Sabtu, 02 Juli 2011

The Clash of Civilization [4-tamat]

Pada saat tertentu, bila keimanan sudah menguat — tidak fluktuatif lagi, the secret weapon itu akan dipertontonkan secara lebih menyolok mata. ‘No Smoking’ di tangan kiri dan ‘No Tahlil’ di tangan kanan. Alhasil, dari situ terbentuklah suatu garis merah menyala. Semacam ‘police line’, yang menandai suatu wilayah dengan garis batas yang sangat-sangat jelas. Tidak abu-abu. Mana halal mana haram. Mana daerah yang tidak boleh dikunjungi, mana daerah yang betul-betul terlarang untuk diamini.

Garis itu adalah harga mati bagi keimanan yang sudah lama ngaji di MTA. Garis itu jauh lebih sebagai sebuah upaya defensive atas serangan dari pihak lawan yang dengan sombong, dengan ketinggian ilmunya dan bangga mengusung ajaran lama, yang sering dilagukan dan dikumandangkan dengan istilah nyewu itu sebagai tradisi baik, sebagai bid’ah hasanah. (nyewu untuk menyebut salah satu contoh saja).

Ditengan laga premium pertarungan tidak seimbang itu, warga MTA adalah korban bulan-bulanan, kambing hitam, dan pecundang. Ibarat pertandingan sepak bola, satu lawan seratus. Satu untuk warga MTA, seratus untuk warga kampung dengan aksesori persenjataan lengkap dengan pak Kaum sebagai kapten kesebelasannya.

Saya katakan aksesori persenjataan lengkap, karena mereka adalah kaum mayoritas, duduk pada posisi yang sudah nyaman (comfort zone) di tengah masyarakatnya. Mereka adalah pak kapten bernama Den Kaum-e itu. Di dalamnya juga termasuk aparat desa dengan pelenggah dan pelungguh yang dikenal sakti dengan fasilitas kemudahan, berupa kekayaan dan uba rampe kekuasaannya. Di dalamnya juga ada, tentu saja, seorang ustadz dengan level kyai, dan jangan lupa dengan segala tumpukan kitab kuningnya sebagai hujjah/argumentasi.

Nur Kholik Ridwan dalam bukunya ‘Islam Borjuis dan Islam Protelar’, Konstruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia, membagi masyarakat Islam menjadi dua kelompok. Kelompok pertama Islam Borjuis atau Islam Modern, yang diwakili ormas Muhammadiyah dengan basis kekuatan massanya ada di perkotaan. Kelompok kedua adalah Islam Proletar atau Islam tradisional, yang diwakili ormas Nahdlatul Ulama (NU) dengan basis kekuatan pengikutnya mayoritas ada di pedesaan.

Lalu dimankah posisi MTA berada? Saya menganalogikan atau tepatnya mengandaikan warga MTA cabang Blonotan ini lebih mirip apa yang disebut oleh Nur Kholik Ridwan diatas dengan kaum proletar. Penyebutan kaum proletar untuk warga MTA binaan Blonotan sama sekali bukan bermaksud untuk melecehkan, apalagi menghinakan warga minoritas yang sebagian besar berasal dari kalangan ‘wong ndeso’ ini. Sama sekali bukan.

Warga MTA yang mayoritas dari kalangan papa atau kaum proletar, secara logika semakin memarjinalkannya ke sudut-sudut kehidupan yang terasing. Tapi apakah dengan demikian, kondisi ini menyurutkan langkah-langkah para buruh tani, kuli bangunan, pegawai rendahan di sebuah instansi pemerintah maupun swasta ini menyerah?

Tidak! Sekali lagi tidak.

Mereka tetap berdiri kokoh. Ya, mereka yang disebut kaum proletar itu, kaum miskin itu tetap mempertahankah diri mereka dengan posisi kuda-kuda semampunya. Kadang sesekali mereka memberikan perlawanan. Tapi sia-sia. Meskipun serangan demi serangan dilancarkan sang lawan dengan segala atribut kesombongan dan ketinggian ilmunya.

Hitungan diatas kertas, warga MTA kalah sebelum berperang. Peperangan ini sepertinya sangat mirip dengan perang Badar. Lalu, di tengah keputusaasaan kaum muslimin menghadapi kaum Quraisy itu, berharap kepada siapakah orang kecil yang minoritas ini?

Ucapan kekasih Allah lima belas abad yang lalu berikut ini adalah satu-satu hiburan kaum proletar, ya warga MTA ini.
Dari Malik, Rasulullah SAW bersabda:
“Telah aku tinggalkan untukmu dua perkara,
kalian tidak akan tersesat selama
kamu berpegang kepada keduanya,
yaitu kitab Allah dan Sunnah nabinya.”
(Imam Malik Al-Muwaththa, 1395)

Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar