Selasa, 12 Juli 2011

TAHLILAN YES, SALAT NO [1]

“Allahumma bariklana fii rajaba wa sya’bana wa balighna Ramadhana.”
“Ya Allah berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban,
dan sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan.”
(HR Ahmad dan Thabrani)

Dalam skala realitas, “RITUAL RUWAHAN” yang digelar satu bulan penuh oleh masyarakat yang mayoritas menganut ajaran nenek moyang, maka tahlil Tahlil merupakan varian wajib yang tidak bisa dipisahkan. Dari sini, kemudian saya punya definisi slangekan dengan frase ‘TAHLILAN YES, SALAT NO’. Frase ini adalah plesetan dari “ISLAM YES. PARPOL ISLAM NO”, yang pernah dipopulerkan oleh almarhum Intelektual Muslim Indonesia terkemuka, Nurkholis Madjid. Gagasan “Islam Yes, Parpol No” artinya dakwah Islam oke, kalau pilih partai Islam, tunggu dulu!

Dengan logika yang sama, ‘TAHLILAN YES, SALAT NO’, antithesis sekaligus ironi,bahwa betapa sebuah tahlilan itu, bisa dimaknai sebagai sebuah kewajiban yang super wajib. Sehingga tidak mengherankan, jumlah peserta yang hadir pada setiap acara “RITUAL RUWAHAN” itu pesertanya membludak sampai meluber ke emperan rumah, bahkan sampai ke badan jalan.

Acara ini semakin heboh, bila tuan rumah (shahibul bait) adalah tokoh masyarakat atau golongan the have. Jangan tanya jenis makanan apa yang akan disajikan. Prasmanan adalah menu wajib yang harus disediakan. Yang namanya prasmanan itu, tentu saja akan mengundang decak lidah ini menetes perlahan. Dari radius sekian meter dari arena berpuji tahlil ria, aneka aroma kuliner meruap masuk memenuhi indra penciuman masing-masing jamaah.

Acara belum dimulai, terkadang para jamaah sudah KLENGER duluan. Sehingga niatan awal untuk berpuji tahlil pun berubah haluan 180 derajat menjadi pesta kuliner. Sebenarnya dengan itu, sebuah prosesi kemubaziran sedang didemonstrasikan.

Sebuah kemubaziran itu, boleh jadi akan menjadi akses syetan dalam mengintervensi sebuah acara, yang semula acara diniatkan untuk mengagungkan asma Allah berubah menjadi acara rendah yang menjijikkan, yang hanya memuja syahwat, nafsu makan semata.

“Monggo-monggo dirahabi dahar-e” (mari-mari mulai –dikenyangkan- perutnya)

Begitu, kata-kata selanjutnya yang biasa diucapkan oleh seorang imam puji tahlil benama pak Kaum atau pak Rois. Biasanya, ucapan itu disampaikan oleh pak Kaum sebelum atau sesudah acara tahlilan dimulai. Tergantung mood dari masing-masing tuan rumah berdasarkan kesepakatan bersama (semacam MoU) antara pak kaum dan si tuan rumah itu sendiri.

Apakah menyegerakan atau mengakhirkan acara pesta kuliner itu sebelum atau sesudah berpuji tahlil, tidak menyalahi aturan main yang kemudian disebut dengan BID’AH?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar