Sabtu, 09 Juli 2011

Ritual Ruwahan [3]

Honestly, saya akui bahwa saya sedang melarikan diri dari hajatan “RITUAL RUWAHAN”. Tapi, yang ini demi sekeping hati, tempat bersemayamnya iman itu. Pada saat bersamaan, saya memang pada tiap malam Rabu, ada acara ngajar privat Iqro’ dengan seorang warga MTA yang punya militansi belajar sangat tinggi. Rasanya saya sangat berdosa bila semangat yang sedang membuncah itu redup oleh ulah saya yang tidak disiplin dalam mengajar. Maka, jadilah sekali dayung dua tiga pulau terlampau.

Berada pada radius satu kilometer pada zona nyaman (comfort zone) event “RITUAL RUWAHAN”, kedamaian itu tiba-tiba menelup masuk ke relung-relung hati ini. Sebuah sapaan lembut keluar dari bibir Pak Prapto, warga MTA yang akan belajar Iqro’.

Tetes peluh kelelahan akibat dari casting dadakan yang barusan saya perankan dalam adegan penyelematan iman, mendadak sirna, ketika mulai baca surat Al-Fatihah. Aura mistis getaran tujuh ayat yang diulang-ulang, minimal tujuh belas kali dalam setiap salat ini, betul-betul setetes air di tengah padang gurun Sahara.

Sementara pada saat yang sama, di suatu majlis dzikir puji tahlil bernama “RITUAL RUWAHAN”, nama saya menjadi topic pembicaraan hangat di antara bibir-bibir para jamaah. Di antara mulut-mulut mengunyah gorengan dan denting-denting gelas teh disruput itu, nama saya adalah nama wajib yang dimakan berasama-sama. Nama saya menjadi kacang goreng untuk dikuliti sebgai abahan rerasan yang sangat euunak banget menemani kehangatan kumpul bareng warga itu.

Alhamdulillah, saya ucap kalimat pujian ini berkali-kali sebagai wujud syukur. Upaya penyelamatan sebuah benda tak terlihat tapi sangat bisa dirasakan ini (baca: IMAN) untuk tahap pertama berhasil dengan gemilang saya lakukan. Apalah artinya ban bocor, dua lubang lagi, dibandingkan dengan nilai kebocoran iman yang suatu saat akan berakibat lebih fatal.

****

Kembali kepada bunyi sms dari istri saya di atas. “Hari ini Ruwahan di rumah Mamak.” Ada kata Mamak di situ. Sebutan kata ini lebih dititik beratkan kepada hubungan emosional hubungan bertetangga. Ia, Mamak itu, sama sekali tidak hubungan darah antara keluarga saya dengan orang yang saya sebut dengan Mamak tadi.

Baiklah kalau begitu, sedikit akan saya jelaskan apa itu arti Mamak, kata lain dari hidup bertentangga dalam sebuah komunitas di sebuah kampung.

Mamak adalah tetangga depan rumah saya, yang saya anggap seperti orang tua saya sendiri. Usianya, mungkin di atas 50 tahunan. Penganggapan seperti orang tua sendiri, ini berdasarkan tiga kriteria. Pertama: ia semranak kepada siapa saja, termasuk keluarga saya. Dalam kata semranak itu, ada satu suku kata yang yang fundamental: ketulusan. Kata lain dari ikhlas, yang dengan itu, ikatan emosional itu bisa terjalin erat, seperti prangko dan amplopnya.

Bersambung ...

1 komentar: