Rabu, 15 Juni 2011

Harga Setetes IMan (4)

Dengan melihat fakta & realitas “mengajak orang Islam masuk Islam” inilah yang memicu adrenalin amarah sejumlah ormas Islam ― terutama mereka yang masih menggangap tradisi Hindu sebagai bid’ah hasanah) ― merasa punya kepentingan untuk berupaya melakukan aksi pencekalan atas sang ustadz (ah kayak orde baru saja). Upaya ini dilakukan, agar sosok ustadz kontroversial ini tak lagi ‘kurang ajar’ tampil di panggung, mengobok-obok nilai-nilai hidup berupa kearifan lokal (local wisdom) di tengah masyarakat yang sudah tertata rapi dan baik. Jika masih ngotot tampil untuk menyampaikan tausiyahnya, resiko tanggung sendiri : MATI.

Upaya menghabisi nyawa sang ustadz, rupanya tidak hanya melibatkan oknum kacangan, misalnya melibatkan preman kelas teri. Upaya yang dilakukan ternyata tidak main-main, sebuah upaya sistematis dengan melibatkan piranti hukum keagamaan yang ada (dalam hal ini MUI setempat) bekerjasama dengan aparat kemanan setempat (dalam hal ini Polres).

Konspirasi jahat yang dilakukan salah satu ormas Islam ini, mengingatkan saya akan pertuah salah satu sahabat sekaligus menantu nabi Muhammad SWA, Ali bin Abu Tholib ra. Sahabat berjuluk pintu gerbang ilmu ini berkata: “Kejahatan yang terorganisir dengan baik bisa mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir.”

Dalam kesempatan ‘Tabliq Akbar’ di Kaliajir Lor itu, Ust. Abdul Aziz menggungkapkan sejumlah bukti. Diantaranya dengan memperlihatkan satu slide berupa surat yang ditandatangani oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI) bekerja sama dengan Polisi Resort (Polres) setempat. Sayangnya, nama daerah dan tempat pelarangan dan pencekalan itu di samarkan oleh sang ustadz. Boleh jadi ini trick sebagai upaya preventif untuk mencegah terjadinya fitnah yang lebih besar.

Apa isi surat itu?


Isi surat itu tidak lain dan tidak bukan bisa ditebak. Sebuah skenario ‘sinetron opera sabun’ berupa adegan pencekalan sang ustadz. Inilah pemegang syah dan meyakinkan dari apa yang dinakaman sisa-sisa peninggalan warisan purba ‘orde baru’. Sebuah upaya pembodohan ditengah masyarakat pintar yang sudah mulai beranjak sadar pentingya melek hukum, melek teknologi dan melek kesadaran politik. Di tengah dunia yang borderless ini (dunia tidak berjarak), sebuah dunia di mana adegan perselingkuhan (baca: perzinaan) yang terjadi di belahan dunia Amerika, bisa disaksikan secara real time (langsung) saat ini juga di sini (di Kaliajir, misalnya) melalui teknologi citra satelit.

Upaya bodoh itu (ma’af, saya katakan demikian), tidak lebih bodoh dari usaha seorang ayah yang melarang anaknya − masih duduk di bangku SD kelas 4 − untuk tidak merokok. Sementara pada saat yang sama, sang ayah sendiri dengan sebatang rokok siap dinyalakan di tangan, menyalakkan atau menggonggongkan larangan itu, yang sama sekali tidak dimengerti oleh anaknya.

Apakah ustadz Abdul Aziz surut mundur ke belakang, kemudian, mengurungkan niat mulianya itu setelah mendapatakn ancaman itu?

Teknologi Ilahi itu bernama hidayah. Bila yang satu ini (QS-5:105) yang sudah terpatri kuat di dada seseorang, termasuk Al-Ustadz, tidak akan yang bisa menghalangi apalagi mengendurkan adrenalin niat dakwah bil haq. Pada point ini, Al-Ustadz yang dalam ‘tabliq akbar’-nya selalu menenteng laptop dengan fasilitas kemewahan sajian aneka olah data foto-foto sejumlah kemaksiatan aqidah ter-update di setiap perjalanan road-shownya keliling Indonesia ini, mengutip garis besar surat Al‘Araf ayat 16-17.

Pesan khusus atau semacam executive summary dari surat Al-A’raf itu diantaranya adalah:

Pertama,
Sebagai kompensasi atas keterlaknat nya syetan dengan segala cara dan upaya, dan menghalalkan segal acara, si terlaknat ini mencari pengikut sebanyak-banyaknya untuk masuk ke neraka, menemani si terkutuk ini.

Kedua,
Sebagai calon tunggal atas keterkutukanya, si laknat ini punya visi dan misi (layaknya pilkada atau pilpres) yang akan menjadikan program-prrogramnya mudah diterima audiennya, yang bertujuan untuk menghalangi manusia dari jalan kebenaran (Al-Qu’ran dan As-Sunnah).

Ketiga :
Tujuan akhirnya adalah agar manusia tidak bersyukur.
(Bersambung ……)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar