Senin, 13 Juni 2011

Harga Setetes IMan (2)

Penasaran?simak kisahnya berikut ini.

Sebenarnya, pembunuhan itu yang sudah direncanakan dengan rapi terhadap seorang lelaki dari kasta Brahmana. Otak pembunuhan, atau lebih tepatnya aktor intelektual dibalik rencana busuk itu, ternyata bukan sembarang orang, the extraordinary-man. Lelaki bertangan dingin itu tak lain adalah pamannya sendiri. Sang paman menginginkan, ‘akulah sang algojo’ demikian sang paman berkata kepada dirinya sendiri, yang akan mengeksekusi untuk memenggal leher keponakan yang telah murtad dari ajaran agama nenek moyangnya itu. Hindu.

Hanya satu hal yang diinginkan sang paman. Sang paman membayangkan, betapa darah merah yang masih hangat dan segar itu muncrat dari leher keponakannya, lalu membasahi wajah, merambat pelan memandikannya. Sang paman bermandikan darah. Darah itu laksana parfum kasturi perlambang diterimanya ‘aksi pembunuhan sadis’ dihadapan para dewa-dewinya seligus tuhannya.

“Inilah persembahanku yang paling agung wahai dewa-dewiku”, teriak sang paman puas.

Di balik kalbu yang paling dalam, nun jauh disana, hati sang paman berbisik “Inilah pembalasan atas pengkhiatan yang telah kau lakukan cah bagus. Dasar pengkhianat”

Blue print rencana pembunuhann itu sudah meletup-letup di otak sang paman. Maka dibawalah sang keponakan itu masuk ke dalam sebuah kamar gelap. Detik-detik menegangkan berlalu. Si keponakan diikat pada sebuah kursi. Sebelum akhirnya, sang paman memberikan satu permintaan terakhir, siapa tahu si keponakannya mau bertobat dan kembali kepada keyakinan asalnya, agama Hindu.

Rupanya tak ada kata menyerah pada diri keponakannya. Yang justru terjadi adalah dia semakin kukuh untuk tidak mau kembali ke ajaran nenek moyangnya. Sebersit keraguan muncul di sana, sebelum memutuskan untuk mengeksekusi sang keponakan. Sekali lagi ia pandangi sosok lelaki dihadapannya ini. Dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Dengan sangat hati-hati, ditutupilah sepasang mata keponakannya dengan secarik kain. Cara ini ditempuh untuk menyembunyikan kegugupannya sebagai bentuk penghormatan terakhir terhadap sang keponakan, sekaligus sebagai sebentuk kasih sayang. Bagaimanapun juga si anak durhaka yang ada dihadapannya dan yang akan dibunuh ini adalah darah dagingnya sendiri, sama-sama memiliki darah biru dari garis keturunan kasta tertinggi dan terhormat: Kasta Brahmana.

Dengan penuh perhitungan dan sangat hati-hati, dengan harapan sakaratul maut keponaknnya ini berakhr dengan happy ending (baca: khusnul khotimah). Dengan harapan yang sama, dia juga tidak ingin, sakaratul maut ini dintip oleh orang lain termasuk keponakannya sendiri, bahkan malaikat maut sendiri pun kalau bisa jangan mengintip dan ikut campur.

Sepersekian detik kemudian, seberkas cahaya masuk dari celah daun pintu. Aksi pembunuhan itu gagal dilakukan. Sesosok tubuh berkelebat dibalik keremangan malam muncul secara misterius, seiring daun pintu didobrak. (bersambung...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar