malam paling berbahagia.
2. Sekaranga saya tidak sendirian di kampung.
3. Ada hikmah di balik ditundanya persmian di Purworejo.
4. Allah mudahkan jalan dakwah bagi saya
5. Walau baru masih diri dan keluarga kecil

Penjelasan per point dari 5 hal pokok itu adalah sebagai berikut.

1. Tadi malam adalah malam terbahagia (paling berbahagia).

Bahagia, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan). Bila kata bahagia itu sendiri ditambahkan awalan kata “ter” akan menjadi “terbahagia”. Terbahagia itu sendiri boleh diartikan paling bahagia.

Dari penjelasan kata di atas, Ibu Sri pada malam itu merupakan wanita yang terbahagia atau paling bahagia. Yang menjadi pertanyaan adalah: apakah sebelum malam terjadinya malam paling bahagia itu, Ibu Sri sudah atau belum pernah merasakan malam paling bahagia?
Antara bahagia dan susah itu bedanya sangat tipis. Tentu saja, definisi bahagia antara satu orang dengan orang lain tidak sama, alias berbeda. Definisi bahagia dalam konteks Ibu Sri lebih berdimensi spiritual, bersifat ruhani. Letaknya ada di dalam hati.

Kembali ke...— laptop, ah kayak Thukul aja — pertanyaan di atas: apakah sebelum malam terjadinya malam paling bahagia itu, Ibu Sri sudah atau belum pernah merasakan malam paling bahagia?
Jawabannya tentu sudah pernah merasakan. Menurut ilmu penerawangan saya (ah kayak mbah Dukun aja), minimal ada 3 kebahagian yang pernah ibu Sri rasakan. Pertama, saat ibu Sri lagi falling in love dengan mantan pacarnya (baca: bapak-e anak-anak). Kedua, saat berbulan madu ke bulan bersama bapak-e thole. Dan yang terakhir, ketika ibu Sri sedang dalam detik-detik jelang melahirkan. Dua tetes air mata, pastilah mengalir menuruni pipinya mengiringi lahirnya jabang bayi itu.

Ibu Sri pernah nonton baca buku atau nonton film Eat Pray Love ?

“Saya tidak mau terikat dalam perkawinan lagi. Saya tidak mau tinggal di rumah besar ini. Saya tidak mau mempunyai bayi.” Itulah yang ditulis Elizabeth Gilbert dalam bukunya yang terkenal Eat Pray Love. Di usia 31 tahun, menikah enam tahun dengan suami yang mencintainya, Liz memutuskan melepaskan semuanya: perkawinan dan bahkan seluruh property miliknya. Dengan modal nyaris nol ia melakukan perjalanan mencari kebahagiaan ketiga negara: Italia, India dan Indonesia (Bali).

Mungkin banyak yang tak habis pikir, apa lagi yang ingin kau cari, Liz? Mengapa engkau begitu sulit berbahagia? Padahal, dengan semua yang dimiliki – karier cemerlang sabagai penulis, harta berlimpah dan suami yang baik- kau tak perlu banting tulang menafkahi keluarga, bisa mengaktualisasikan diri dengan bebas dan bisa berkeliling dunia dengan mudah. Hal-hal yang mungkin hanya menjadi khayalan bagi sebagian besar wanita di dunia.

Demi mencari arti kata bahagia, seorang Liz rela melakukan perjalanan jauh ke ketiga negara yang berbeda: Italia, India dan Indonesia (Bali). Ternyata di Indonesia (Bali) inilah, Liz, menemukan puncak bahagia itu.

Dengan logika yang sama, ibu Sri juga menemukan arti kebahagian yang tergeletak begitu saja di sebuah negeri yang sama, yang konon gemah ripah loh jinawi, toto tentrem, murah sandang murah pangan. Di sebuah negeri yang tingkat korupsinya paling tinggi di dunia: Indonesia.

Ibu Sri tidak menemukan arti kata bahagia itu di pulau Bali, melainkan di radius ribuan kilometer arah barat pulau Jawa, tepatnya di Klaten, Jawa Tengah. Haruskah Ibu juga melakukan eksperimen ekstrem seperti yang dilakukakan Liz, demi mencari kebahagiaan? (bersambung)

2 komentar:

  1. itulah hidayah,kalau Allah sdh menghendaki....tidak ada yg bisa menghalangi

    BalasHapus
  2. doakan ya bu biar keluarga ku bisa ikut dan mau ngaji,alangkah senangnya hatiku ...

    BalasHapus