Kamis, 16 Juni 2011

Harga Setetes IMan (5)

Antara Iman Perjuangan dan Iman Warisan

Kisah tentang ustadz H. Abdul Aziz di atas adalah kisah tentang seorang muallaf yang lahir dari pergulatan batin bernama ‘Iman Perjuangan’. Sisi lain dari kisah muallaf ini, juga bisa dilacak dan dibaca pada sosok Dr. M.Syafii Antonio. Beliau adalah seorang tokoh yang sudah tidak asing bagi dunia Islam khususnya di Indonesia yang sangat dikenal dengan pelopor atau tokoh dunia ekonomi syariah atau perbankan syariah. Sebagai seorang mualaf, beliau juga yang sangat fasih berbahasa Arab dan memiliki segudang kesibukan di kancah dunia perbankan syariah.

Kisah muallaf adalah kisah tentang orang-orang terpilih dan sengaja dipilih Allah, yang dikehendaki-Nya untuk meneruskan sebuah dogma prerogatif Allah bahwa hidayah itu kehendak Allah. Tak seorang pun boleh ikut campur. Hatta seorang sekaliber Rasulullah SAW pun tidak berhak memilikinya. Hatta untuk membimbing, memberikan pencerahan kepada pamanda Nabi sendiri.

Iman adalah kado terindah dari Allah SWT. Satu-satunya yang paling berharga yang dipunyai oleh makhluk bernama manusia. Makluk lainnya, tidak ada yang berhak. Kecuali atas izin Allah. Seekor burung Hud-hud, misalnya, menjadi akses hidayah bagi seoranga ratu yang cantik nan jelita: Ratu Bilqis.

Tetes-tetes hidayah adalah tetes embum pagi. Ia menetes dan menyusup di sela-sela kesibukan orang bekerja. Atau juga di sela orang lagi mabuk. Atau menyusup ke dalam pelukan seorang pelacur sekaliupn. Tentang yang terakhir ini, adalah kisah anjing di kasih minum sama sang pelacur itu. Gara-gara ini, ia dapat tiket masuk surga.

Ternyata masuk surga itu gampang ya..

Apakah karena begitu gampang, kemudian kita melacurkan diri lantas cari anjing ‘tuk dikasih minum, detik berikutnya kita dapat tiket surga?

Ya enggak lah. Dan tidak sesederhana itu.

Maka, jangan lihat sebelah mata dan anggap hina seorang pelacur. Boleh jadi ia menyodorkan cermin untuk kita mengaca diri. (ngaca-ngaca dong!) Cermin itu juga memantul ke istana presiden, yang pada detik-detik ini dikudang banyak orang. Cermin yang sama juga memantul ke senayan, tempat para anggota Dewan yang terhormat itu, pada detik-detik ini, pada derajat tertentu juga sedang melacurkan dirinya. Bukan tubuhnya, sih. Tapi, melacurkan organ tubuh bernama otaknya untuk kepentingan dirinya sendiri, golongannya, partainya. Bukan untuk memikirkan kepentingan rakyatnya, sebagaimana kontrak moral politik yang mereka ikrarkan dan janjikan ketika pemilu berlangsung. Sebuah entitas yang hanya disebut dan diabsen kala pemilu datang menjemput.

Pelacur masuk surga itu atas kehendah Allah. Dan suka-suka Allah-lah ngasih hadiah terindah itu kepada siapa yang dikehendaki.

Itulah teknologi hidayah. Sebuah teknologi yang belum pernah diajarkan kepada seorang nabipun. Tapi para nabi itupun tidak bosen-bosennya menjadi marketer Allah. Menjadi ‘brand ambassador’ bagi poduk hidayah itu sendiri. Para Nabi itu terus dan terus memburu untuk mencari muka bernama ibadah ‘tuk mendapatkan credit point serupa 10001 wajah bidadari, yang kelak akan di panen di kampung akhirat.

Tidak masalah berapa liter air mata yang telah tumpah, berapa gallon darah merah yang tercecer, dan berapa tarikan nafas yang hilang sia-sia pada diri Nabi-nabi itu. Tujuannya hanya satu: persembahan untuk to do the best. Selebihnya , hanya untuk mengais sebutir debu ridho-Nya.

Setelah setetes iman masuk ke dalam dada diri-diri mereka — dada para muallaf itu — sebuah perjuangan berat itu baru dimulai. Untuk mendapatkan restu dari orang-orang yang dicintainya — baik dari orang tuanya, saudara-saudaranya, lingkungan yang membesarkannya — butuh waktu tidak satu dua hari. Mereka butuh waktu berbulan-bulan untuk mendapatkan semacam legitimasi, baik secara mental, fisik, dan intelektual di wisma keimanannya yang baru.

(bersambung..)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar