Kamis, 14 Juli 2011

SIN LAUNDRY [1]

‘MAWAR LAUNDRY”.
Menerima Cucian Antar Jemput.
Bersih, Harum, dan Wangi Sepanjang Hari.
Satu Hari Jadi.
Harga: Rp.2.500 per kilogram

Demikian salah satu bunyi promosi, iklan, woro-woro atau entah apa namanya, yang terpampang di baliho, pamphlet, atau brosur yang berserak atau juga berjajar rapi, menyesaki mulut-mulut gang di sudut kampung, di pinggir kota dekat sebuah perguruan tinggi atau universitas ‘X’.

Biar tampak menarik, canggih dan berkelas, biasanya pada brosur itu disisipkan gambar atau foto wanita cantik dengan kriteria berikut ini: PUTIH, KINCLONG, RAMBUT PANJANG HITAM TERUARAI SEBAHU, DAN PADA BIBIR WANITA ITU DIMONYONGKAN SEKIAN MILI DENGAN GINCU TEBAL MERAH MENANTANG. 

Jangan lupa, di luar kriteria itu, pembaca harap maklum, bahwa ada satu hal yang tidak boleh ketinggalan. Apaan tuh! Pada tubuh perempuan itu senantiasa ada sebuah hukum yang nyaris mendekati ‘fardu kifayah’ alias ekstra wajib dengan penonjolan ikon-ikon terpenting pada organ tubuh anak cucu eyang putri Siti Hawa ini.

Apa alasannya? Mau laku nggak? Kalau nggak mau laku, yaa... resiko tanggung sendiri.
Ikon-ikon penting itu sebut saja dengan SEKWILDA atawa sekitar wilayah dada.BUPATI atawa buka paha tinggi-tinggi. Dengan dua sihir itu, konon para artis dijamin masuk surga ‘audisi’ untuk menjadi artis dengan merek dagang (trademark) artis papan atas. Dengan dua sihir itu pula, sebuah jasa tukang cuci (laundry), diharapkan bisa meraup keuntungan financial yang super besar: SEBESAR-BESARNYA.

Itulah dakwah teknologi kapitalisme, yang mengemas segala sesuatu, apapun segala sesuatu itu — termasuk tubuh perempuan — harus memiliki nilai uang (capital) yang ujung-ujungnya abai terhadap hakekat fitrah kemanusiaan. Abai akan fitrah itu, yang di dalamnya — sekali lagi — meng-eksploitasi organ tubuh perempuan sebagai pusat jajanan murah mata-mata liar tadi. Semuanya berhenti pada titik nadir terakhir yang disebut dengan pelecahan terhadap nilai-nilai agama. Maka sebut saja, abai terhadap nilai-nilai agama itu dengan La Diniyah, suatu pandangan hidup yang “serba dunia” atau sekularisme.

Faham sekulerisme membawa ajaran, agama (baca: Islam) tidak perlu dibawa-bawa mengatur masyarakat. Agama adalah soal pribadi dan ukhrawi, persoalan dunia dan negara, persoalan masyarakat dan kehidupan manusia seluruhnya, terserah kepada pikiran, otak dan rasio manusia. Tangan Tuhan tidak boleh ikut campur mengatur urusan manusia. (KH. Mohamad Isa Anshory, Eramuslim, 20/05/2011)

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar