Jumat, 29 Juli 2011

NEO-KEJAWAN [2]

Di luar kesadaran kita, ya warga MTA, secara vertikal Allah sengaja membenturkan kita dengan fakta dan realita, sebagaimana dalam film Cast Away — yang pernah saya singgung pada artikel sebelumnya. Tidak ada golok, batu pun jadi untuk alat membelah kelapa.

Dari titik kesadaran inilah kemudian, muncul sebuah energy yang membuat seseorang berani berkata ‘NO’ di tengah mayoritas orang berkata YES. Berani berkata ‘NO’ ketika didepannya ada lampu merah menyala bertuliskan tradisi nenek moyang, yang akan nyrempet-nyrempet bahaya syirik. Berani berkata ‘YES’ kepada apa saja amalan sunnah yang nyata di perintahkan Allah dan Rasul-Nya.

Dua energi YES + NO inilah yang dirasakan sangat pahit oleh saudara-saudara kita di lahan kritis MTA Purworejo, MTA Blora beberapa tahun yang lalu, dan MTA-MTA lainnya. Lewat energy lompatan quantum ini, getaran frekuensi itu merambat pelan namun pasti, yang menggetarkan sekaligus memanaskan urat syaraf sekujur tubuh bangsa ini seperti meriang, semacam penyakit panas dingin tanpa suatu sebab.

Dalam artian khusus, lompatan quantum yang saya maksud, sebut saja seperti seseorang yang dulu sangat aktif hidup di ‘inner circle’ (lingkaran dalam) suatu majlis dzikir bernama puji tahlil. Tidak menunggu hitungan hari, seketika itu, mendadak ‘sak dek sak nyet’, lompatan quantum bernama ‘hijrah’ itu, menjadikannya manusia super-[man/women] - aneh di tengah kampungnya sendiri.

Pertanyaannya adalah, mengapa kenekatan ‘lompatan quantum’ dengan segala resiko berbahaya itu ditempuh?

Pitutur Jawa 'witing tresno jalaran saka kulino’ adalah salah satu jawabannya. Satu trisno (cinta) sama dengan satu interaksi (sambung rasa rohani). Satu interaksi sama dengan sepuluh hasanah (kebaikan bernuansa silaturahmi). Ketika intensitasnsya semakin tinggi, semakin tinggi pula energi spiritual yang terpancar dari Sang Yang Maha Tinggi. Dari titik inilah, sebuah guidance, hudan, petunjuk yang senantiasa mengiringi dan membersamai akan menujukakan kemana arah menuju jalan tol bebas hambatan itu. Jalan tol bebas hambatan itu disebut ‘ihdinash shirathal mustaqim’.

Meminjam ungkapan Prof. Sayyed Hossein Nasr adalah jawaban yang lainnya (seperti sudah pernah saya singgung pada artikel sebelumnya): “Seseorang yang belum pernah bergetar hatinya oleh ke-Agung-an ayat-ayat suci Al-Qur’an dan Teladan Suci Nabi Muhammad SAW, tak akan pernah mampu menggetarkan dunia...!” 

Interaksi aktif, positif, dan intensif yang sering dilakukan warga MTA dalam kajian bersama, bukanlah sekedar the art of reading Al-Qur’an. Sebuah interaksi pasif yang hanya sebatas pada membaca teks huruf hijaiyah yang tertata rapi, seperti yang biasa terjadi pada ajang lomba Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), misalnya. Sebuah event perlombaan untuk mengejar juara dalam hal menjadi yang terbaik dan terindah untuk satu hal saja: the art of reading itu sendiri, seni indah membaca Al-Qur’an. Ya, sebatas membaca saja. Tidak ada, semacam follow-up untuk sebuah ikhtiar atau upaya mengendus aroma surga yang luas kaplingnya, seluas langit dan bumi itu.

Atau dengan kapasitas yang lain, akan muncul sebuah tanya: pernahkah kita mencoba merasai asap api neraka itu? Sekedar pembanding saja, pernahkan kita membayangkan betapa panasnya wedhus gembel yang menewaskan Mbah Marijan, sang juru Kunci Merapi itu. Andai api neraka itu bocor sebesar lubang ujung jarum saja, bumi dengan segala isinya akan meleleh.

BERSAMBUNG...

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum ustad.
    Subhanallah, Begitu terbaca tulisan "lompatan kuantum" saya tahu siapa yang menulis. Semoga benar.

    BalasHapus