Senin, 04 Juli 2011

Beda Itu Nikmat [2-tamat]

Semua orang pasti pernah merasakan masakan khas Indonesia yang satu ini. Gado-gado merupakan masakan berbumbu kuah kacang yang terbuat dari berbagai macam sayuran, ditambahkan kentang dan ketupat, kemudian dicampur menjadi satu. Masakan ini banyak digandrungi oleh berbagai kalangan karena rasanya yang unik.

Rasanya yang unik, merupakan kekhasan Gado-gado. Bayangkan dari sekian banyak bahan yang dicampurkan ke dalamnya, tidak ada satupun bahan yang bisa mempertahankan rasanya masing-masing. Rasa kentang sudah berubah, rasa sayuran sudah berubah, rasa tomat sudah berubah, dan rasa ketupat pun ikut berubah. Semua menjadi satu rasa, yaitu rasa gado-gado.
Rasa boleh berubah, namun wujud makanan tetap sama. Itulah satu-satunya cara membedakan antara bahan makanan satu dengan bahan makanan lainnya. Sehingga, kita masih bisa menyebutnya “Kita makan kentang!”,”Kita makan tomat!”,”Aku pesan bakwannya dua!”, walaupun tanpa menyadarinya, kita sudah tidak lagi makan kentang dengan rasa kentang, atau makan tomat dengan rasa tomat, apalagi bakwan dengan rasa bakwan. Semua bahan seolah-olah menyatu menjadi satu.

Seharusnya, negara Indonesia perlu mencontoh masakan Gado-gado, Walaupun berbeda-beda, namun tetap satu. Tidak seharusnya tiap budaya ingin menonjolkan “rasa-nya” masing-masing, sebab semua “bahan” apabila sudah dicampurkan dalam sebuah piring negara kesatuan, harus mau merelakan “rasa” masing-masing, agar mampu membentuk rasa baru yang jauh lebih mantap.
Ironisnya, negara yang juga di kenal sebagai negara ‘Bhineka Tunggal Eka’, di era reformasi ini polemik atau lebih tepatnya gesekan kepentingan atas nama ideologi, agama, politik dan lain-lain, bukan lagi dianggap sebagai makanan gado-gado yang memperlezat sebuah hidangan makanan, tapi sebaliknya justru menjadikan makanan bernama Indonesia sebagai negara penuh prahara, koflik, dan amuk masa yang tiada ada ujung pangkalnya, terutama elit politik kita.

Feonomena ini juga terjadi pada lembaga dakwah Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA), tidak hanya ada ranah hukum rimba off-line (alam nyata), tapi juga di ranah hukum rimba on-line (alam gaib). Untuk mengetahui polemik atau kontroversi MTA di tengah masyarakat, pada tulisan berikutnya akan saya sajikan cuplikan perkelahian online antara netizen yang pro dan kontra seputar polemik MTA.

Polemik yang terjadi di dunia maya (online), sangat boleh jadi mewakili keresahan masing-masing pihak. Dari aspirasi-aspirasi warga MTA maupun warga non MTA, kita bisa belajar dan mengambil hikmah bahwa perbedaan itu adalah rahmat.

Di tengah kontroversi itu, tentu di dalamnya tidak hanya ada amarah dan kecewa, tapi ada juga canda yang membuat kita betah untuk menyimak, lalu mengambil sekeping hikmah (blessing in disguise) yang tercecer di dalamnya.

Dari kepingan hikmah, saya berharap ada semacam insight (pencerahan) dari benturan peradaban itu. Pada titik ini, mari kita renungkan akan realitas lain dari perbedaan pendapat dari para netizen ini dengan logika sunnatulah dari sang Nabi kita, Muhammad SAW bahwa perbedaan diantara umatku adalah rahmat. Di dalam rahmat ada berkat (biasanya diperoleh setelah dari tahlilan/slametan, yang asal katanya dari berkah). Dan di dalam berkat ada nikmat. (Tamat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar