Selasa, 14 Juni 2011

Harga Setetes IMan (3)

“Ayah!” teriak sang anak yang nyaris saja meregang nyawa andai sang ayah tak segera datang.
Itulah detik-detik penuh tragedi, penuh ketegangan, sebuah aksi pembunuhan yang gagal atas seorang muallaf bernama Ida Bagus Sulinggih Winarno, yang dikemudian hari berganti nama menjadi Abdul Aziz.

Bagi yang pernah nonton CD kisah perjalanan seorang muallaf bernama Ustadz Abdul Aziz versi cerita tertulis di atas, tentu saja tidak akan pernah Anda ditemukan di CD itu. Benar. Memang, cerita tersebut hanya fiktif belaka, tapi masih tetap berpijak pada fakta sejarah dengan aktor tunggal sang Ustadz itu sendiri, dengan sedikit eksploitasi imajinatif penulis, untuk menggambarkan betapa sebuah horror pembunuhan sangat mengerikan.

Begitulah fakta yang banyak dijumpai, ketika akses hidayah masuk dalam kalbu seseorang muallaf − tentu saja hidayah itu atas intervensi sang Khaliq − selalu diiringi dengan terror hantu yang jauh lebih mengerikan dari hantu itu sendiri, seperti kisah Ustadz Abdul Aziz di atas.

Jadilah ustadz Abdul Aziz − khususnya hari-hari ini − sebagai a man of paradox. Ia, di mata sebagian umat Islam yang masih mengkultuskan apa yang dinamakan tradisi Hindu yang diangga tradisi baik dari nenek moyang, adalah sejenis manusia most wanted, untuk segera dihabisi.

Rencana percobaan pembunuhan ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ. Ketika sang Ustadz, untuk pertama kalinya mengucapkan dua kalimat syahadat, aktor intelektualnya adalah pamannya sendiri, segaris sedarah dalam kasta Brahmana.Tapi sekarang, serangkaian upaya pembunuhan itu dilakukan oleh orang-orang yang tak lain adalah saudara kandung dalam rahim keimanan Islam. Mereka yang benci itu, menginginkan agar sang ustadz tidak mengobrak-abrik nilai-nilai dan tatanan di masyarakat yang sudah ada, yang sudah mapan.


Tradisi nenek moyang yang dikultuskan oleh sebagian umat Islam sekarang ini, menurut sang ustadz dalam acara ‘Tablig Akbar’ bersama Ustadz Abdul Aziz, di Masjid Nurul Iman, Kaliajir, Berbah, Sleman, pada hari Kamis 10 Maret 2011, tidak lain adalah ajaran agama Hindu yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menyerupai Islam.

“Islam rasa Hindu atau Hindu rasa Islam”, demikian sang Ustadz mengistilahkan. Sang Ustadz mengatakan demikian, karena sejak mulai bayi cenger (maksudnya bayi merah) dia hidup berkubang dengan acara-acara yang saat ini masih merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam tubuh umat Islam ini sendiri.

Pada titik ini, masih menurut sang Ustadz sambil mengajukan pertanyaan, mengapa aroma keimanan Hindu yang dulu pernah dikecapnya, kok masih sangat terasa sama, sama rasa sama nikmat, dengan aroma keimanan Islam yang baru dianutnya ini? Didorong oleh penasaran “ Islam rasa Hindu atau Hindu rasa Islam”, inilah sang Ustadz berkeliling ke sejumlah daerah untuk mengadakan road show bertema ‘Tablig Akbar’ bersama mantan Pendeta Hindu, Ustadz Abdul Aziz.

Dari serangkian road show yang pernah dilakukannya, setidaknya dalam lima tahun terakhir, ada sejumlah fakta yang mengejutkan sekaligus menggembirakan. Menurut data yang sudah dikumpulkan oleh Ust. Abdul Aziz sendiri, ada sekitar 400-an orang yang sudah masuk Islam. Mereka ini berasal dari kantong-kantong agama Hindu di Jawa Timur, terutama di daerah Lumajang. Bahkan pada awal tahun 2011 saja, tepatnya bulan Februari lalu, di daerah Bengkulu dan Lampung, ada sekitar 19 orang telah masuk Islam, yang dulunya beragama Hindu.

Dari data dan fakta sejarah terkini inilah, kemudian ustadz menarik sebuah garis merah kesimpulan bahwa mengajak orang Hindu masuk Islam itu mudah, karena latar belakang keyakinan mereka yang sama dengan sang ustadz. Tapi sebaliknya, ironisnya dan tragisnya, mengajak orang Islam masuk Islam yang kaffah, dengan meninggalkan segala aksesoris plus pernak-pernik ke-Hindu-annya (baca: warisan nenek moyang), jauh lebih susah.
(Bersambung ……)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar