Minggu, 03 Juli 2011

Beda Itu Nikmat [1]

Di tengah masyarakat kita, kebiasaan online barangkali belum jadi budaya yang populer. Hanya kalangan terbatas yang sudah akrab dengan media online, terutama kalangan muda yang dinamis dan lahir di era yang mengharuskan mereka bermain-main di internet.

Di media online ada sebuah istilah netizen-[1]. Makhluk apa itu? Secara harfiah netizen adalah penduduk atau pengguna internet aktif yang merupakan warga dunia lintas batas, baik teritori maupun budaya. Netizen adalah penduduk di dunia virtual, layaknya penduduk dunia physical, punya identitas kependudukan sipil (avatar, usename) punya rumah (hompage), punya kotak pos untuk surat menyurat (alamat e-mail) punya telepon (VoIp:Voice over Internet Protocol), bisa bepergiaan dari satu tempat ke tempat yang lain (pakai browser, apakah Firefox, Internet Explorer, Opera dan lain sebagainya)-[2].

Yang terjadi pada komunitas (atau lebih akrab disebut dengan warga) Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA), angka penetrasi penggunaan internet ternyata cukup tinggi. Dalam tulisan ini, untuk sekedar menyebut dua contoh homepage (situs pribadi) warga MTA, yakni warokkini.blogspot dan www.thmoyo.com.

Secara umum, dari pengamatan penulis, tingkat apresiasi terhadap suatu perbedaan dalam mengungkap isi hati para blogger itu, terlihat jelas bagaimana mereka mengekspresikan nilai dirinya, dan keberanian menyodorkan tafsir lain atas ekspresi subyektifnya di tengah realitas perbedaan itu sendiri. Simak penuturan para komentator berikut ini yang berdiri pada posisi netral: tidak ke MTA maupun yang kelompok lain, yang dicuplik dari situs www.thmoyo.com

“Musuh orang Islam itu hanya ada 2, yaitu kebodohan dan kemiskinan. Sayang sampai hari ini, masih ada kyai dan ustadz yang umatnya dikondisikan tetap bodoh, biar mereka mudah untuk diperdaya.”

Sebagai gambaran, betapa perbedaan itu adalah rahmat, penulis akan menggambarkan sebuah cerita kecil tentang negara kecil tapi indah (small is beautiful). Singapura. Sebuah negara yang menjadi tempat berlindung atau suaka politik paling aman bagi para koruptor, politikus busuk dari jerat hukum. Dari cerita ini, mudah-mudahan kita bisa melihat perbedaan itu dari kaca mata hikmah, bahwa sekali lagi perbedaan itu adalah rahmat bukan laknat.

Setiap kali makan gado-gado saya selalu teringat akan negara Singapura, negara tetangga kita, sebagai salah satu negara maju di Asia Tenggara dan di dunia. Negara tersebut merupakan negara yang terdiri dari berbagai macam etnis dunia, baik etnis Cina, India, Indonesia, Amerika, Australia, bahkan Negro. Keberadaan berbagai etnis tersebut tidak membuat Singapura kehilangan “rasa”. Namun, justru mampu menambah kekhasan “rasa” Singapura.

Keberagamana etnis tersebut hanya mampu dibedakan berdasarkan bentuk, bahasa dan warna yang mewakili kekhasan tiap etnis. Seperti gado-gado, keberagaman etnis tidak menjadi alasan bagi Singapura untuk berselisih, justru mampu menjadi suatu kesatuan “masakan” dengan citra “rasa’ yang unik. Bayangkan apabila semua “bahan” yang membentuk negara Singapura ingin menampilkan “rasa-nya” masing-masing, tentu akan terjadi perselisihan antar etnis tiada henti.

Catatan:
[1] Majalah Markeeter, Januari 2011
[2] Majalah Markeeter, November 2010

Besambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar