Kamis, 30 Juni 2011

The Clash of Civilization [2]

Runtuhnya gedung kembar World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat adalah puncak benturan peradaban itu. Yang menjadi kambing hitam atas runtuhnya symbol berhala kapitalisme global itu, siapa lagi kalau bukan lima huruf yang hari-hari ini disimbolkan sebagai akar terorisme. Lima huruf itu adalah ISLAM.

Lahirnya kampung Blonotan sebagai cabang Majlis Tasfir Al-Qur’an oleh banyak pihak, sering disalah-tafsirkan bahwa Islam itu identik dengan sebuah gerakan agama teroris. Pemahaman yang salah ini, sama persis dan sama bodohnya dengan cara pandang Amerika Serikat. Sebuah negeri yang pernah dijuluki sebagai SETAN BESAR oleh pemimpin spiritual dan revolusi Negara Islam Iran, Ayatullah Khomeini.

Bobot kecurigaan itu semakin membesar, manakala sebuah papan nama sebagai tanda lahirnya sebuah Cabang Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) mulai terpasang di sebuah rumah, tempat di mana pengajan diadakan. Rumah itu adalah rumah Pak Marsudi. Di rumah ini, ada dua ruang yang biasa digunakan ngaji. Ada ruang tamu berukuran 5 x 5 meter untuk jamaah laki-laki dan ruang keluarga berukuran 6 x 5 meter untuk jamah wanita. Inilah qordon hasana berupa tempat ngaji yang kelak akan menjadi investasi sekaligus saksi atas ritualisme salon spiritual bernama ‘rebonding aqidah’ (pelurusan Aqidah).

Yang namanya pengajian di kampung selalu identik dengan ukuran waktu ‘selapanan’, sekitar lima mingguan. Pada titik ini, ilmu yang didapat pada satu pengajian ke pengajian berikutnya, hampir bisa dipastikan 100% tidak mampir di kepala. Dan hampir dipastikan 100% yang diingat mungkin hanya ‘gojekan’ sang Ustadz atau pak Kyai, lengkap dengan rerasanan binti gossip seputar snack yang tidak nyaman di lidah.

Satuan waktu yang disebut ‘selapanan’ tidak berlaku di MTA. Tidak juga setengah bulanan. Tidak juga satu mingguan. Tapi seminggu dua kali. Apa? Seminggu dua kali? Tidak hanya seminggu dua kali, tapi ada juga yang menginfakkan waktunya pada hitungan 3 kali dalam satu minggu. Ah kayak minum obat saja.

Pada komunitas para pemberontak yang sering diidentikkan dengan aliran sesat ini, dalam satu minggu — dalam kasus tertentu — tatap muka tidak hanya dilakukan 3 kali, tapi sampai 4 kali. Pertemuan pertama diadakan pada setiap hari Sabtu. Pertemuan ini disebut pengajian yang diisi oleh ustadz. Pertemuan kedua diadakan hari Senin sore kadang malam. Ini yang disebut kajian kelompok. Pertemuan ketiga adalah bagi mereka yang sudah begitu kecanduan untuk datang ke kelompok lain. Dan pertemuan keempat untuk orang-orang khusus atau disebut khususiah. Ini khusus untuk kelompok super khusus yang punya nyali khusus.

Pada kajian kelompok titik tekannya lebih kepada kajian ulang seputar materi yang pernah disampaikan pada hari sebelumnya, hari Sabtu. Yang menarik dari pada sesi Senin, disamping menu utama adalah kajiaan ulang materi, tidak jarang ngaji kelompok ini dijadikan ajang curhat, atau sharing antar jamaah. Curhatnya bukan sembarang curhat. Sebuah curhat yang mengetengahkan cerita ‘perkelahian’ antar warga suatu kampung. Di ujung sana ada warga MTA, di ujung yang lain ada warga kampung secara umum.

Yang disebut warga MTA, mungkin jumlahnya tidak sampai lima orang. Bahkan mungkin hanya satu orang di kampung itu. Dan yang dinamakan warga kampung, jumlahnya jangan ditanya. Mungkin lebih dari seratus orang bahkan lebih. Warga MTA adalah kelompok minoritas, sisanya (warga kampung itu) adalah mayoritas.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar