Senin, 23 Mei 2011

Sang Adik itu bernama MTA

Langgar kidul milik Ahmad Dahlan itu tegak dan sederhana, persis seperti sikap pendirinya: bersahaja. Tetapi puluhan lelaki itu datang dengan beringas dan memanggul satu misi: menghancurkan langgar kidul yang letaknya tak jauh dari keraton itu. Dengan semangat menyala, mereka menjebol dinding langgar, menghacurkan pintu dan jendela. Murid-murid Dahlan yang sedang mengaji tak kuasa menghalau. Tak puas melihat langgar berantakan, rombongan itu menarik tali tambang yang dikaitkan di tiang-tiang pancang bangunan dari kayu itu. Dalam hitungan menit, langgar itu rata dengan tanah, diiringi tangisan para murid dan istri Dahlan, Siti Walidah.

Itulah adegan paling dramatis dalam film Sang Pencerah. Sebuah upaya anak muda kelahiran Yogyakarta, Hanung Bramantyo, melakukan sebuah upaya rekonstruksi atas serpihan sejarah berdirinya persyarikatan Muhammadiyah, pada secarik peta sejarah, di pojok kampung bernama Kauman.
Andai pada tahun 1902, tidak ada seorang anak muda bernama Muhammad Darwis nekat berangkat ke Makkah untuk ngaji plus naik haji, maka pada tanggal 18 November 1912, tak akan pernah terjadi proses kelahiran “the Living Legend” Muhammadiyah.

Di tanah kelahiran para nabi, Makkah, anak muda itu tidak hanya nyekar dan tahlilan ke makan nabi Muhammad dan nabi Ibrahim—yang kemudian dikenal dengan ritualisme Haji, tetapi anak muda itu juga memperdalam ilmu agama seperti tafsir, tauhid, fiqih, tasauf, ilmu falaq, qiroat dan sebagainya. Ia juga bertemu dengan Muhammad Abduh, lalu membaca majalah Al-Manar.
Tidak hanya kitab Al-Manar — eh ma’af, bukan kitab deng tapi majalah — kyai yang ternyata piawi memainkan musik biola ini, juga bersinggungan dengan berita-berita tentang perkembangan gerakan reformasi di dunia melalui majalah ini.

Melalui majalah yang sama, cita-cita reformasi Islam, ide transformasi KHA Dahlan, dan dunia Timur Tengah bisa terkoneksi dengan baik. Dari sinilah cikal bakal gerakan reformasi Islam di Indonesia berawal.
Tidak hanya majalah Al-Manar yang menjadi menu bacaan wajib, KHA Dahlan juga membaca majalah-majalah aliran reformis lainnya seperti Al-Mu’ajjad, Al-Sijasah, Al-Liwa dan Al-Adl yang semua berasal dari Mesir. Di samping itu ada majalah-majalah yang datang dari Beirut, seperti Tsamarat Al Funun, Al Qistas dan Al-Mustaqim. Beberapa di antara majalah teresbut kadan-kadang sulit masuk ke Indonesia, yang lancar ialah majalah Al-Urwah Al-Wutsqo dan Al-Manar secara sembunyi-sembunyi.
Berkat usaha kawan satu kamar KH Hasjim Asy’ari (pendiri Nahdatul Ulama, NU) di pesantren Saleh Darat, Semarang, lahirlah beberapa amal usaha (kata lain dari dakwah bil hal), baik dalam bentuk lembaga pendidkan maupun rumah sakit.

Dari amal usaha ini lahir ribuan sekolah, ratusan lembaga pendidikan tinggi dan balai kesehatan, termasuk rumah sakit, puluhan panti asuhan yang tersebar di seluruh Indonesia. Inilah berkat jasa KHA Dahlan penduduk Kauman Yogyakarta, pendiri Muhammdiyah itu. Sekarang ini begitu disebut Kauman Yogyakarta, persepsi yang muncul di benak orang adalah wilayah hunian warga Muhammadiyah.

Kiranya, tak ada satupun organisasi Islam di dunia yang dapat menandingi keberhasilan Muhammadiyah dalam mengembangan misinya. Tentu juga, tak ada satu pun orang yang membayangkan bahwa kenekatan anak muda, setelah mudik dari Makkah bergelar KHA Dahlan, amal usaha yang kelak di namakan Muhammadiyah ini telah berkembang sangat pesat melampau zamannya, beyond the imagination.

Seratus tahun lalu, KHA Dahlan adalah seorang muslim yang tidak hanya ‘ngaji' kitab kuning, tapi juga mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan umum. Dengan mempelajari ilmu pengetahuan umum yang berasal dari penjajahan Belanda, ia mendapatakan kartu tanda penduduk (KTP) sebagai “kafir” dari kalangan pesantren. Tidak hanya itu, ia juga dicap sebagai kyai palsu dan Kristen alus.

Dengan desain dan konstruksi yang nyaris sama, khususnya dalam hal pemberantasan TBC (Tahayul, Bid’ah, Churafat) ala gerakan reformasi Muhammadiyah, Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) — lahir 60 tahun kemudian, tanggal 19 September 1972 — memiliki garis geneologi sejarah yang sama: diidentifikasi atau dicap sebagai aliran sesat, gerakan wahabi, dan lain-lain. Yang dengan cap-cap itu, ia — Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) — tak lain adalah adik kandung dari rahim pergulatan batin yang sama-sama mengusung tema ‘pelurusan aqidah.’

Fenomena itulah yang kemudian saya angkat menjadi tulisan ‘Sang Adik itu bernama MTA’. Dengan analogi yang sederhana dan sedikit serampangan , ini MTA adalah adik kandung Muhammadiyah.
Muhammadiyah lahir sebelum kemerdekaan, sementara MTA lahir setelah kemerdekaan. Dua-duanya lahir dari rahim pergulatan batin melawan apa yang kemudian dinamakan dengan TBC movement (Tahayul, Bid’ah, Churofat). Ketiga hantu penghapus amal dan pemantik amuk Allah itu menjadi musuh bersama (public enemy) bagi kakak beradik ini.

Kedua kakak beradik ini lahir dari kota yang memiliki latar belakang sejarah dan karakteristik budaya yang sama. Yogyakarta dan Solo. Keduanya adalah twin sister city.
Yogyakarta memiliki keraton Yogyakarta Hadingkrat. Solo memiliki keraton Mangkunegaran. Yogya memiliki Nyai Roro Kidul yang dikultuskan, Solo mempunyai Kyai Kebo Slamet yang kotorannya (jawa: tlethong) saja juga sama-sama disucikan dan dikeramatkan.

Dua kota: Yogyakarta dan Solo, dua saudara kembar, ini kehadirannya belum juga cukup memberikan kesadaran baru kepada masyarakat awam, yang mana di tengah masyarakat dua kota tersebut, masih kental dan tumbuh subur dua budaya ewuh pakewuh dan kumpul ora kumpul sing penting mangan. Dua tradisi inilah yang menjadi batu sandungan sekaligus penghambat utama sebuah laju roda dakwah bernama ‘rebonding iman’ (pelurusan iman).

4 komentar:

  1. ''Kalo kita tahu kita tidak akan mau belajar''
    Barakallahu fik...

    BalasHapus
  2. MUHAMADIYYAH YES, MTA NO...aktifis MTA aktifis kesiangan yang mulai lg meributkan tahlilan lah, maulidan lah dsb...latah nih yeee...baru tau, atau memang pimpinannya distir biar umat Islam terpecah terus..weleh,weleh...
    Ahmad sukina setiap diajak debat ngeles terus..alesane agama gak usah diperdebatkan.Debat itu tradisi ilmiah dan keilmuan pak deee...pernah kuliah tho??jangan-jangan, sukino mirip panji gumilang pegangan para pejabat untuk dulang suara pemilu..fakta mas broooo

    BalasHapus
  3. menyalahkan amalan furuiyyah orang lain, tanda wawasan sempit beragama

    cerdas dikit,joss!!!

    BalasHapus
  4. Aku tidak akan ikut golongan manapun.

    BalasHapus