Senin, 06 Juni 2011

Kisah Para Peluru (5)

3. Bapak Wandi

Masih ingat isitilah cicak versus buaya. Siapakah yang kali pertama mempopulerkan isitilah kontraversial itu.
Benar. Dialah Susno Duaji. Mantan Kabareskim ini adalah saudara kandung dalam rahim institusi bernama Kepolisian. Apakah Pak Wandi suka menilang orang. (wah saya tidak tahu itu)
Belajar ngaji di MTA Blonotan, Bapak Polisi yang satu ini, termasuk warga MTA yang paling militan. Militannya pak polisi ini, jangan diartikan suka main tilang. Militan disini adalah ghirah, sebuah semangat menyala-nyala, untuk tampil menjaga amanah hati, menjaga iman, agar tidak tergerus, tergores, dan terlindas kejamnya roda dinamika kehidupan dunia, sebuah roda bernama kepolisian

Wajah polisi pada hari-hari ini adalah wajah polisi yang coreng-moreng. Sebuah fakta membuktikan bahwa polisi selalu identik tilang, korupsi, dan segala macam berbau miring. Padahal ada juga sebuah fakta lain yang sedang berbicara sebaliknya. Fakta itu ada pada sosok pak Wandi. Bahwa tidak semua polisi itu jahat, masih banyak polisi yang baik, termasuk pak Wandi. Dia dengan rela menginfakkan sebagian waktunya atau qordon hasana , itu untuk sebuah kegiatan yang jelas-jelas tidak memberikan credit point — bisa mengerek jabatannya ke posisi lebih tinggi, Kapolda DIY, misalnya

Tak peduli hujan, tak peduli panas. Hujan, kata bapak dua anak ini suatu ketika, kan ada jas hujan. Artinya, jangan karena hujan terus tidak ngaji. Rugi, katanya lagi dengan tanpa ekspresi, seolah pak Wandi sedang berhadapan dengan seorang copet yang tengah diinterogasi.
Penampilan pak Wandi dalam setiap kesempatan ngaji di MTA, sepanjang saya ketahui, selalu memakai baju batik lengkap dengan songkok hitam. Pada kesempatan yang sama, ia sering tampil memimpin qiro’ah sebelum pengajian ustadz dimulai. Inilah barangkali, satu-satu warga MTA Blonotan yang tingkat bacaanya jauh lebih baik.

Terlepas dari itu semua, dalam soal pengamalan hidup bermasyarakat, terutama menyangkut masalah acara ‘puji tahlil’ (demikian acara itu sering disebut orang), pak Wandi punya stategi khusus, yang tidak semua orang bisa memiliki. Sebagai seorang polisi, jam kerjanya tentu tidak beraturan. Kadang dinas malam kadang dinas pagi. Kemewahan inilah yang digunakan pak Wandi untuk mengelabui acara-acara itu. Dan lebih serunya, program kamuflase ala pak Wandi ini dicoba ditularkan kepada teman yang lain. Tentu saja, tidak semua orang bisa menirunya. Karena strategi itu yang punya hanya pak polisi.

Ada amplop tentu ada prangko. Dengan analogi yang sama, Saya melihat kalau ada Pak Wandi selalu ada Pak Rusmono. Kenyataan itu menyulitkan saya untuk tidak mengatakan bahwa kedua orang ini pasti dua polisi yang diutus kesatuannya untuk memata-matai (semacam agen spionase) pada kegiatan MTA.

Tapi saya salah. Pak Wandi adalah seorang polisi, dan pak Rusmono adalah seorang guru. Ternyata dua orang ini bukan saudara, tapi tetap saudara dalam rahim Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA).

Sedemikian lengketnya kisah dua orang sahabat ini, hatta posisi duduknya pun harus bersebelahan dan selalu berdekatan. Akrab sekali. Antara dua sahabat ini, kayaknya ada semacam kongkalikong atau memorandum of understanding (MOU), sebuah kesepakatan bersama bagaimana pak Wandi dan pak Rus ini menyikapi status ke-MTA-an nya dalam bergaul di tengah masyarakatnya. Sebuah masyarakat yang notabenenya masih kental dengan aroma budaya sinkretisme, atau lebih tepatnya budaya TBC (Tahayul, Bid’ah, Churafat).
{bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar