Jumat, 29 Juli 2011

NEO-KEJAWAN [3]

Dua rasa yang paradok itu, beritanya oleh Allah telah dikemas dan disajikan sedemikian rupa dengan cara mudah dipahami dan enak dikunyah untuk diamalkan. Dengan fasilitas kemudahan demi kemudahan itu, tinggal kitanya mau enggak. Kalau eggak, ya silakah mencicipi jilatan api neraka-Nya.

Sebaliknya, jika kita rela dengan merelakan diri untuk ikut ngaji. Itu artinya, kita telah membuka diri untuk akses hidayah, tidak hanya diri kita tapi juga untuk generasi berikutnya, pemegang tongkat estafet hidayah selanjutnya. Itu artinya, surga sudah ada didepan mata kita

The art of understanding ini, pada kasus tertentu, menjadikan trend pemahaman baru terhadap apa yang disebut ibda’ bi nafsik. akhirnya berpulang pada apa yang dinamakan dengan dari beberapa kasus yang saya jumpai, pemahaman yang banyak kasus pada tiap warga yang telah menjadi ikon dakwah pada level ini, menjadikan Al-Qur’an tidak sebagai benda keramat. Yang nilai kehadirannya hanya dibaca di saat bulan Ramadhan tiba, pada saat ajal menjemput, pada saat malam jumat kliwon, dan pada moment ketika bercumbu dengan problematika hidup yang menghimpit. Kalau sudah demikian Al-Qur’an bukan menjadi asy-Syifa’, obat yang menyembuhkan seribu satu macam penyakit, tapi berbalik arah menjadi laknat karena dijadikan jimat.

Pemahaman lain dari Neo-Kejawan ala MTA ini, adalah perkawinan local wisdom (kearifan local) antara MTA sebagai lembaga dakwah berkelindan dengan ‘Spirit of Java’ Kota Solo. Perkawinan silang antar budaya ini bisa dilihat pada nama-nama Jawa yang tetap dipakai sebagai sesuatu yang nJawani. Salan satu contoh bisa dilihat pada nama Ahmad Sukino. Ahmad adalah nama Arab, Sukino adalah nama Jawa. Persandingan dua nama ini, seperti menjelaskan bahwa keindahan dua budaya itu sama sekali tidak menjadikan MTA kehilangan roh kewibawaannya.

Dari kasus ini, saya ingin menjelaskan betapa indahnya perkawinan silang antara budaya Jawa dan budaya Islam ini. Dalam perkawinan silang ini, tak ada yang dirugikan. Keduanya tidak saling mencederai, melukai, bahkan membunuh satu sama lain.

Neo-Kejawan ala MTA bisa juga dilihat pada deretan nama-nama figur sentral gerakan dakwah yang menggawangi Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) ini. Mayoritas orang-orang penting adalah nama dengan aroma dan aksen Jawa yang sangat kental dan kuat. Demikian juga dengan sebagian besar warganya yang selama pengamatan saya di beberapa pertemuan, baik di pertemuan majlis Pengajian Akbar peresmian di perwakilan atau cabang, pengajian rutin mingguan, kajian kelompok, maupun pengajian Ahad Pagi. Atau saat absensi beberapa menit menjelang pengajian ustadz.

Daftar nama absensi mereka lebih didominasi oleh huruf-huruf aksen Jawa dengan awalan huruf SU dilanjutkan dengan akhiran huruf O. Sekedar contoh saja, misalnya, Sukino, Suparno Sutarto, dan Suharno. Perpaduan antara huruf awal SU dengan akhiran huruf O ini, menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah berjenis kelamin laki-laki.

Baiklah, mari kita telusiri keempat nama tersebut dengan metode pendekatan dari beberapa interaksi baik via radio, tatap muka, maupun dari sumber yang lain.

Sukino. Nama lengkapnya Al-Ustadz Drs.Ahmad Sukino. Nama beliau, bagi warga MTA pastinya sudah banyak yang faham dan tahu. Beliau adalah figure sentral gerakan dakwah yang mengusung tema kembali ke Al-Qur’an dan As- Sunnah. Saya tidak tahu persis, kapan penambahan kata “Ahmad” pada kata berikutnya: Sukino. Boleh jadi penambahan kata itu berasal dari bapak-e anak-anak, simbahnya, atau dari al-Ustadz sendiri. Saya juga tidak tahu, apa motivasi penambahan kata Ahmad itu. Mungkin, ya mungkin saja, biar terkesan lebih religious atau lebih islami atau biar lebih keren dan kece. Enggak tahulah, ini ‘kan baru analisa ‘kemungkinan’ saja menurut versi saya. Ojo dikandakke pak Ustadz lho ya. Nanti, saya dimarahi

BERSAMBUNG..

1 komentar:

  1. eits...panjenengan juga perpaduan nama arab dan jowo. Sudah lama tidak kelihatan, rasane kangen.

    BalasHapus