Senin, 27 Juni 2011

RUMPUT TETANGGA LEBIH HIJAU [2]

A Little Zoo

Dalam bahasa kita, Rasulluah mengingatakan bahwa di dalam dada manusia ada segumpal darah. Kalau segumpal darah itu baik , maka baiklah manusia. Tapi kalau segumpal darah itu jelek, maka jeleklah manusia itu. Apa segumpal darah itu? Segumpal darah itu adalah hati.

Apa kaitannya segumal darah yang disebut hati itu dengan si boss pemilik a little zoo?
Segumal darah itu, memang ada di dada si pemilik a little zoo. Sehat malah. Ciri khas orang sehat itu, yang pertama dan utama ‘kan gendut. Sebuah tanda kemakmuran, kata orang.

Dengan punya hati itu, si bos pada akhirnya tidak sampai hati, untuk kemudian tetap menjaga hati, agar bertindak hati-hati: jangan sampai tidak memberi makan barang satu hari saja.
Konsekuensi logis dari tindakan tidak memberi makan kepada klangenannya itu adalah tindakan yang tidak berperi-kehewanan. Tindakan bodoh itu akan membawa kematian hewan-hewan yang telah menjadi tanggung jawabnya.

Sekali lagi apa sih yang istimewa dengan tulisan ini?

Di lubuk hatinya yang tidak kasat mata, di sudut hati yang lain, lokasinya tak jauh dari hati yang tersembunyi di dalam dadanya itu, si bos tidak pernah memberi makan hatinya dengan asupan gizi yang cukup. Asupan gizi itu adalah makanan hati yang disebut santapan rohani. Lebih tegas dan lebih jelasya, ia - si bos itu - wajahnya tidak pernah tersentuh air wudlu alias tidak pernah.

Apa yang terjadi kemudian?

Pernah suatu ketika, si bos yang tak lain adalah tetangga dekat saya ini sempat perang mulut dengan istrinya. Tidak tahu persis apa yang menjadi motif pertengkaran itu. Solusi yang biasa ditempuh, mungkin hanya boleh dan pantas dilakukan oleh seekor binatang saja.

Dengan sebilah belati di tangan, si bos tadi siap menghunus alat yang biasa untuk memotong brambang, bawang, dan sejenisnya itu, siap ditusukkan ke perut anak pertamanya yang berumur 18-an tahun. Pada saat bersamaan, istrinya siap pasang badan. Menggantikan posisi si anak, untuk menghalangi nafsu binatang sang suami menghabisi nyawa anaknya.

“Aku wae sing mati, pak” cegah istrinya menghadap persis di ujung sebilah belati yang siap ditikamkan ke dada istrinya.

Melihat istrinya, ya belahan jiwanya, ya sigaraning nyawa itu siap mengirim nyawanya, hati si bos atau sang suami ini luruh dan mengurungkan niatnya. Tidak beberapa lama, drama setengah babak itu pun berakhir. Dan berakhir pula drama pembunuhan.

Apa motivasi seorang bapak, begitu tega membunuh buah hatinya?

Seperti sabda Rasulullah di atas, segumpal darah yang disebut hati itu telah rusak. Hal ini diperparah dengan tata pergaulannya dengan komunitas binatang piaranya. Tiap hari ia berinteraksi dengan para binatang itu. Memberi makan binatang itu, it’s ok. Bahkan sangat mulia dan itu sudah kewajibanya.

(bersambung..)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar