Untuk menjelaskan bagaimana pesta itu perlu diadakan, maaf — maaf sekali lagi maaf — like or dislike, saya akan menggunakan pendekatan hukum 4W+1H = WHY, WHAT, WHERE, WHEN, dan HOW.
WHY ?
Mengapa ‘RITUAL RUWAHAN’ perlu diadakan? Alasan faktual dan aktualnya bisa saya jelaskan dengan tiga hal berikut:
Pertama:
Bila perhelatan akbar ‘RITUAL RUWAHAN’ tidak diadakan, maka akan terjadi kiamat kecil bernama KUALAT. Kualat ini berkaitan dengan figur sentral seorang sesepuh desa atau kampung,sebut saja dengan pak Kaum. Posisi terhormat, posisi comfort zone, dan posisi sentral sebagai kasepuhan, pada detik berikutnya menjadi tidak fungsional lagi.
Itu artinya, dia dilengserkan secara inkonstitusional, secara tidak terhormat. Dalam bahasa lain sudah tidak diwongke, tidak dimanusiakan lagi oleh komunitasnya.
Bila demikian, maka yoni — biasanya built-in pada lekuk sebuah keris, atau tuah— biasanya ada pada sebuah mangkok berisi soto atau bakso (eh.. salah ya, itu kuah namanya), yang senantiasa melekat pada diri pak Kaum, akan secara berdiri pada posisi diametral, lalu menjadikannya sebagai noktah kecil bernama ‘black-list’ pada selembar harga diri sebuah kewibawaan.
Segera sesudah itu, posisi terhormat yang acap kali melekat pada pundak pemimpin spiritual sebagai pelantun do’a di setiap acara puji tahlil, selesai sudah. Selesai juga insentif dadakan yang biasa terselip pada “amplop wajibe” itu. Pada posisi ini, ia benar-benar miskin: miskin wibawa, miskin amplop, juga miskin puja-puji.
Kedua:
Demi alasan nguri-nguri kabudayaan. Dengan itu, apa yang dinamakan ujaran “mangan ora mangan sing penting kumpul” menjadi sesuatu yang sangat bermakna’. Pada kandungan ajaran ini, ada maksud luhur : memupuk tali & nilai silaturrahmi yang disebut nglumpukke balung pisah. Dua ajaran ini akan saling melengkapi dan mengokohkan peseduluran (persaudaran). Dari dua kombinasi hukum ini, bagi orang lain — bisa saya sebagai tetangga, bisa pak Lik sebagai sedulur cilik, bisa pak De sebagai yang disepuhkan — akan
berpikir seribu satu kali lebih kritis dari biasanya.
Frase “don’t say no for Ruwahan”, untuk sebuah justifikasi atas sebuah ‘merah jambu’ keimanan (baca: iman yang lagi kasmaran) bukan pada tempatnya. Akan menjadi lebih baik jika ada semacam ‘bargaining position’ yang lebih mendekati win-win solution. Taruhlah, misalnya, memakai model PDKT yang lebih manusiawi, atau lebih tepatnya semranak dengan tutur kata bahasa Jawa kromo inggil yang sudah dipermak sedemikian halus. Misalnya seperti dibawah ini
“Nyuwun sewu lan nyuwun pangapunten, kulo mboten saged nderek ruwahan amargi wonten acara.”
Tapi ingat, jangan sekali-kali menggunakan kata-kata atau ajian pamungkas seperti ini: NYUWUN PANGAPUNTEN, RUWAHAN MENIKO… MBOTEN WONTEN TUNTUNANE. Bila kata-kata ini masih nekat digunakan, silakan resikonya tanggung sendiri . Itu namanya FATAL ATTRACTION.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar