Jumat, 24 Juni 2011

There’s No Free Lunch [3]

Strategy without tactics is the slowest route to victory.
Tactics without strategy is the noise before defect.
— Sun Tzu.

Para pembaca majlis Azzaytuna yang budiman, monggo silakan membuka kembali artikel saya berjudul “Mengemis pada Pengemis”. Saya mohon untuk flash back ke suatu masa JADUL, membuka kembali shirah nabawiyah itu untuk satu maksud: Membuka luka sejarah. Luka sejarah yang pernah ditikamkan dan dihunjamkan ke sebuah dada lapang nan lebar. Sebuah dada yang didalammnya ada segumpal daging merah bernama: HATI.

Di hadapan sang pemilik HATI itu, ada seorang pengemis — buta dan Yahudi lagi — dengan mulut penuh makanan sambil ngoceh binti ngomel ngalor ‘en ngidul. Yap.. sembari mengunyah makanan-makanan itu, sebilah pisau belati dengan ketajaman tertentu mengiris-iris, merobek-robek, mencacah-cacah hati sang pemilik HATI itu.

Kembali saya ingatkan lagi akan kisah itu, bahwa pada rongga mulut orang menjijikkan itu — setidaknya menurut penilaian kebanyakan orang — ada sekumpulan makanan. Sekumpulan makanan yang sedang dikunyah dengan enak dan nyaman itu adalah hasil kunyahan sang pemilik HATI, yang pada saat itu juga, pada saat bersamaan sedang berlangsung proses pencacah-cacah hati oleh pengemis tadi.

Pekerjaan yang bertolak belakang itu: mencacah-cacah hati yang dilakukan si pengemis dan penyuapan makanan oleh sang Pemilik HATI adalah dua pekerjaan yang dilakukan dua orang dengan keyakinan yang berbeda. Dan dua orang yang bukan sanak bukan kadang, ya.. bukan saudara.

Dua-duanya dilakukan dengan rasa nyaman dan enjoy. Pihak yang disuapi, sama sekali tidak merasa bersalah apalagi berdosa telah mencacah hati. Di pihak lain sang pemilik HATI juga tidak merasa terusik sedikit pun akan proses pencacahan hati.

Tahukah Anda, apakah warna, bentuk, dan karakteristik sebilah pisau belati yang ada dirongga mulut si pengemis buta dan Yahudi itu?

Sebilah pisau belati yang amat tajam dan berbisa itu, kalau dikonversikan dalam bentuk kalimat adalah seperti ini: “WAHAI SAUDARAKU JANGAN DEKATI MUHAMMAD. DIA ORANG GILA, PEMBOHONG DAN TUKANG SIHIR. APABILA KALIAN MENDEKATINYA KALIAN AKAN DIPENGARUHINYA”

Just imagine. Coba bayangkan. Sekali lagi : B-A-Y-A-N-G-K-A-N.

Bisa saya bantu, bagaimana cara membayangkan? Pejamkan mata, tarik kosmis kesadaran hati sepenuh langit sepenuh bumi. Bahwa saat ini Anda sedang melakoni episode hidup sebagaimana Muhammad lima abad yang lalu.

Buka mata kembali. Lalu rasakan energy Nur Muhammad itu masuk memenuhi rongga dada Anda lalu menetes pada sopotong hati Anda.

Okey! Alhamdulilllah berhasil.

Lakukan sekali lagi untuk mencapai trigger efek self confidence yang lebih kuat.

Okey tahap kedua: berhasil! Alhamdulilllah.

Langkah terakhir: menangis lah sekeras-kerasnya. Sepenuh langit sepenuh bumi. Setelah itu, mungkin ada semacam rasa aneh yang menelusup, juga menyergap: semacam keterharuan, mungkin. Jika demikian, maka itulah yang disebut sebentuk pengamalan atas perasaan haru atau empati, yang pada detik berikutnya perasaan empati itu akan membuka berbagai jenis pengahayatan yang sifatnya sangat personal, sangat pribadi.

Pada dimensi itu, kita tahu diri, lalu bertanya: siapakah aku? Apa sih yang sudah kita persembahkan untuk sang pujaan hati itu. Beliau yang telah merisaukan dirinya untuk sebuah entitas ummati dan ash-sholah, dan demi sebuah pengorbanan yang saat ini kita kenal dengan ISLAM.

Tidak malukah kita betapa ciri orang beriman itu adalah “khoirunnas anfa’uhum linnas”? Kontribusi apa ya — kira-kira aja — yang bisa kita dedikasikan untuk sang pujaan hati itu. Kalau begitu, bersegera saja membuka kesadaran baru tentang “a new knowledge’, sebuah tanya tentang sangkan paraning dumadi.

Rasa empati yang sama, juga dialami oleh seorang Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau, yang tak lain adalah menantu sekaligus teman karib Baginda Rasulullah SAW. Pada titik kesadaran tertentu dan demi mengetahui dan mendengar dengan mata dan kepala sendiri atas testimoni (kesaksian) seorang pengemis Yahudi itu. Maka menangislah khalifah pertama ini di hadapan si pengemis.

Saya tahu persis, hati orang paling mulia di bawah satu derajat Kanjeng Nabi Muhammad ini, bukan terbuat dari batu. Saya juga tahu persis, bagaimana beliau menyembunyikan rasa sakit lalu menahannya akibat digigit ular, kala bersemunyi di sebuah gua. Tapi rasa sakit ini, jauh lebih sakit dibandingkan dengan luka yang begitu menusuk di sebuah lokasi di mana Allah tinggal di situ [qolbun muslimin baitullah].

Mungkin inikah yang disebut ‘Strategic of Heart’ (istilah saya aja lho, jangan dimasukan dalam hati) dari sang pujaan hati kita, yang telah menaklukkan dunia untuk sujud di bawah telapak kaki peradaban Islam dengan strategi hatinya itu.

Atau inikah strategi sekaligus taktik yang tidak gratis itu. There’s no free lunch.

Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar