Rabu, 01 Juni 2011

KENALKAN: NAMANYA IBU SRI [2]

2. Sekarang saya tidak sendirian di kampung.

Ibu Sri yang saya bayangkan, mungkin seperti sosok seorang ibu kita Kartini. Tahu dong, siapa ibu kita Kartini?

Ibu kita Kartini putri sejati, putri Indonesia harum namanya. Begitulah lagu yang selalu kita ingat apabila tanggal 21 April tiba. Hari itu adalah hari Kartini. Pada hari itu, dari anak TK sampai ibu-ibu kantoran memakai baju kebaya lengkap dengan sanggul sebesar ban bajaj bajuri (ah…fitnah itu!). Sehari berikutnya, biasanya diperingati sebagai hari Kartono (ah… fitnah lagi, maaf)

Trus… apa hubungannya antara sosok Ibu Kartini dan Ibu Sri? Kaitannya sangat erat. Erat sekali. Pertama, dua ibu itu sama-sama lahir di Jawa Tengah, sama-sama orang Jawa. Dari sini terus lahir istilah: nJawani (bahasa gaulnya: Jawa banget)

Kedua, sosok Ibu Kartini dan Ibu Sri ibu sama-sama sendiri atau sendirian berjuang di tengah kampungnya sendiri melawan apa yang kemudian dinamakan dengan ngowah-ngowahi adat.
Kalau ada persamaanya, tentu ada perbedaannya, dong. Apa itu perbedaannya?

Perbedaan itu terletak pada tanggal kelahirannya. Kalau lahirnya ibu Kartini jelas diperingati seluruh rakyat Indonesia, yang telah berjasa sebagai sosok perjuang wanita tanpa senjata. Yang bisa membuka gelapnya dunia wanita Indonesia di masa lalu.

Pertanyaannya: kalau tanggal kelahiran Ibu Sri, siapa yang mau memperingati, ya?
Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya - sekarang juga… 3x.
Kalau tetep ngeyel ...ULTAH?! itu artinya, menyalahi aturan main (rule of game) fitrah atau khittah MTA. Hahaha.

Seperti saya tulis pada alenia pertama pada KENALKAN: NAMANYA IBU SRI [1], bahwa sebuah kecantikan itu tidak hadir dengan sendirinya. Ia tidak berdiri sendiri sebagai “cantik” itu sendiri. Ia tidak tunggal. Ia memerlukan campur tangan orang lain. Sebuah cantik memerlukan bedak, gincu, sampo, sabun dan seperangkat alat kecantikan lainnya.

Demikian juga dengan perasaan Ibu Sri yang merasa sendiri. Ada tangan yang tak terlihat (invisible hand) yang menggerakkan tangan ibu, yang membisiki hati ibu, yang mengompor-ngompori nurani ibu, untuk apa? Untuk sesuatu, yang boleh jadi bagi ibu kurang ada artinya, tidak memberikan credit point untuk mengerek karier ibu menuju puncak, atau tidak menjadikan ibu jadi kaya raya, misalnya.

Menulis SMS untuk saya, mengomentari sesuatu yang kelihatannya sangat sepele itu — tapi sesungguhnya tidak sepele. Tidak sepele artinya penting. Lantas, letak pentingya atau ketidaksepeleannya di mana?
Warga MTA Purworejo adalah kelompok minoritas di sana. Mereka (warga MTA Purworejo itu) seperti anak tiri di kampungnya sendiri. Sebagai anak tiri, tentu diperlakukan tidak sama dengan anak kandungnya sendiri. Sebagai anak tiri, perlakuan yang sering menyakitkan menjadi lauk pauk melengkapi menu makanan sehari-hari.

Ibu kita Kartini dari Klaten ini menumpahkan rasa jengkel, rasa mengkel dan rasa empatinya atas kezholiman sekelompok orang Islam (baca sendiri nama organisasi itu) kepada saudara kandungnya sendiri. Saudara kandung dalam rahim kalimat tauhdi ‘La Ilaha illallah Muhammadur Rasulullah,’ yang tak lain adalah warga MTA Purworejo.

Pada momen itulah, tanpa Ibu Sri sendiri menyadari, ada tangan yang tak terlihat (invisible hand) yang membersamai ibunya Bara ini (pengumuman: Bara ini anak kandungnya Ibu kita ini). Itulah tangan seniman Maha Agung dan Maha Kreatif, Allah SWT yang mempertemukan Ibu Sri dengan saya. Kemudian dari sini, Allah meminjamkan tangan-Nya, yang Maha Lembut itu menuliskan apa-apa yang menjadi keresahan dan kerisauan yang berkecamuk di dada saya: yang tak lain adalah berkecamuknya mayoritas warga MTA di seluruh Indonesia

Berkecamuknya resah dan gelisah itu, juga terbaca dan dibaca oleh beberapa pasang mata di belahan dunia lain, sebuah dunia yang boderless. Tidak hanya dibaca oleh seorang ibu Sri sendiri yang tinggal di pojok desa di Kabupaten Klaten. Tapi, juga ada beberapa pasang mata lain di belahan dunia Barat sana, tepatnya di California, Amerika Serikat. Ada juga dari Norwegia, Jepang, Taiwan, dan lain-lainnya yang sedang mengintip tulisan ini.

Ketika kesendirian itu dimaknai sebagai sesuatu yang tunggal, sebenarnya ada Diri yang lain yang senantiasa mengawasi dan mengurus kita: Dia-lah mengurus hidup kita selama 24 jam. Tidak hanya 24 jam, yang bisa diartikan sebagai seorang penjaga toko, ada shift siang dan ada shift malam. Akan tetapi, Allah mboten sare. Dia yang senantiasa online, dari mulai bangun tidur sampai tidur kembali, terus menerus sepanjang hayat masih dikandung badan. Dialah yang tidak pernah tidur dan mengantuk...(QS-2:155).

Dia-lah juga yang: Huwal awwalu wal aakhiru, waz zaahiru wal batatin(u)... (QS-57:3). Dia yang bertahta di Arsy itu adalah Dzat yang tidak terlihat oleh mata telanjang, tapi bisa dirasakan oleh mata batin bagi siapa pun yang dikehendaki-Nya.

Agar terasa indah dan lebih terkoneksi (connected) dengan apa yang saya sampaikan, izinkan saya mencuplik sebagian kisah film berjudul Cast Away. Sebuah film yang mengisahkan seseorang yang diperankan Tom Hanks, yang terdampar di sebuah pulau. Tidak ada orang lain di pulau itu selain dirinya sendiri. Suatu ketika ia ingin membelah kelapa untuk menyantap isinya. Karena tidak ada pisau atau golok, ia lalu membanting-banting kelapa tadi ke atas batu-batu. Lama sekali ia membenturkan kelapa,tapi tidak juga terbelah. Hingga suatu saat, tiba-tiba justru batunya yang pecah. Apa yang terjadi? Ia melihat kepingan batu yang pecah itu pinggirnya tajam. Batu akhirnya ia jadikan kapak untuk membelah kelapa. Akhirnya ia berhasil minum air kelapa dan makan dagingnya.

Kesendirian ibu Sri, juga kesendirian warga MTA seluruh Indonesia dalam mengusung tema kembali ke Al-Qur’an dan As-Sunnah (back to Qur’an), seperti Tom Hanks di film Cast Away itu.
Keajaiban, dalam hal ini, nusrutullah (pertolongan Allah) datang setelah ada benturan. ..…Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong dan meneguhkan kedudukanmu (QS-47:7). Benturan Tom Hank menghasilan kepingan batu tajam, jadilah kapak. Benturan ibu Sri dengan kesendirian menghasilan kebahagiaan (baca kembali: KENALKAN: NAMANYA IBU SRI [1])
Sekarang, jadilah ibu Sri tidak sendirian lagi. (bersambung...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar