Kamis, 28 Juli 2011

NEO-KEJAWAN [1]

Istilah Neo-Kejawan, saya peroleh dari sebuah buku karya Ayu Utami [1]. Menurut Ayu, Neo-Kejawan atau Kejawan Baru tidak mirip dengan Kejawen. Sebab kejawen itu terlalu melekat pada aliran kebatinan orang Jawa yang dikuasai orang-orang tua. Ia lebih identik dengan kemenyan dan klenik.

Perbedaan antara kejawan lama dan kejawan baru terletak pada daya kritisnya. Spiritualitas Kejawan lama tidak memuculkan daya kritis. Spiritualitas lama tersedot pada rasa dan cipta tapi mengabaikan logika. Menekankan pada inspirasi tapi tidak analisa sama sekali. Spiritualitas baru ini milik orang-orang rasional namun sekaligus kritis pada rasionya.

Mereka adalah orang-orang yang telah mengenal modernisme tapi tidak tertelan dalam modernisme. Milik orang-orang postmodernisme. Spiritualime baru ini percaya bahwa sangkan paraning dumadi, yakni kritis pada asal dan tujuan hidup.

Neo-Kejawan atau Kejawan Baru dalam konteks Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA), saya maknai sebagai spiritualisme dengan logika kritis warga MTA dalam berinteraksi secara horizontal (baca: srawung hidup bertetangga dengan masyarakat sosialnya, hablumminnas) di satu sisi. Dan di sisi lain, berinteraksi secara vertikal (baca: hablumminallah) dengan basic kebenaran fundamental, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Secara horizantal, yang hablumminnas tadi, warga MTA harus mulai belajar menjaga jarak dengan tradisi Islam rasa Hindu. Frase ‘Islam rasa Hindu’ ini saya dapatkan dari ustadz Abdul Aziz (mantan Pendeta Hindu) pada acara ‘Tablig Akbar’ di Masjid Nurul Iman, Kaliajir, Berbah, Sleman, Kamis 10 Maret 2011. Sebagai mantan pendeta Hindu, beliau 100 persen faham akan lekuk-liku, tekstur, dan aroma rasa Hindu yang sesungguhnya.

Tidak jarang, ketika warga MTA mulai melakukan ijtihad dalam hal menjaga jarak dengan Islam rasa Hindu tadi, banyak mengalami benturan. Tidak hanya benturan, tapi juga ancaman pengusiran dari kampung halamannya sendiri, bahkan ancaman fisik berupa menghadirkan Izrail sang pencabut nyawa. Pada konteks ini, silakan baca kembali artikel sebelumnya berjudul the clash of civilization.

“Rasanya kok nyaris sama, ya, antara agama yang baru saya peluk (Islam) dengan agama lama saya”, sindir sang ustadz kepada para jamaah. Dari sini, ia lebih intensif dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Hasilnya?

Beliau merasakan rasa pedas yang sesungguh-sungguh pedas sebagaiman rasa pedas Islam yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pedas yang saya maksud adalah tegas yang mendekati keras dalam memilih dan memilah ajaran yang betul-betul al-haqqu mir rabikum, bahwa kebenaran itu datang dari Allah. Dan kebenaran dari Allah itu adanya, ya di Al-Qur’an.

Inilah yang saya maksud Neo-Kejawan atau Kejawan Baru bila dikaitkan dengan Islam rasa Hindu-nya ustadz Abdul Aziz. Rasa Hindu ini lebih mirip dengan apa yang dimaksud Ayu di atas sebagai spiritualitas Kejawan lama yang tidak memuculkan daya kritis, tersedot pada rasa dan cipta tapi mengabaikan logika dalam memaknai sebuah upacara atau pesta tradisi, yang dengan itu sering disebut berdasar katanya. Katanya siapa? Katanya ajaran nenek moyang.

“Dan apabila dikatakan kepada mereka , “Ikutilah apa yang diturunkan Allah!” Mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami (hanya mengikuti) kebiasaan yang kami dapat dari nenek moyang kami.” Apakah mereka (akan mengikuti nenek moyang mereka) walaupun sebenarnya setan menyeru mereka ke dalam azab api yang menyala (neraka)? 
(QS-31:21)

Catatan:
[1] Ayu Utami, Bilangan Fu, KP Gramedia, Jakarta, 2008, hal-383

1 komentar:

  1. Sebenarnya bagus-bagus tulisannya. Hem, tinggal di campur sekapur inner power untuk mendobrak nilai tulisan dari mentransfer pengetahuan menjadi mentransfer energi. Hem, ini menurut cara pandang saya. Wallahu alam, kalau yang lain. Hem.

    BalasHapus