Minggu, 22 Mei 2011

MTA: Yang Saya Tahu (3)

MTA yang saya tahu adalah saya menjadi lebih cerdas dan lebih kaya secara spiritual. Sekarang ini, di tengah lingkungan sosial –ekonomi dan politik maupun kebudayaan yang sudah serba kapitalistik, di mana orang hanya mau berbuat sesuatu hanya kalau ada janji keuntungan materi. Ternyata masih bisa saya temukan begitu banyak orang datang ke majlis ini tidak berjenis kelamin cewek matre, terus ikut arus deras gombal globalisasi. Dari sini saya juga lebih faham bahwa yang membedakan manusia di sisi Tuhannya, ternyata hanya taqwanya (QS: 49:13). Bukan pangkat dan jabatannya, mobilnya, rumahnya, hapenya, dan lain-lainnya. Definisi taqwa disini akan lebih konsisten dan aplikatif kalau mau menerjemahkan ke dalam LIMA-I (5-I). I pertama: Ilmu, I kedua: Ikhlas, I ketiga: Istiqomah, I keempat Intensif, dan I terakhir Implementasi. LIMA-I tersebut adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. (Materi Kajian Ustadz Sutarto di MTA Blonotan, Sabtu Sore, 7/5/2011).
MTA yang saya tahu adalah ketika saya bersama lautan manusia yang memadati Gelora Olah Raga (GOR) Kabupaten Sragen, 15 Februari 2011, yang lalu. Pada acara detik-detik peresmian 13 cabang MTA di Kabupaten Sragen itu tak ada qiro’ah layaknya lomba MTQ dengan suara syahdu mendayu-dayu. Tak ada sari tilawah dengan ucapan dan intonasi bak pembacaan sajak-sajak WS Rendra.Tak ada bibir terucap sembari berpuja-puji tahlil. Tak ada gemuruh suara yel-yel ‘Hidup MTA’, ‘Hidup Ustadz Ahmad Sukino’, tak juga ada tepuk tangan membahana. Tak ada asap rokok. Juga tak ada adegan dramatis cium tangan.
MTA yang saya tahu pada setiap acara peresmian cabang atau perwakilan MTA baru, adalah sebentuk aktualisasi diri dari pitutur Jawa “Sepi ing pamrih rame ing gawe”. Suasana itu betul-betul senyap. Sepi nyenyet. Bersih dari hiruk pikuk. Duduk mereka tertib. Tetap duduk tidak beranjak dari duduknya sebelum acara betul-betul usai. Sekali lagi tidak ada puntung rokok berceceran di sana-sini. Karena memang, betul-betul tidak ada kepulan asap rokok.
MTA yang saya tahu pada setiap acara peresmian cabang atau perwakilan MTA baru, adalah saya tidak melihat ada pasukan khusus, semacam pasukan elit Navy SEALs-nya Amerika Serikat yang telah menewaskan gembong teroris, Osama bin Laden. Atau semacam pasukan berani mati dengan ciri-ciri kebal senjata tajam. Yang dimiliki MTA hanyalah satuan tugas (SATGAS), yang pada wajah satgas itu, sama sekali tidak menunjukkan wajah sebagaimana wajah satgas sebenarnya. Serem dan menakutkan. Tapi wajah itu mirip wajah seorang bapak yang ngemong putra-putrinya. Tampang yang tak menggertak itu wajah damai, ramah, dan murah senyum. Sama sekali tidak menunjukkan wajah keangkeran seorang bodyguard. Sekali lagi: tidak ada pasukan berani mati di MTA, yang ada justru pasukan berani hidup.

Bersambung ke bag (4)

1 komentar: