Rabu, 08 Juni 2011

Kisah Para Peluru (tamat)

5. Bapak Zunaidan

Di artikel “MTA, Yang Saya Tatahu” pertengahan Mei 2011 yang lalu, secara sekilas profil Bapak Zunaidan sudah saya tampilkan. Tak ada salahnya, bila kali ini Bapak yang satu ini saya tampilkan lagi, semata untuk memberikan kontribusi keteladanan bagi warga MTA yang lain

Bapak Zunaidan adalah salah satu warga MTA yang paling aktif. Selama saya bergabung dengan MTA, belum pernah sekalipun dia absen. Yang membedakan antara pak Zunaidan dan jamaah pria lainya adalah pecisnya. Dengan performance berpecis inilah, saya mudah menemukannya yang selalu hadir on time dan on line. On time, karena dia selalu hadir tepat waktu, mendahului teman-teman yang lain. On line, karena posisi duduknya selalu pada posisi yang sama, sebuah posisi duduk yang bisa face to face, menatap langsung wajah sang ustadz. Seolah dengan cara itu, ia ingin mendapatkan semacam berkah ilmu dari sang guru. Atau dengan kata lain, transfer of knowledge-nya lebih mudah masuk dan lebih mudah diamalkan sepulang ‘ngaji’.

Akselerasi keaktifannya, pada skala tertentu adalah sebentuk kompensasi atas ketidaksetujuan keluarganya, atau lebih tepatnya kebencian keluarganya terhadap ajaran baru MTA . Beliau hanya ingin menunjukkan, apa yang selama ini dianggap tradisi baik itu ternyata bukan dari Islam, agama nenek moyang, yang notabenenya adalah perpanjangan tangan ajaran agama Hindu.

Dalam hal menjaga jarak atau menjauhi ajaran nenek moyang, sebut saja acara itu dengan petang puluhe bin nyatus bin nyewu, maka semua warga MTA secara umum pernah mengalami dan merasakan bagaimana rasanya menjadi makhluk alien (aneh) di tengah warga kampungnya sendiri. Tidak hanya dianggap aneh, tapi juga dikucilkan sebagai ora umume wong, ngowah-ngowahi adat, dan olok-olok seru dan saru lainnya.

Demikian juga dengan pak Zunaidan ini. Dia tidak hanya dimusuhi oleh orang kampungnya sendiri. Di tengah keluarganya, dia juga menjadi duri dalam daging. Ayah dan ibunya begitu benci dengan ajaran baru yang ngowah-ngowahi adat itu. Tapi pak Zunaidan tetap kukuh dan kokoh memanjakan ‘inner beauty’ imannya di salon kecantikan rohani bernama ‘ngaji’ di MTA.

Meski kedua orang tuanya membencinya, ia tetap memanjakan orang tuanya dengan metode birul walidain menurut versi dan kapasitas pak Zunaidan sendiri. Tentu saja, dengan metode atau cara yang tidak mengingkari hukum gravitasi sunnah. Menurut bapak … anak ini, bisa saja saya membelikan rokok dua sampai tiga bungkus per hari. Tapi, masih menurut pak Zunaidan, itu namanya inkarus sunnah. Meskipun bapak saya tergolong perokok yang sudah mencapai stadium 3 alias perokok kelas berat. Sebagai kompensasinya, ia membelikan bapaknya itu dengan sebotol susu (ah kayak bayi aja). Selain lebih sehat, kaya gizi, nutrisinya lengkap, dan yang jelas: tidak kena serangan jantung.

Itulah salah satu sisi kecerdikan pak Zunaidan. Dengan cara & strategi khusus itu, pak Zunaidan berharap, mau tidak mau bapaknya dalam kurun waktu tertentu, bapaknya segera berhenti melakukan kebiasaan buruk itu, seperti yang dilakukan oleh KH. A Mustofa Bisri atau Gus Mus.

“Kowe ngaji neng Blonotan iku, entuk apa to le-le, neng Blonotan iku apa ana kyai?” keluh ibundanya, mencoba mengindoktrinasi putra kesayangannya ini, dengan harapan sang putra tidak ngaji lagi di Blonotan. Kemudian ibundanya meneruskan “Ngaji iku sing bener ora ning Blonotan, tapi sing luwih bener ya neng Wonokromo , sing akeh kyaine”

Pertanyaan sang bunda tidak dipungkiri memang benar, dan seratus persen memang benar. Ya, benar, memang benar. Apa arti sebuah kampung bernama Blonotan itu. Dan apa arti sebuah kampung bernama Wonokromo. Seolah dari nama kampung Wonokromo itu, ada lorong pintu yang terbuka lebar, dan di sana ada tulisan yang tidak lain merupakan password: Pintu Masuk Surga. Gratis!

Selidik punya selidik, terus terang, saya belum pernah menemukan satu ayat pun dalam Al-Qur’an atau bunyi satu Hadist pun yang menyatakan, “bagi yang ingin surga, masuklah melalui salah satu pintu kampung. Kampung itu bernama Wonokromo.

Tawa dengan skala berbahak-bahak pun meledak, memenuhi seluruh ruangan, memberikan kesejukan seolah semilir udara yang keluar dari air condition (AC) dari langit, memberikan nuansa kekeluargaan di rumah pak Marsudi, tempat diskusi kelompok Sabtu sore itu diadakan.
Statement ibunda pak Zunaidan itu bisa dikategorikan sebagai sebuah ‘Smart question!

Untuk sementara, kisah para peluru saya akhiri sampai di sini. Sebenarnya masih ada tokoh-tokoh super aneh yang akan mewarnai blantika music pergerakan dakwah pelurusan aqidah ini. Pada kisah berikutnya, saya akan menulis tentang “ritus persalinan” yang mendebarkan itu. Sebuah ritus persalinan yang terjadi pada hari Ahad, 5 Juni 2011, di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Yogyakarta. Saudara tua satu frekuensi keimanan dalam hal me-rebonding aqidah. (tamat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar