Minggu, 12 Juni 2011

Harga Setetes IMan (1)

Dalam olah disiplin rohani, ada garis merah yang sangat tegas — mungkin semacam police line (garis polisi) yang biasanya dipasang di tempat kejadian perkara (TKP), bahwa iman adalah bagian yang tak terpisahkan dari amal. Dalam bahasa Arab, kata “iman” memiliki arti “menjadi aman.” Dalam alam kesadaran umat Islam, iman selalu berhubungnan dengan ilmu.

Dengan demikian, ketika iman sudah tertanam lalu tertancap kuat di dada, itu artinya kita menjadi aman. Aman dalam hal apa? Aman dalam hal apapun, karena dalam iman itu, Allah SWT selalu membersamai orang beriman itu sendiri. Karena, seperti kita tahu, “qolbun muslimin baitullah”, hati orang beriman itu adalah rumahnya Allah. Dan, kalau mau merujuk kepada satuan tempat, maka tempat yang paling aman bagi manusia di dunia ini adalah Ka’bah (QS-2:125)

Tidak heran, bila iman sudah berguncang di dada, maka cita-cita tertinggi berikutnya adalah membuat appointment dengan Allah untuk mendekati titik paling aman di dunia: bersegera memenui undangan-Nya untuk menunaikan ibadah haji.

Iman itu harganya mahal, Bung. Maka kisah tentang sukses akses hidayah seorang Pendeta Hindu dari kasta Brahmana ini mudah-mudahan jadi buah bibir. Menjadi bibir yang menginspirasi banyak orang Islam untuk mulai menyadari. Sebuah kesadaran yang merupakan entry point untuk sesekali keluar dari rumah kita. Oh… ternyata kita perlu juga lo ..sesekali saja keluar dari rumah kita. Keluar rumah kita untuk mengambil jarak. Oh ternyata dari luar atap rumah kita ada yang bocor. Di tempat lain, tembok di belakang rumah kita ada yang mulai mengelupas.

Dari pemahaman ini, kita dapat menarik benang merah kesimpulan, bahwa apa yang selama ini kita anggap benar ternyata belum dan tidak benar menurut sumber aslinya. Kita kurang dapat informasi dari pihak luar yang lebih tahu, lebih kompeten dan lebih mengerti. Untuk itu kita perlu second opinion, semacam pendapat orang lain yang tahu duduk permasalahan yang sesungguhnya. Taruhlah dalam hal ini Ustadz H. Abdul Aziz, yang nota benenya adalah orang luar di rumah kita. Dia-lah yang tahu: ternyata rumah kita itu bocor, rumah
kita itu mengelupas temboknya, dan perlu segera diperbaiki.

Dari kisah ini pula, seorang saya yang lahir dan besar di lingkungan keluarga super fanatik nahdliyin (baca: warga NU) pada akhirnya harus menyadari, bahwa apa yang selama ini saya anggap sebagai bid’ah hasanah — mulai pendake, nyatuse, nyewune dan kawan-kawan — itu ternyata bagian dari agama Hindu.

Menyadari kekeliruan seperti itu, seolah saya menjadi manusia yang paling malu, tersinggung sekaligus marah. Komposisi ketika perasaan itu campur aduk seperti gado-gado rasa balado. Sangat boleh jadi, dengan komposisi yang sama tapi dengan tingkat kepedasan yang berbeda, perasaan seperti itu juga dialami dan dikunyah dengan perasaan berbeda pula oleh kebanyakan warga MTA di seluruh Indonesia.

Sepersekian menit sehabis nonton VCD ini — yang kisahnya saya format ulang menjadi ‘read a story’ di bawah ini — saya langsung tertunduk diam. Dalam diam itu, saya menyatakan sekaligus memproklamasikan sebuah negeri atas koloni diri saya sendiri dengan status MERDEKA. Merdeka artinya ‘putus hubungan’ dengan “pendake bin nyatuse bin nyewune beserta anak cucu dan cicitnya.

Pada saat yang sama, ketika saya berstatus sebagai ‘muallaf’ dalam hal menjauhi agama nenek moyang itu, sebuah mulut harimau sudah siap menghadang dan menerkam saya bulat-bulat dan mentah-mentah, persis di depan saya. Selang beberapa hari kemudian, ada tetangga meninggal dunia. Ini artinya, nyala iman ini harus saya pertanggungjwabkan. Dengan kata lain, seekor harimau dengan mulut menganga lebar bernama caci makian dari masyarakat dengan cakar-cakar kuku yang tajam itu siap mencabik-cabik saya Jadilah saya pesakitan di tengah kampung saya sendiri.

Inilah harga keimanan yang harus saya bayar mahal.

Acara tujuh hari, yang biasanya dimulai hari geblak-e (meninggalnya si mayit), yang diisi dengan bacaan tahlil dan yasinan, secara resmi tidak saya ikuti. Dengan demikian, saya menjadi alien, makhluk aneh di kampungnya sendiri.
(bersambung ...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar