Selasa, 21 Juni 2011

Ritus Persalinan yang Mendebarkan (5-tamat)

Biasanya setelah tawa meledak, kita akan merasa lega atau ada himpiran batin yang seakan terlepas. Setelah suasana segar, pikiran jernih, kritikan dan bahkan cercaan sudah dianggap mainan kata, maka orang baru bisa melihat kehidupan yang sesungguhnya. Bila dunia sudah mampu dilihat dari perspektif tawa, maka dunia tidak akan menertawakan kita. Pemimpin yang punya rasa humor baik, penerapan demokratisnya juga akan baik. Jangan jadi Fir’aun, candanya keterlaluan, Masak mau jadi Tuhan? (Jaya Arjuna, 2010).

Itulah terapi psikologis dalam mengatasi plus melihat problematika hidup dari sisi yang paling ekstrim; sisi berbeda. Terlepas dari itu semua, marilah kita kembali kepada sebuah fakta baru bahwa lembaga dakwah ini, ya MTA ini tentunya, memang istimewa. Keistimewaan ini makin istimewa manakala berkaitan dengan lokasi Yogyakarta (baca: Gedung Sportorium UMY) sebagai tempat kelahiran jabang-jabang bayi itu.

Hukum kausalitas, semacam hukum sunnatullah begitu, atas tragedy Purworejo itu melahirlah blue print (cetak biru) rencana baru di atas rencana baru. Artinya, rencana awal adalah peresmian MTA Perwakilan Purworejo dan MTA Cabang Pituruh, Purworejo.

Di atas rencana yang sudah tersusun rapi dengan logika akal sehat manusia, ternyata tidak sejalan dengan akal Maha Sehat milik Allah Subhanallahu Wa Ta’ala.

Di luar perkiraan, Allah membuka tabir-Nya dengan cara-Nya sendiri. Peresmian beberapa cabang seperti MTA Cabang Kasihan, Kabupaten Bantul; MTA Cabang Piyungan Kabupaten Bantul; MTA Cabang Rongkop, Kabupaten Gunungkidul; MTA Cabang Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo, adalah rencana terbaik dari dan milik Allah semata.

Blue print itu bernama ndilalah. Dan ndilalah-nya lagi Yogyakarta dipilih Allah sebagai tempat untuk peresmian. Dan sekali lagi, ndilalah-nya Kota Gudeg ini lagi nyandang gerah (baca: lagi sakit) berkaitan dengan status keistimewaan yang menggegerkan itu.

Jadi, dua-duanya sama-sama sedang dikuyo-kuyo (baca: didzolimi atau dibantai) oleh sebuah rezim yang sama-sama hidup di bawah sebuah negeri yang disebut Pancasila. Yogyakarta sedang didzolimi oleh pemerintah pusat, Jakarta. Sementara MTA Purworejo dibantai oleh saudara kandungnya sendiri, yang tidak perlu saya sebut naman rezimnya.

Sekedar mengingatkan saja bahwa kosa kata ndilalah itu berasal dari bahasa Jawa, yang artinya: kersaning Gusti Allah) yang tidak lain adalah rencana terbaik menurut versi Allah Subhanallahu Wa Ta’ala.

Jadilah perkawinan ideal dan seru antara MTA yang dibantai plus Yogyakarta yang didzolimi ini melahirkan do’a yang sangat indah dan sangat makbul. Seperti sama-sama kita tahu, bahwa salah satu pintu doa agar cepat terkabul adalah doa orang yang didzolimi. Tumbu oleh Tutup, Klop-lah.

Saya kemudian teringat kisah tentang terkabulnya sebuah doa. Yakni kisah tentang kerasnya seorang ibu dalam menyelamatakan buah hatinya yang terjadi ribuan tahun yang lalu di tengah panasnya gurun Sahara. Kisah monumental itu adalah perjuangan seorang ibu bernama Siti Hajar, bersama bayinya yang ditinggal suami di sebuah lembah padang pasir yang gersang. Sekian lama tak minum, air susu pun mengering. Si bayi yang kehausan itu tentu menangis keras dan meronta-ronta.

Bagaimana perasaan si Ibu? Tentua saja hatinya teriris mendengar tangisan buah hatinya. Ia cemas dan takut memikirkan keselamatan bayinya yang didera dahaga di tengah padang pasir yang kering kerontang tak berair itu.

Apa yang dilakukan si ibu di tengah kekalutan perasaan, sungguh di luar dugaan. Dalam stresnya, ia tak terpuruk dan terdiam, namun melakukan langkah dramatis. Yaitu berlari mencari air ke atas bukit.

Secara logika, kecil kemungkinan adanya air di atas bukit yang gersang itu. Namun ia tak menghentikan usahanya. Ketika dibukit Shafa dan tak menemuknan air, ia pun menuju Marwah. Begitu pula ketika di Marwah tak ada air, ia pun bergegas lagi ke Shafa. Berkali didatangi kedua bukit itu. Berkali pula yang ia temukan, kecuali kegersangan semata. Namun ibu ini tetap tak pusus asa.

Atas kebesaran Allah, memancarlah air dari sebuah sumur yang kemudian bernama air zam-zam. Bukan dari dua bukit yang terus di datangai sang ibu. Namun justru keluar dari dekat telapak kaki sang bayi.

Wanita yang melegenda itu mengajarkan dua hal. Keyakian kuat akan pertolongan Allah dan konsisten dalam berusaha dan bekerja. Dari kisah wanita tangguh itu pula, terselip semuah amanah. Sebuah amanah yang sudah built in dengan seorang ibu dengan naluri cinta dan kasih sayang pada anak-anaknya.

Disebut ibu, karena ia dititipi plus ditugasi untuk memikul salah satu dari ‘Sembilan Puluh Sembilan’ Asma Allah, Asma’ul Husna: “AR- RAHIM” (Maha Pengasih).

Kelahiran 6 perwakilan dan cabang MTA tanggal lahir 5 Juni 2011 yang lalu, diantaranya: MTA Perwakilan Purworejo, MTA Cabang Pituruh, Purworejo, MTA Cabang Kasihan Kabupaten Bantul, MTA Cabang Piyungan Kabupaten Bantul, MTA Cabang Rongkop Kabupaten Gunungkidul, MTA Cabang Nanggulan Kabupaten Kulon Progo, tidak bisa terlepas dari intervensi sifat Ar-Rahim-Nya Allah tersebut.

Terbukti sudah, kalau Allah sudah berkendak dengan ‘kun fayakun” tak seorang yang bisa mengelak dan menghalangi. Sekalipun seluruh masyarakat jin, manusia, binatang, syetan, dan bahkan malaikat sekalipun bersatu untuk menggulingkan kekuasaan Allah, pasti dan mutlak pasti tidak bakal bisa melawan kehendak Allah.

(Tamat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar