Kamis, 02 Juni 2011

Kisah Para Peluru (1)

Angka 877 adalah angka kecepatan peluru senapan angin saat melesat menembus titik sasaran tembak. Dengan logika yang sama , angka 877 kilometer per jam adalah angka kecepatan sekaligus percepatan (acceleration) yang dimiliki warga pengajian Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) binaan Blonotan, Piyungan, Bantul. Pengandaian Angka 877 adalah batas psikologis bila dikaitkan dengan tingkat kecepatan warga MTA dalam hal penyadaran (awareness) sebuah hakekat kebenaran bernama pelurusan aqidah.

Dengan kecepaan dan percepatan itu, mereka yang dulu adalah perokok kelas berat ketika sudah berkenalan dengan MTA, berubah drastis (180 derajat) tidak merokok sama sekali. Mereka yang dulunya rais majlis dzikir, dengan kecepatan yang sama, langsung undur diri dari forum yang membesarkannya itu, yang pada titik tertentu, jadilah ia bahan olok-olok, yang tak lebih dari sampah di tengah masyarakatnya.
Terlepas dari itu semua, setiap minggu sekali, para peluru ini memiliki sebuang ajang kumpul bareng (kajian kelompok). Ajang kumpul bareng ini adalah semacam mengisi ulang bateri (nge-charge) keimanan mereka.
Pada ajang ‘uji nyali’, ini lebih di titik-beratnya pada kajian ulang, atau lebih pasnya disebut sebagai ‘pendalam materi. Acara yang digelar tiap hari Sabtu ini, bukan sekedar kumpul-kumpul tetapi lebih pada ajang meningkatkan pemahaman dan pendalaman sebuah materi yang telah disampaikan ustadz pada ngaji sebelumnya, yakni hari Senin.

Secara psikologis kedekatan antar jamaah, ada hubungan emosional yang hangat, seperti persahabatan, kekerabatan, rasa kekeluargaaan, persaudaraan dan juga (jangan lupa!) kehangatan geneologis masalah yang sama: sama-sama merasakan pahit-manisnya menjadi the public enemy (musuh bersama) di tengah-tengah kampungnya sendiri. Bahkan tak jarang: istri, orang tua, mertua dan saudara-saudaranya sendiri adalah musuh utama di rumahnya sendiri. Menjadi musuh dalam selimut.

Durasi acara yang hanya 1 jam, ini benar-benar dimanfaatkan sebagai ajang curhat (curahan hati) atau sharing. Dari sharing inilah kemudian muncul sebuah hidden power (kekuatan tersembunyi) yang saling menguatkan dan merekatkan tali kasih diantara jamaah.

Mereka berasal dari latar belakang sosial, ekonomi dan politik yang berbeda. Mereka juga berasal dari arus besar (mainstream) yang berbeda, yakni NU (Nahdatul Ulama) dan Muhammadiyah. Dari sisi pekerjaan, mereka juga berasal dari profesi yang berbeda, seperti petani, pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI/Polri, pedagang, bahkan pelajar setingkat SMU.

Tidak hanya itu, mereka datang ke pengajian ini bersama anak dan istrinya, sebatih, sekeluarga. Yang justru terlihat di pengajian ini, lebih kepada acara rekreasi keluarga, sebuah makna lain dari wisata spiritual. Kadangkala di tengah asyik-asyiknya pengajian, seorang anak dengan jilbab kedodoran berlari mencari kemudian menggelayut manja di panggkuan bapaknya. Pada saat yang sama, si anak tadi, berlari lagi ke pangkuan ibunya. Begitu, terus berulang. Bila di jamaah ini ada dua sampai tiga anak, maka celoteh anak-anak ini beradu lantang dengan suara ustadz yang sedang mengumandangkan tausiahnya.

Pemandangan kontra-produktif ini apakah tidak mengganggu kegiatan mengaji?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar