Sabtu, 04 Juni 2011

Kisah Para Peluru (3)

1. Si Mbah Putri

Sinten asmané mbah?

Sebut saja dia si mbah putri. Dari cara jalanya yang sudah membungkung, saya taksir usianya sekitar 80-an tahun ke atas. Si mbah ini adalah prototipe manusia langka, the extraordinary-grandmother. Dengan energy ekstra sepuh-nya itu, dia begitu aktif dan selalu hadir on time dalam pengajian rutin jamaah MTA. Satu hal lagi, beliau selalu istiqomah hadir dalam majlis yang digelar satu minggu sekali itu.
Tidak hanya itu, beliau juga aktif melontarkan pertanyaan, di saat-saat jamaah sudah kehabisan amunisi pertanyaan.

“Nyuwun pirso pak Ustadz, nyuwun diterangaken artosipun surat Ad-dhuha.” Beginilah salah satu contoh pertanyaan si Mbah kita.
Satu detik kemudian, pak Ustadz meminta salah satu jamaah untuk membacakan surat Ad-Dhuha dan terjemahannya. Lalu, pak Ustadz menjelaskan makna dibalik ayat per ayat dalam surat Ad-Dhuha itu.

Di balik pertanyaan si Mbah kita ini, ternyata ada nuansa baru tanpa si Mbah sendiri menyadari. Bahwa dengan pertanyaan itu, beliau telah berjasa mengantarkan semacam credit point berupa seserepan (senilai ilmu hikmah) kepada jamaah yang lain.

“Matur sembah nuwun, pak Ustadz,” jawab Si Mbah puas, mengiringi dan mengamini penjelasan pak Ustadz.
Di luar pertanyaan itu, tidak jarang muatan pertanyaannya si Mbah ini sangat kritis dan kadang di luar pemikirannya bila dikaitkan dengan tingkat pengetahuan keagamaanya tidak kalah dengan anak-anak muda sekarang. Tapi upayanya itu haruslah tetap diapresiasi, dihargai.

Dengan langkah yang sudah membungkuk―sebuah isyarat bahwa sebentar lagi sang malaikat akan datang menjemputnya―si mbah menyadari sepenuh hati, bahwa ikut bergabung dengan majlis ini akan selalu memberikan inspirasi dan nilai tambah bagi investasi amalnya. Untuk alasan itu, si mbah selalu duduk paling depan, di belakang jamaah laki-laki. Sebuah keteladanan yang tidak semua orang bisa menirunya.

Melihat sosok si mbah yang ruaar biasa ini, mengingatkan saya akan sebuah kisah joke yang pernah dilontarkan baginda nabi SAW. Suatu ketika datanglah seorang nenek yang bertanya perihal surga. Kalau dilihat dari umurnya, boleh jadi si mbah penanya tentang surga kepada baginda nabi Muhammad SAW mungkin seusia nenek asal Blonotan ini.

“Apakah saya masuk surga?” tanya si nenek kepada baginda Nabi SAW.
“Di surga tidak ada nenek-nenek keriput seperti si mbah” canda utusan Allah tanpa bermaksud melecehkan pertanyaannya. Demi mendengar jawaban seperti itu, si nenek menjawab jengkel dan kemudian mendengus sambil menangis.

“Jangan menangis, nek” hibur Rasulullah, “Di surga tidak ada lagi orang keriput, yang ada hanya perawan. Di surga nanti nenek akan kembali menjadi perawan.”(bersambung...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar